free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Wilujengan di Situs Tri Tingal: Saat Warga Purworejo Blitar Mengaji Alam dan Sejarah

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Saat doa dan tradisi bertemu, Wilujengan di Situs Tri Tingal menjadi momen sakral bagi warga Purworejo untuk merayakan 315 tahun sejarah desa mereka. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di bawah rindangnya pohon kemuning yang usianya entah berapa abad, senja pada Selasa, 6 Mei 2025, Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, kembali melakoni ritual sakral: wilujengan di situs Tri Tingal.

Bukan sekadar upacara tahunan, peristiwa ini menjadi muara dari arus waktu yang mengalir sejak 315 tahun lalu, kala seorang tokoh bernama Ki Kerto atau yang dikenal sebagai Mbah Pret membuka hutan dan mendirikan desa kali pertama  pada sekitar tahun 1710. Di balik hening doa dan dupa yang mengepul, terhampar kisah yang menyulam spiritualitas, sejarah, dan identitas kultural desa.

Jejak Leluhur dalam Wilujengan

Baca Juga : RPJMD Kabupaten Blitar Disusun: Bupati Rijanto Ajak Semua Pihak Berpikir Inklusif

Aroma dupa dan kepulan kemenyan perlahan memenuhi udara sore di situs Tri Tingal, menandai dimulainya rangkaian acara wilujengan yang sarat makna. Di bawah langit yang teduh, kirab budaya membuka perhelatan sakral ini, mengarak simbol-simbol adat dan pusaka desa menuju pelataran petilasan. 

Warga berbondong-bondong mengikuti iring-iringan dengan penuh khidmat, mengenakan busana tradisional sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Sesampainya di lokasi utama, Kepala Desa Purworejo Kalinggo Purnomonmemberikan sambutan, menyampaikan harapan agar tradisi wilujengan terus menjadi penanda keberlanjutan nilai-nilai spiritual dan kultural desa. 

Doa dan tahlil pun dilantunkan, memecah keheningan dengan dzikir yang menggetarkan jiwa, menautkan masa kini dengan jejak panjang para pendahulu. Sebagai penutup, warga duduk melingkar menikmati nasi berkat bersama—simbol kebersamaan dan rasa syukur yang tak lekang waktu.

Wilujengan adalah wujud paling purba dari penghormatan masyarakat Jawa terhadap leluhur. Kepala Desa Purworejo Kalinggo Purnomo menjelaskan bahwa kegiatan ini adalah bagian tak terpisahkan dari rangkaian bersih desa. Di petilasan Tri Tingal, warga berkumpul untuk memanjatkan doa: bagi para pendiri desa, para perangkat desa yang telah wafat, serta seluruh masyarakat agar diberi keselamatan dan keberkahan dunia-akhirat.

"Di Tri Tingal ini, kita berdoa agar para leluhur yang dahulu membuka dan merawat desa ini mendapat ampunan dan tempat terbaik di sisi Tuhan," ungkap Kalinggo. Ia menambahkan bahwa setiap doa adalah bentuk syukur atas kehidupan dan nikmat yang terus mengalir di Purworejo, sembari mengharap perlindungan Tuhan atas masa depan desa.

Wilujengan ini tidak berdiri sendiri. Sejak 3 Mei, rangkaian bersih desa telah dimulai dengan kegiatan salawatan di Dusun Gendong, dilanjutkan doa bersama umat Kristen di Gereja Abdil Saloom Pos Purworejo, serta wilujengan di Dusun Centong. Esok harinya, warga akan berziarah ke makam-makam mantan kepala desa. 

Pada 8 Mei, wilujengan serentak di seluruh desa akan dilangsungkan, diakhiri dengan ritual mageri deso—berdoa sambil mengelilingi desa. Puncaknya adalah pagelaran wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Anom Dwijo Kangko.

