free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Medan Priyayi dan Tirto Adhi Soerjo: Jejak Awal Kebangkitan Nasional Lewat Pers

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan realis Tirto Adhi Soerjo memegang surat kabar "Medan Prijaji", simbol perjuangan pers bumiputra di tengah tekanan kolonial Hindia Belanda awal abad ke-20. (Foto: Ilustrasi oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah nasionalisme Indonesia tak semata ditorehkan di medan perang atau ruang diplomasi, namun juga di lembaran kertas melalui tinta tajam seorang priyayi Jawa bernama Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Ia bukan seorang panglima bersenjata atau diplomat ulung, melainkan seorang jurnalis ulung yang menyulut bara kebangkitan nasional melalui medium yang kala itu belum lazim menjadi alat perjuangan: surat kabar. 

Dalam bayang-bayang kekuasaan kolonial Hindia Belanda, Tirto mendirikan Medan Priyayi, surat kabar yang tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi menyalakan kesadaran dan mengorganisasikan perlawanan.

Baca Juga : Siswa Kelas 9 MTsN 2 Kota Malang: Perjalanan Kelulusan dengan Sentuhan Sosial

Artikel panjang ini merupakan dokumenter historiografis tentang Tirto dan Medan Priyayi, dalam bingkai konteks sosial-politik yang melingkupinya. Disusun dengan gaya historiografi kritis, tulisan ini menghadirkan eksplorasi naratif yang tajam dan mendalam melalui pendekatan naratif-analitik yang blak-blakan dan tanpa sensor.Kita akan menelusuri bagaimana percikan-percikan awal pers modern di Hindia Belanda bertransformasi menjadi medium perlawanan rakyat terjajah dan cikal bakal kesadaran kebangsaan.

Awal abad ke-20 menjadi fase penting dalam sejarah sosial Hindia Belanda. Modernisasi yang dibawa kolonialisme, dengan segala paradoksnya, membuka peluang baru bagi kalangan bumiputra terdidik. Salah satu bidang yang menyerap semangat modernitas tersebut adalah pers. Namun, sebelum suara-suara perlawanan mengemuka dari kalangan bumiputra, dunia surat kabar telah lama dikuasai oleh bangsa Eropa dan Tionghoa peranakan, yang menerbitkan media dalam bahasa Belanda dan Melayu rendah.

Di tengah dominasi itu, Bromartani menjadi pionir penting. Diterbitkan di Surakarta dan ditulis dalam bahasa Jawa, surat kabar ini lahir dari lingkungan keraton, khususnya prakarsa Sunan Pakubuwono X pada 1920, sebagai bagian dari modernisasi budaya priyayi. Gedung tempat koran ini beroperasi, yang kini menjadi Monumen Pers Nasional di Jalan Gajah Mada, Surakarta, merupakan karya arsitek pribumi pertama, Atmodirono dari Semarang. Namun Bromartani, sebagaimana namanya, hanya terbaca oleh kaum bangsawan, menjadi alat informasi internal kelas priyayi.

Sebaliknya, Slompret Melayu dari Semarang dan Soerabayaasch Handelsblad dari Surabaya menyasar kalangan Melayu dan Eropa, tidak mengusung semangat emansipasi rakyat bumiputra. Dengan demikian, hingga awal abad ke-20, belum ada surat kabar yang secara sadar menyuarakan kepentingan politik bumiputra dan menggugat sistem kolonial secara terbuka—hingga datanglah Medan Priyayi.

Tirto Adhi Soerjo: Sang Priyayi Penyuluh

Lahir pada 1875 dari keluarga priyayi, Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo menerima pendidikan modern di STOVIA, Batavia. Kendati tidak menamatkan pendidikannya, Tirto telah terpapar ide-ide pencerahan dan semangat kemajuan. Ia menyadari bahwa pendidikan dan informasi adalah senjata melawan kebodohan dan penindasan. Lebih dari itu, ia memahami bahwa perubahan tidak mungkin datang tanpa medium komunikasi yang masif dan terstruktur.

Tahun 1907 menjadi titik balik sejarah. Di tengah kekangan pers kolonial, Tirto mendirikan Medan Priyayi, sebuah surat kabar mingguan berbahasa Melayu dengan gaya bahasa tajam, lugas, dan memberontak. Ia tidak menggunakan bahasa tinggi keraton, tetapi bahasa rakyat yang penuh energi. Terbit pertama kali pada Januari 1907, Medan Priyayi bukan hanya surat kabar, melainkan alat emansipasi: mengabarkan, membela, menyadarkan, dan mengorganisasikan.

