free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Relasi Warok dan Laki-Laki Cantik dalam Serat Centhini: Kisah Mas Cebolang di Ponorogo

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Kisah Serat Centhini: Ilustrasi Mas Cebolang dan Nurwitri dalam balutan busana wanita, menari bersama seorang warok. (Foto: Ilustrasi JatimTIMES)

JATIMTIMES - Malam itu adalah malam terakhir sebelum rombongan penari kembali pulang ke arah timur. Udara terasa lebih lembab dari biasanya. Bulan sabit menggantung rendah di langit, seperti mata yang mengintip diam-diam dari balik kelambu malam. Di dalam pondokan tua berlampu temaram, aroma dupa, keringat, dan minyak kelapa membaur jadi satu, melayang-layang di udara.

Mas Cebolang duduk bersila di dekat jendela, mengenakan kain sutra tipis yang hampir jatuh dari bahunya. Nurwitri membetulkan sanggulnya yang longgar, lalu menyandarkan kepala di pangkuan sang kekasih. Mereka tak berkata apa-apa, hanya mendengarkan gemerisik angin dan suara malam yang menua. Malam-malam sebelumnya selalu dipenuhi tarian, tawa para tamu, dan sentuhan-sentuhan lembut dari tangan yang membayar dengan emas atau kerinduan. Tapi malam ini berbeda.

Baca Juga : Remaja Asal Blitar Ditemukan Mengapung di Sungai Brantas

Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pintu diketuk—tidak pelan, tidak pula keras—cukup untuk memberi tanda bahwa yang datang bukan tamu biasa. Cebolang membuka pintu perlahan. Di ambang, berdiri empat warok dari Ponorogo. Tubuh mereka tegap, kulit mereka gelap, dan lengan mereka dilukisi tato-tato harimau, ular, dan bunga-bunga api. Mereka tak membawa topeng reog malam ini, hanya wajah-wajah serius yang menyimpan bara.

"Malam ini... giliran kami," ujar salah satu warok, suaranya dalam seperti bunyi kendang yang dipukul dari hati.

Tak ada yang menjawab. Tak ada yang menolak. Cebolang mempersilakan mereka masuk, dan Nurwitri mengibaskan rambutnya seperti penari pembuka lakon. Warok-warok itu menanggalkan ikat kepala mereka, duduk mengitari ruangan, lalu memandang keduanya dengan mata yang tak bisa didefinisikan hanya dengan kata ā€˜nafsu’. Ada rasa kagum, ada rasa ingin memiliki, dan ada rasa ingin ditaklukkan—atau menaklukkan.

Apa yang terjadi setelah itu bukan sekadar tubuh-tubuh yang bertemu. Dalam peluh dan desir napas, dalam gemeretak lantai bambu dan bisik-bisik yang tak lagi berbicara tentang asal-usul atau harga diri, malam itu berubah menjadi ritual. Seperti Reog yang memanggil roh nenek moyang, seperti mantra yang tak diucapkan tapi dihayati dalam gerak dan sentuhan.

Cebolang bukan lelaki biasa, dan Nurwitri bukan perempuan dalam definisi umum. Mereka adalah penjelmaan lentur dari semesta Jawa: bisa menjadi air, bisa menjadi angin, bisa menjadi api yang membakar tapi tak menghanguskan. Dan para warok, dengan kekuatan tubuh dan kelembutan yang disembunyikan di balik otot, hanyalah bagian dari permainan purba ini—permainan antara kehendak, kehormatan, dan kenikmatan.

Ketika pagi datang, tak ada kata-kata. Hanya jejak-jejak tubuh di atas tikar, dan bau dupa yang belum sepenuhnya padam. Para warok pamit dengan anggukan kepala, dan Cebolang menutup pintu perlahan. Nurwitri masih terbaring, matanya menatap langit-langit, senyumnya samar.

Dan malam itu, seperti yang lain-lain dalam perjalanan Cebolang, akan tinggal sebagai fragmen dalam tubuh: bukan sebagai aib, bukan pula sebagai kemenangan, tapi sebagai bagian dari laku—perjalanan spiritual yang membiarkan tubuh jadi jembatan antara dunia dan yang gaib.

Itulah salah satu alur cerita dalam Serat Centhini jilid 4—sebuah mahakarya sastra Jawa yang mengandung lebih dari sekadar tembang dan nasihat moral.Di dalamnya, dunia spiritual, pengetahuan tradisional, dan hasrat manusia bersatu dalam sebuah tarian panjang. Adegan pertemuan antara Cebolang, Nurwitri, dan para warok bukan sekadar kisah erotik, melainkan jendela kecil ke dalam cara masyarakat Jawa lama memahami tubuh, relasi, dan makna kebebasan.