Situs Tri Tingal: Ruang Sakral Tiga Kerajaan Rohani

Namun titik kulminasi spiritual bersih desa ada di Tri Tingal, sebuah situs yang menyimpan rahasia pertemuan tiga tokoh spiritual besar Jawa: Raden Kebo Kenongo (putra Andayaningrat), Syekh Siti Jenar (Syekh Abdul Jalil), dan Raden Sahid (Sunan Kalijaga). Di sini, tiga batu nisan yang berdiri di antara semak dan sela gilang menyimpan jejak wacana keislaman dan filsafat kejawen yang sempat menimbulkan gelombang kontroversi spiritual di tanah Jawa.

Kalinggo Purnomo menuturkan bahwa menurut tradisi lisan dan temuan lokal, Ki Kerto saat membabat hutan pada 1710 menemukan tiga batu nisan yang memuat relief Surya Majapahit—lambang yang menghubungkan masa Hindu-Buddha dan Islam dalam satu tapak suci. Hal ini diperkuat oleh informasi yang disarikan dari penelusuran Keraton Kasunanan Surakarta dan sejumlah naskah babad lokal.

Kepala Desa Purworejo, Kalinggo Purnomo, mengungkapkan bahwa sebelum dilakukan revisi data sejarah pada tahun 2020, masyarakat setempat mengenal situs Tri Tingal sebagai makam Sri Tingal. Nama itu hidup dalam tradisi sadranan—ziarah kubur tahunan yang diwariskan secara turun-temurun. "Dulu dipercaya, makam itu milik seorang perempuan, murid sekaligus keturunan Sunan Geseng. Ia memiliki seorang anak laki-laki, namun tak ada yang tahu siapa suaminya," ujarnya saat ditemui di Balai Desa Purworejo.

Narasi tersebut, kata Kalinggo, mulai bergeser sejak dilakukan pemugaran antara tahun 2010 hingga 2013 oleh sebuah pondok pesantren dari Blitar. Mereka tak hanya memugar area makam, tapi juga membeli sawah di sebelah barat petilasan. Dalam keyakinan mereka, situs itu adalah makam tokoh bernama Dipotaruno. "Keyakinan tersebut menyebar luas dan mulai membentuk pemahaman baru di kalangan warga," katanya.

Melihat simpang siurnya informasi, Pemerintah Desa Purworejo merasa perlu menelusuri ulang sejarah berdasarkan data lokal yang lebih akurat. Salah satu acuan penting datang dari catatan lisan tentang Ki Karto, atau Mbah Pret, kepala desa pertama yang diyakini menemukan makam itu saat membuka kawasan desa sekitar tahun 1710. "Kalau merujuk ke tahun itu, klaim bahwa itu makam Dipotaruno jadi tidak masuk akal. Dipotaruno sendiri lahir jauh setelah masa Pangeran Diponegoro," terang Kalinggo.

Baca Juga : Belanja Hemat, Pulang Bawa Sembako: Gebyar Promo Istimewa dari Graha Bangunan Blitar

Penelusuran kemudian diperkuat dengan pendekatan arkeologis dan artefaktual. Tim desa memeriksa relief yang terpahat di sekitar situs dan meneliti keberadaan fosil pohon kemuning yang tumbuh di sana. Hasil taksiran menunjukkan bahwa fosil tersebut telah berumur lebih dari 500 tahun. "Batu-batu besar di area situs juga menunjukkan ciri khas peninggalan kuno," tambahnya.

Dari serangkaian data sejarah dan temuan lapangan itu, Kalinggo menegaskan bahwa situs Tri Tingal lebih tepat diidentifikasi sebagai tempat bermunajat Raden Kebo Kenongo, bangsawan dan tokoh spiritual dari masa peralihan antara Kerajaan Demak dan Mataram. "Klaim Dipotaruno tidak punya dasar sejarah yang kuat, baik dari segi artefak, kronologi, maupun tradisi lokal. Justru semua data yang kami temukan mengarah pada jejak Raden Kebo Kenongo," tegasnya.

Dalam versi sejarah Keraton Surakarta, pertemuan tiga tokoh di Situs Tri Tingal diawali dengan kedatangan Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga ke Kadipaten Kanigoro, atas mandat dari Syekh Datuk Kahfi di Cirebon. Keduanya datang untuk meluruskan penyimpangan ajaran “Amparan Jati” yang disebarkan oleh dua tokoh palsu yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, yakni Hasan Ali dan San Ali Anshar. Pada masa itu, Kadipaten Kanigoro dipimpin oleh Raden Kebo Kanigoro, kakak dari Raden Kebo Kenongo.