Dalam edisi perdananya, Tirto merumuskan delapan asas yang menggambarkan misi radikal korannya: memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, menjadi tempat pengaduan kaum tersia-sia, mencarikan pekerjaan, menggerakkan bangsa untuk berorganisasi, memajukan kehidupan ekonomi dan pendidikan, serta memperkuat posisi bangsa melalui perdagangan. Gagasan ini merupakan refleksi dari strategi ekopolbud (ekonomi-politik-budaya) yang terpadu.

Tak hanya berpikir sebagai intelektual, Tirto juga seorang organisator ulung. Ia menyadari bahwa surat kabar tak akan hidup tanpa dana. Maka, ia menggunakan jejaring priyayi dan saudagar bumiputra untuk menghimpun modal. Dua tokoh penting yang mendukung pendirian Medan Priyayi adalah Bupati Cianjur RA Prawiradireja dan Sultan Bacan Oesman Sjah, masing-masing menyumbang f1.000 dan f500. Dengan dana ini, Medan Priyayi dicetak di percetakan Khong Tjeng Bie, Pancoran, Batavia, dalam ukuran mungil 12,5 x 19,5 cm, menyerupai jurnal kecil.

Rubrik tetap Medan Priyayi antara lain mutasi pegawai, salinan Lembaran Negara dan pasal hukum, cerita bersambung, iklan, serta surat pembaca. Yang paling digemari adalah rubrik surat pembaca dan jawaban hukum, di mana masyarakat kecil bisa berkonsultasi hukum gratis dan menuntut keadilan. Koran ini berkembang pesat karena menyuarakan hal-hal konkret yang dialami rakyat. Tahun 1910, tiras Medan Priyayi mencapai 2.000 eksemplar dan berubah menjadi harian.

Medan Pertarungan dan Pengadilan: Perlawanan Lewat Tinta

Lebih dari sekadar berita, Medan Priyayi menjadi medan pertarungan opini. Tulisan-tulisan Tirto tak pernah basa-basi. Ia menguliti kebijakan kolonial dengan kata-kata tajam, menyebut pejabat korup dengan metafora mengejek. Salah satu kasus termasyhur terjadi pada 1909 di Kawedanan Cangkrep, Purworejo. 

Tirto memuat artikel yang mengecam kolusi antara Aspirant Controleur ASimon dan Wedana Tjorosentono, yang diduga mengangkat lurah secara sewenang-wenang. Dalam artikelnya, Tirto menyebut mereka sebagai "monyet penetek"—sebuah julukan yang mengguncang.

Sebagai akibat, Tirto dituntut ke pengadilan dan dipenjara dua bulan di Lampung. Namun, bukan penjara yang melemahkannya. Justru 236 warga Desa Bapangan mengirim surat dukungan kepada Medan Priyayi, menyatakan siap membela Tirto. Perlawanan rakyat melalui pers telah dimulai.

Kekuatan Medan Priyayi terletak pada keberaniannya menggugat dan menyatukan. Dalam satu kesatuan narasi, ia menyuarakan kepentingan priyayi, saudagar, dan rakyat kecil. Ia menjadi benih awal dari pengorganisasian sosial modern, yang kelak melahirkan organisasi besar seperti Syarikat Priyayi (1906) dan Syarikat Dagang Islam (1909).

Tak hanya itu. Konsep “Anak Hindia” yang diperkenalkan Tirto menjadi bibit identitas nasional. Istilah ini melampaui suku, kasta, dan agama. Ia adalah sebutan kolektif bagi semua yang tertindas oleh kekuasaan kolonial. Dengan cara ini, Tirto tidak hanya menciptakan koran, tapi membangun kesadaran akan “bangsa”.

Atas jasanya, Tirto diakui sebagai Perintis Pers Indonesia oleh Dewan Pers pada 1973, dan pada 2006 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 2007, tepat seabad sejak Medan Priyayi pertama kali terbit, diperingati sebagai Seabad Pers Nasional, dengan Tirto sebagai sang penyuluh utama.

Jejak Tirto Adhi Soerjo tidak sekadar melintasi ruang sejarah, tetapi membelahnya. Ia mengubah surat kabar dari sekadar alat informasi menjadi senjata revolusi. Ia mendobrak batas antara priyayi dan rakyat, mengorganisir kesadaran dalam wujud cetakan. Melalui Medan Priyayi, ia mengajarkan bahwa menulis bukan hanya tindakan intelektual, melainkan tindakan politis.

Baca Juga : 3.229 Koperasi  Merah Putih Jatim Disahkan, Segera  Wujudkan 100% di Seluruh Desa/Kelurahan

Kini, ketika dunia pers menghadapi tantangan baru di era digital, warisan Tirto tetap relevan. Ia mengajarkan kita untuk jujur, tajam, dan berpihak kepada yang lemah. Dalam setiap suara yang menuntut keadilan, kita masih bisa mendengar gema Medan Priyayi. Dan dalam setiap kalimat yang melawan penindasan, Tirto masih berbicara.

