JATIMTIMES - Para ahli kanker dunia menyuarakan keprihatinannya terhadap maraknya informasi hoaks soal pengobatan kanker di internet.
Fenomena tersebut menyebabkan sebagian pasien memilih menolak pengobatan medis, dan justru mencoba pengobatan alternatif yang belum teruji, seperti enema kopi hingga diet jus mentah. Akibatnya, banyak dari pasien kanker justru meninggal.
Baca Juga : 5 Alasan Kenapa Blibli.com Menjadi Online Shop Terpercaya
Peringatan itu disampaikan para ahli onkologi dalam konferensi kanker terbesar di dunia, American Society of Clinical Oncology (Asco) yang digelar di Chicago. Asco menyebut tren ini berasal dari informasi keliru yang menyebar dengan cepat di media sosial.
Dr Fumiko Chino, peneliti kanker sekaligus asisten profesor di MD Anderson Cancer Center, Houston, menyebutkan bahwa misinformasi soal kanker semakin parah dalam satu dekade terakhir.
“Dengan semakin banyak orang yang didiagnosis kanker di tengah populasi global yang bertambah dan menua, informasi menyesatkan atau salah, soal kanker kini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius,” jelas dr Chino, dilansir The Guardian, Selasa (3/6/2025).
Meskipun sebagian besar masyarakat masih memercayai dokter, studi yang dibawakan Dr Chino menemukan bahwa lebih dari separuh responden merasa para ahli kerap saling bertentangan. Bahkan, satu dari 20 orang mengaku tidak percaya sama sekali pada ilmuwan yang memberi informasi tentang kanker.
“Kita sedang kalah dalam pertempuran komunikasi. Kita harus merebut kembali medan pertempuran ini,” tegas Dr Chino.
Dr Julie Gralow, Kepala Petugas Medis Asco, juga berbagi pengalamannya menghadapi pasien yang lebih memilih pengobatan alternatif. Ia menyebut banyak pasiennya yang tergoda pengobatan alami setelah mencari di internet.
“Beberapa pasien saya memilih pengobatan alami sepenuhnya, meski saya sudah menjelaskan rekomendasi pengobatan terbaik. Mereka mencari sendiri di internet dan menemukan klinik di Meksiko yang menjanjikan pengobatan alami untuk kanker, termasuk enema kafein, infus vitamin C, dan berbagai hal lainnya,” ungkap dr Gralow.
Alih-alih menghakimi, dr Gralow berusaha membangun kepercayaan agar pasien tetap mau datang kembali. “Dalam beberapa kasus, mereka kembali setelah tiga bulan karena tak merasakan perubahan. Lalu mereka mau tinggal di klinik kami, dan akhirnya kami bisa perlahan membimbing mereka ke pengobatan yang berbasis medis,” katanya.
Namun tak semua kisah berakhir baik. “Beberapa dari mereka tidak pernah kembali. Dan dalam sembilan bulan kemudian saya mendapat kabar bahwa mereka meninggal,” tutur Gralow.
Liz O’Riordan, seorang mantan ahli bedah payudara yang juga penyintas kanker, turut menyampaikan kekhawatirannya. Lewat media sosial, ia rutin membagikan informasi berbasis bukti kepada ribuan pengikutnya.
“Ada begitu banyak informasi menyesatkan tentang kanker di internet. Setiap hari saya menerima pesan dari perempuan yang ketakutan, bertanya apakah mereka harus berhenti mengonsumsi produk susu, kedelai, atau biji rami. Apakah mereka harus berhenti pakai bra kawat atau deodoran? Benarkah jus bisa menyembuhkan kanker? Atau jamur dan suplemen CBD bisa jadi obat ajaib?” ujarnya.
Baca Juga : Apresiasi Kepedulian dan Dedikasi, Polres Tulungagung Beri Sejumlah Penghargaan ke Personel dan Warga
O’Riordan berharap lebih banyak dokter yang terlibat aktif di dunia maya. “Tapi ini sulit karena butuh waktu untuk menulis naskah, syuting, mengedit, dan membangun komunitas agar suara kita terdengar di tengah hiruk-pikuk informasi. Kalau kita tidak punya sejuta pengikut, sangat susah untuk dapat perhatian,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa informasi medis yang benar memang tidak terdengar menarik. “Apa yang kami sampaikan tidak terdengar seksi atau menggairahkan. Kami tidak bisa menjanjikan kesembuhan. Obat yang kami berikan punya efek samping, dan beberapa pasien tetap meninggal,” ucapnya dengan jujur.
Kekhawatiran serupa disampaikan dr Richard Simcock dari Macmillan Cancer Support. Ia menilai misinformasi sebagai masalah yang sangat meresahkan.
“Saya baru saja menangani dua perempuan muda yang menolak seluruh pengobatan medis dan memilih mengikuti diet radikal tak berdasar yang dipromosikan di media sosial,” ungkapnya.
“Orang memang berhak menolak terapi. Tapi kalau keputusan itu dibuat karena informasi yang tidak benar atau salah tafsir, saya sangat sedih. Ini jelas menunjukkan kita harus bekerja keras membangun kembali kepercayaan pada pengobatan berbasis medis,” imbuhnya.
Prof Stephen Powis, Direktur Medis Nasional NHS Inggris, juga ikut bersuara. Ia mengakui bahwa media sosial bisa memberi dukungan komunitas bagi pasien kanker. Namun, di saat yang sama, juga menjadi sarang penyebaran informasi hoaks.
“Saya mengimbau masyarakat untuk skeptis terhadap klaim ‘obat ajaib’ kanker yang beredar di media sosial, dan gunakan sumber terpercaya seperti situs NHS atau tim medis Anda untuk memverifikasi informasi,” ujarnya.
“Karena dongeng seperti itu bukan cuma menyesatkan, tapi juga bisa sangat berbahaya,” pungkas Prof Stephen Powis.