Dalam dunia Centhini, batas-batas antara sakral dan profan kerap kabur. Seksualitas bukan hanya tentang pemuasan ragawi, tetapi juga perjalanan jiwa, pengembaraan rasa, bahkan bentuk laku menuju pengertian yang lebih dalam tentang hidup. Kisah Cebolang bukan untuk diteladani secara harfiah, melainkan untuk dipahami sebagai potret zaman—ketika tubuh menjadi teks, dan kehidupan adalah tafsir yang tak pernah selesai dibaca.

Dalam lautan teks klasik Jawa, Serat Centhini (ditulis antara 1814–1823 atas prakarsa Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, kelak Susuhunan Pakubuwana V), merupakan karya ensiklopedik yang memuat ribuan bait tembang macapat yang mencakup pengetahuan luas: dari kuliner, ilmu pengasihan, hingga seksualitas. 

Salah satu fragmen yang kerap diabaikan, namun menyimpan kedalaman antropologis, adalah kisah perjalanan Mas Cebolang ke Panaraga, tanah yang dalam struktur kebudayaan Jawa dikenal sebagai tapal batas antara dunia mistik dan dunia ragawi. Di sana, kita menjumpai gambaran kompleks tentang maskulinitas, erotisme, dan peran sosial warok serta laki-laki cantik yang menari di ambang batas gender.

Warok, Gemblakan, dan Ambiguitas Maskulin

Dalam khazanah Ponorogo, sosok warok dikenal sebagai lelaki sakti, asketik, dan pengayom masyarakat, namun menyimpan sisi gelap berupa praktik gemblakan: hubungan erotik antara warok dan pemuda cantik, yang disebut gemblak. Tradisi ini, sebagaimana dicatat oleh Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960), bukan semata perilaku menyimpang, melainkan ekspresi simbolik atas dominasi, kontrol, dan penyaluran energi spiritual dalam kerangka maskulinitas Jawa.

Namun, dalam Serat Centhini, gambaran itu diperluas. Mas Cebolang dan Nurwitri tampil sebagai sosok flamboyan—lelaki berparas cantik, penuh kemahiran menari, berdandan melebihi perempuan, namun tetap memikat baik laki-laki maupun perempuan. Mereka adalah simbol ambiguitas gender yang meruntuhkan dikotomi maskulin-feminin, serta membuka tafsir baru atas seksualitas dalam masyarakat Jawa abad ke-19.

Fragmen yang dikisahkan memperlihatkan Cebolang dan Nurwitri menari gambyong dan payung diiringi Gending Ginonjing. Penonton dari berbagai lapisan terpukau. Mereka menyawer dengan aneka benda: selendang, kalung, hingga ikat kepala. Fenomena ini bukan sekadar hiburan. Ia menjadi ritual publik erotika yang dilegalkan secara sosial—suatu bentuk eksibisionisme maskulin yang diterima, bahkan dirayakan.

Dalam pendekatan sastra, tarian gambyong dan payung memiliki makna simbolik. Gambyong sering dikaitkan dengan kesuburan dan keanggunan perempuan. Ketika laki-laki seperti Cebolang menarikan gambyong, ia menegosiasikan ulang makna tubuh maskulin dalam ruang publik. Tari payung dengan teknik memutar pada ujung jari adalah akrobat tubuh yang memunculkan impresi erotis: lentur, presisi, dan estetis—citra tubuh lelaki yang dapat menjadi objek hasrat.

Seksualitas Tanpa Batas: Asmaragama dan Tubuh Sosial

Setelah menari, keduanya dipertemukan dengan dua perempuan muda yang menggoda. Cebolang dan Nurwitri merespons dengan menjadikan tubuh mereka panggung kedua bagi tarian asmaragama. Keesokan malamnya, mereka berhadapan dengan para warok dan gemblak yang meminta "pelajaran langsung" tentang teknik asmaragama.

Penggambaran hubungan seksual dalam fragmen ini—dengan Cebolang dan Nurwitri secara aktif memainkan peran baik sebagai objek maupun subjek, dalam hubungan heteroseksual dan homoseksual—menggambarkan kerangka seksualitas yang melampaui kategori biner. Seks dalam Centhini bukan semata hubungan biologis, melainkan bentuk ekspresi sosial, spiritual, dan pedagogis.

Sejarawan seksualitas seperti Michel Foucault dalam The History of Sexuality (1976) menjelaskan bahwa seks bukan hanya soal tubuh, tetapi wacana. Dalam konteks ini, Centhini membungkus seks dalam tembang, menjadikannya pengetahuan tersendiri. Seksualitas menjadi medium kontrol, negosiasi status, dan bentuk kekuasaan terselubung dalam komunitas.