Tirto Adhi Soerjo: Jejak Blora dalam Kiprah Sang Bapak Pers Nasional

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, yang lahir dengan nama kecil RM. Djokomono di Cepu, Blora pada tahun 1880, merupakan tokoh penting dalam sejarah pers dan kebangkitan nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai perintis kewartawanan nasional dan tokoh yang memanfaatkan media sebagai alat perjuangan, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. 

Tirto adalah figur yang tidak hanya dikenal karena keberaniannya menulis, tetapi juga karena gagasannya tentang kemerdekaan dan martabat kaum bumiputera. Jejaknya begitu berharga, dan asal-usulnya tak bisa dilepaskan dari tanah Blora, Jawa Tengah.

Tirto Adhi Soerjo berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Ia adalah putra dari Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, yang pernah menjabat sebagai Bupati Bojonegoro. Melalui jalur ayahnya, Tirto memiliki hubungan darah yang kuat dengan keluarga elite Blora. Ia merupakan keturunan langsung dari Raden Tumenggung Djajeng Tirtonoto, Bupati Blora yang menjabat antara tahun 1762 hingga 1782.

Garis keturunan Tirto bermula dari RT. Djajeng Tirtonoto, yang kemudian menurunkan Raden Ngabehi Tirtodimedjo, dilanjutkan oleh Raden Nganten Tirtorejo, lalu Raden Mas Tumenggung Ridder Tirtonoto yang juga menjabat sebagai Bupati Bojonegoro. Dari RMT. Ridder Tirtonoto lahirlah R.Ng. H. Moch. Chan Tirtodhipoero, ayah dari Tirto Adhi Soerjo. Dengan demikian, Tirto merupakan generasi kelima dari RT. Djajeng Tirtonoto.

Dari garis keturunan ini pula, Tirto sejajar dalam generasi yang sama dengan Raden Mas Ario Adipati Cokronegoro III, Bupati Blora periode 1886–1912. Hubungan mereka bahkan lebih dekat secara personal, sebab ayah Tirto dan ibu Cokronegoro III adalah saudara kandung, anak dari RMT. Ridder Tirtonoto. Dengan demikian, Tirto dan Cokronegoro III adalah sepupu langsung dari garis bangsawan Blora dan Bojonegoro.

Tirto mulai aktif di dunia jurnalistik sejak 1894. Ia dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentukan opini publik, terutama dalam membela kepentingan kaum pribumi. Salah satu kutipan terkenalnya menyatakan:

"Dengan bekerja sebagai redaktur koran, saya bisa menggerakkan hati bangsa."

Pada tahun 1903, ia menerbitkan Soenda Berita, lalu Medan Prijaji (1907), yang dianggap sebagai surat kabar nasional pertama karena seluruh pengelolaannya dilakukan oleh pribumi dan menggunakan bahasa Melayu. Setahun kemudian ia juga meluncurkan Putri Hindia.

Kiprah Tirto tidak berhenti di meja redaksi. Ia mendirikan Sarekat Prijaji pada tahun 1906, sebuah organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan kaum bangsawan dan priyayi bumiputera melalui program-program seperti pendirian asrama murid, taman kanak-kanak, kursus bahasa Belanda, hingga beasiswa.

Dalam menjalankan perjuangannya, Tirto kerap mengalami tekanan dari penguasa kolonial Belanda. Ia sempat ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan di Maluku Utara. Namun sepulangnya ke Jawa, semangatnya tak padam. Ia terus menjalin hubungan dengan para saudagar dan bangsawan untuk menghimpun dana demi keberlangsungan misi perjuangannya melalui pers dan organisasi.

Tirto wafat di Batavia pada 7 Desember 1918 pada usia sekitar 37 atau 38 tahun. Hingga kini, masih terdapat perbedaan mengenai tahun kelahirannya; buku Bumi Manusia menyebut 1872, sementara batu nisannya mencantumkan 1875, namun sebagian besar literatur menggunakan tahun 1880 sebagai acuan.

Warisan perjuangannya sangat besar. Kisah hidup dan perjuangannya diabadikan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan buku Sang Pemula. Pada tahun 1973, ia dianugerahi gelar Bapak Pers Nasional, dan pada 3 November 2006, Presiden RI secara resmi menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 85/TK/2006.

Tirto Adhi Soerjo adalah potret perlawanan melalui pena. Ia mewariskan kepada bangsa ini satu pelajaran penting: bahwa media adalah alat perubahan. Dan semua itu berakar dari seorang anak bangsawan Blora, yang memikul tanggung jawab sejarah dan menjadikannya bara perjuangan. Hubungannya dengan Blora bukan sekadar geografis atau genealogis, tapi merupakan bagian dari karakter perjuangannya—tegas, visioner, dan bersandar pada kekuatan kata.