Raden Kebo Kenongo datang ke Kanigoro dengan tujuan pribadi: ngangsu kaweruh, atau menimba ilmu kesejatian dari sang kakak. Namun takdir mempertemukannya dengan dua wali besar. Ketika menyadari bahwa sosok yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang pernah ia kenal di Jawa Tengah, Kebo Kenongo sempat diliputi keraguan. Terjadilah dialog mendalam. Penjelasan dari Syekh Siti Jenar, yang diperkuat oleh Sunan Kalijaga, perlahan menjernihkan kesalahpahaman terkait ajaran spiritual manunggaling kawula Gusti.

Dalam perenungan itu, Kebo Kenongo akhirnya tersadar bahwa Syekh Siti Jenar yang sebelumnya ia kenal sejatinya adalah tokoh palsu bernama San Ali Anshar.

Pertemuan ini bukan semata peristiwa spiritual, melainkan juga momen politik rohani—sebuah titik temu antara dua kutub ajaran mistik Jawa: esoterisme radikal ala Siti Jenar dan sufisme moderat khas Sunan Kalijaga. Ketiganya mengadakan dialog mendalam di sanggrahan milik Kebo Kenongo yang terletak di Dusun Centong. Dari diskursus tersebut, lahirlah pemahaman bersama yang saling menyempurnakan antara laku tarekat dan filsafat kasunyatan. Di tempat itu, Kebo Kenongo kemudian diangkat sebagai murid oleh Syekh Siti Jenar. Sanggrahan tersebut kini dikenal sebagai Situs Tri Tingal.

Di sinilah nilai penting Tri Tingal tidak hanya sebagai situs ziarah, melainkan sebagai simpul pemikiran dan kompromi spiritual. "Apa yang diwariskan di Tri Tingal bukan hanya tempat suci, tapi juga pelajaran sejarah tentang penyatuan gagasan dan nilai," kata Kalinggo Purnomo, yang selain kepala desa juga dikenal sebagai seorang seniman.

Mengikat Masa Kini dengan Masa Lalu

Tradisi wilujengan di Tri Tingal mulai diformalisasi sejak tahun 2020 dalam setiap perayaan bersih desa. Artinya, dalam lima tahun terakhir, Desa Purworejo telah berkomitmen meneguhkan kembali tali warisan sejarahnya. Tidak sekadar ritual seremonial, tetapi upaya penyadaran kolektif akan pentingnya menjaga warisan leluhur sebagai basis identitas sosial dan spiritual masyarakat.

Pada akhirnya, Tri Tingal adalah cermin memori kolektif. Ia menjadi benang merah yang menjahit masa lalu, masa kini, dan harapan akan masa depan desa. Di sana, nilai luhur leluhur, spiritualitas Islam-Jawa, dan identitas lokal berpadu membentuk ikatan budaya yang utuh. Masyarakat Purworejo, lewat ritual ini, sesungguhnya sedang menegaskan eksistensi mereka dalam narasi sejarah yang lebih luas—sebuah kisah tentang desa yang tidak hanya bertahan secara fisik, tetapi juga rohaniah.

Wilujengan di Situs Tri Tingal bukan hanya ritual tahunan; ia adalah napas panjang sejarah yang terus hidup dalam denyut kehidupan warga. Di pelataran yang sunyi, tempat doa-doa dilangitkan dan langkah-langkah tertata dalam kesadaran kolektif, sejarah tak lagi beku dalam angka atau peristiwa silam. Ia menjelma bisikan lembut leluhur, hadir tak terlihat, membimbing generasi hari ini dalam ziarah panjang menuju kesejatian hidup. Di sana, masa lalu tak pernah benar-benar pergi; ia menetap dalam ingatan, laku, dan keyakinan yang diwariskan dari satu musim ke musim berikutnya.