Tari Kuda Lumping: Dari Tubuh Mistis ke Tubuh Sensual

Pertunjukan kuda lumping dalam fragmen ini dipimpin langsung oleh Cebolang dan Nurwitri. Mereka melatih para penari pria dan wanita, termasuk warok dan gemblak, tentang teknik tari, ekspresi wajah, hingga panduan irama gamelan. Ini bukan sekadar pengajaran teknis, melainkan transmisi wacana tubuh—bagaimana tubuh menari, dilihat, dan dinilai.

Kuda lumping memiliki akar dalam ritual trance dan spiritualitas desa. Namun dalam narasi Centhini, ia diolah ulang menjadi panggung erotika kolektif, di mana batas antara kesenian, hiburan, dan sensualitas menjadi kabur. Ketika empat penari gambyong wanita digantikan oleh waranggana lelaki, pergeseran gender ini kembali menegaskan pluralitas ekspresi tubuh dan identitas dalam kerangka budaya Jawa.

Saweran, Tubuh sebagai Kapital Sosial

Saweran yang terkumpul dalam bakul besar adalah simbol kapitalisasi tubuh. Penari tak hanya mendapat pujian, tapi juga material. Tubuh laki-laki cantik bukan hanya dilihat, namun dihargai secara ekonomi. Di sini, tubuh menjadi komoditas, bukan dalam arti negatif, tapi dalam sistem patronase Jawa yang rumit.

Baca Juga : 18 Wakil Jatim Lolos ke Putri Tradisional Nasional

Cebolang dan Nurwitri menerima bagian hasil saweran, lalu diminta memberikan pelayanan sensual kepada para warok dan gemblak. Seks menjadi komoditas spiritual—ajaran, pertunjukan, sekaligus pengalaman. Relasi ini jauh dari logika transaksional modern; ia adalah bagian dari etika timbal balik, pembentukan komunitas, dan ritual transgresi.

Tafsir Maskulinitas: Antara Kekuasaan, Hasrat, dan Performativitas

Fragmen ini mengajak kita merefleksikan ulang maskulinitas Jawa: bukan kekuatan otot, tapi kekuatan tampil, menari, memikat, dan mengendalikan hasrat. Maskulinitas bukan atribut tetap, melainkan performa sosial yang dapat dinegosiasikan.

Dalam analisis Judith Butler, gender adalah kinerja yang dibentuk melalui pengulangan. Cebolang dan Nurwitri, dengan pakaian bunga, kelat bahu, dan subang emas, menampilkan tubuh maskulin yang lentur—melintasi kategori laki-laki dan perempuan. Mereka bukan transgender dalam pengertian modern, namun pemegang peran ganda dalam sistem sosial.

Serat Centhini sebagai Naskah Queer Nusantara

Jika ditilik lebih jauh, Serat Centhini menyimpan potensi besar sebagai naskah queer klasik Nusantara. Ia mencatat berbagai praktik yang dalam kacamata modern dianggap menyimpang, namun dalam masyarakat Jawa tradisional diterima, diatur, dan bahkan dirayakan.

Fragmen Panaraga memperlihatkan tubuh laki-laki sebagai medan kontestasi simbol, hasrat, dan pengetahuan. Warok, gemblak, penari laki-laki, semua menjadi bagian dari konstruksi maskulinitas yang cair dan plural. Cebolang dan Nurwitri, dengan segala keunikan tubuh, tari, dan seksualitasnya, bukan hanya tokoh dalam cerita, melainkan representasi dari tubuh Jawa yang selalu menari di antara kekuasaan, kesenian, dan erotika.

Serat ini adalah museum hidup dari sejarah tubuh dan seksualitas Nusantara—jauh lebih maju, plural, dan lentur daripada tafsir-tafsir sempit yang datang belakangan. Ia menjadi semacam ars memoriae bagi masa kini yang tengah kehilangan kemampuan melihat seks bukan sebagai dosa, tapi sebagai bagian dari kebudayaan.

Serat Centhini: Naskah Empat Ribu Halaman yang Menyimpan Kebudayaan Jawa

Serat Centhini adalah karya sastra klasik Jawa yang menempati posisi istimewa dalam khazanah kesusastraan Nusantara. Tidak hanya karena ketebalannya yang luar biasa — mencapai 4.200 halaman folio dalam 12 jilid — tetapi juga karena kelengkapan isi yang mencerminkan hampir seluruh aspek kebudayaan Jawa. Karena itulah, naskah ini dijuluki sebagai Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, yang mencakup dari hal-hal lahiriah seperti arsitektur, makanan, dan pengobatan, hingga hal-hal batiniah seperti filsafat, agama, dan tasawuf.

Secara resmi, naskah ini berjudul Suluk Tambangraras, sesuai dengan pengakuan pengarangnya dalam bagian awal karya. Namun masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Serat Centhini, mengambil nama dari tokoh pembantu wanita Centhini, abdi dari Niken Tambangraras — salah satu tokoh utama dalam kisah ini.

Gagasan besar penulisan Serat Centhini berasal dari Adipati Anom Amangkunegara II, putra mahkota Keraton Kasunanan Surakarta. Ia kemudian naik takhta sebagai Sunan Pakubuwana V (bertakhta 1820–1823). Penulisan dimulai pada Januari 1814 dan selesai pada 1823.

Proyek kolosal ini dipercayakan kepada tiga pujangga utama Keraton Surakarta. Raden Ngabehi Ranggasutrasna, seorang ahli bahasa dan budaya Jawa, diberi tugas menjelajah wilayah Jawa Timur mulai dari Surakarta hingga Banyuwangi. Raden Ngabehi Yasadipura II, yang juga dikenal sebagai Ranggawarsita I dan ahli sastra serta budaya Jawa, menjelajahi Jawa Barat dari Surakarta hingga Anyer. Sementara itu, Raden Ngabehi Sastradipura, yang kemudian bergelar Kiai Haji Ahmad Ilhar, adalah ahli agama, bahasa Arab, dan tasawuf yang melakukan perjalanan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama di Mekkah.

Ketiganya dengan cermat mencatat berbagai hal yang mereka temui selama perjalanan, mulai dari adat istiadat, filosofi hidup, pengobatan, ilmu gaib, hingga pergaulan sehari-hari. Setelah kembali ke Surakarta, penulisan Serat Centhini dilakukan secara sistematis di bawah koordinasi langsung dari Adipati Anom.

Serat Centhini memuat kisah perjalanan tokoh utama, yaitu Mas Cebolang, Tambangraras, dan Centhini, yang menjelajahi berbagai daerah di Jawa. Melalui perjalanan mereka, pembaca diajak menyusuri ragam kebudayaan lokal. Di setiap daerah yang dikunjungi, cerita berkembang menjadi deskripsi mendalam tentang kebiasaan masyarakat setempat, mencakup aspek pendidikan dan etika pergaulan, upacara adat dan ritual keagamaan, klenik, ilmu kesaktian, dan ramalan, pengetahuan tentang flora dan fauna serta pengobatan tradisional, hingga seni pertunjukan, kuliner, dan erotika. 

Tidak ada tema yang dianggap tabu. Bahkan topik-topik seperti hubungan seksual dan praktik ritual spiritual dikisahkan dengan rinci dalam kerangka budaya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa Serat Centhini bukan sekadar karya sastra, tetapi juga catatan antropologis tentang struktur nilai dan pandangan hidup masyarakat Jawa abad ke-19.

Sebagaimana umumnya naskah kuno, Serat Centhini digandakan secara manual. Proses penggandaan ini menyebabkan munculnya berbagai versi naskah, yang dipengaruhi oleh penyesuaian lokal maupun perbedaan gaya penyalin. Hingga kini, setidaknya telah teridentifikasi enam versi utama Serat Centhini, yaitu Serat Centhini Baku, versi persembahan Pakubuwana VII ke Negeri Belanda, versi Bahasa Jawa Timur, versi Bahasa Jawa Pegon yang menggunakan huruf Arab, Serat Centhini Jalalen, dan Serat Centhini Annongraga.

Semua versi ini tetap menggunakan huruf Jawa dan berbahasa Jawa, namun menunjukkan kekayaan varian tafsir dan penyampaian ulang, yang menambah nilai historiografi dan filologis naskah ini.

Serat Centhini menyuguhkan pandangan dunia masyarakat Jawa pra-modern yang memadukan nilai-nilai spiritual Islam, tradisi lokal Hindu-Buddha, serta praktik-praktik sehari-hari yang sangat kontekstual. Dalam dunia modern, Serat Centhini tidak hanya menjadi sumber pengetahuan sejarah dan budaya, tetapi juga menjadi bahan refleksi tentang keberagaman cara hidup dan penerimaan terhadap kompleksitas kehidupan manusia.

Banyak akademisi dan budayawan menilai bahwa Serat Centhini mampu menunjukkan fleksibilitas budaya Jawa dalam menghadapi perubahan zaman, sekaligus menunjukkan bagaimana literatur digunakan sebagai media pelestarian dan transmisi nilai-nilai lokal secara turun-temurun.

Serat Centhini adalah mahakarya yang melampaui zamannya. Ia bukan hanya kitab sastra, tetapi juga cermin utuh kebudayaan Jawa dengan segala kekayaan dan paradoksnya. Ia adalah warisan tak ternilai yang menyatukan sastra, filsafat, ilmu, dan kehidupan sehari-hari dalam satu suluk panjang yang masih bergema hingga hari ini.