JATIMTIMES - Lima belas tahun setelah dimakamkan, jasad seorang pangeran ditemukan masih utuh, bahkan memancarkan tetesan darah merah segar. Fenomena ini mengguncang dunia spiritualitas Jawa dan membangkitkan kembali minat terhadap sosok seorang pahlawan besar: Raden Mas Said, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I.
Artikel ini tidak sekadar mengisahkan peristiwa tersebut, tetapi juga menyelami kedalaman historiografi Jawaāmembentangkan kisah antara pengasingan, peperangan, dan pewahyuan spiritualādengan gaya dokumenter yang blak-blakan dan tanpa sensor.
Pewaris Takhta Mataram yang Tergusur Sejarah
Baca Juga : Puncak Kejayaan Pajang: Saat Sultan Hadiwijaya Memimpin Jawa dari Pedalaman
Dalam pusaran sejarah Jawa abad ke-18 yang bergolak, nama Pangeran Arya Mangkunegara, atau yang lebih dahulu dikenal sebagai Raden Mas Sura, menempati posisi penting namun sering terpinggirkan oleh arus besar narasi politik Mataram dan penjajahan VOC. Ia bukan hanya ayah dari sang legendaris Pangeran Sambernyawa, Raden Mas Said, tetapi juga simbol dari seorang pewaris takhta yang dikhianati oleh sistem dan terasingkan oleh kekuasaan kolonial.
Pangeran Arya Mangkunegara lahir pada tahun 1703 sebagai putra sulung Susuhunan Amangkurat IV dari seorang selir bernama Mas Ayu Kusuma Sunarso. Masa kecilnya tumbuh dalam lingkungan istana Kartasura, dan sejak dini ia dirawat oleh pamannya, Pangeran Purbaya, yang berperan besar membentuk karakter dan pandangannya terhadap kekuasaan serta perjuangan.
Pemberontakan mewarnai awal kehidupan RM Sura. Ketika ayahandanya, Amangkurat IV, mulai merestrukturisasi kekuasaan dan menurunkan derajat para pangeran senior, termasuk Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, gejolak pun tak terelakkan. RM Sura yang setia pada pamannya turut serta mengundurkan diri ke Bale Kajenar dan kemudian ke Malang, wilayah kekuasaan yang jauh dari cengkeraman pusat Kartasura dan VOC.
Pada fase inilah, RM Sura turut merasakan getirnya perjuangan. Ia ikut bergerilya bersama Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra, tokoh misterius yang diyakini oleh beberapa narasi sebagai identitas awal Pangeran Diponegoro, anak dari Pakubuwana I. Namun, pengkhianatan VOC menjadi penutup babak perjuangan itu. Herucakra diasingkan ke Sri Lanka, Purbaya ke Afrika Selatan, dan RM Sura, setelah sempat dijemput kembali ke Kartasura, justru jatuh ke dalam perangkap licik VOC pada tahun 1728.
Pangeran Arya Mangkunegaraānama yang kemudian diberikan saat ia kembali ke istanaādiangkat sebagai adipati, namun tak lama berselang ia dituduh berkhianat oleh Patih Danureja, orang kepercayaan VOC. Tanpa proses pengadilan yang adil, ia ditangkap dan dibuang ke Sri Lanka, tempat ia akhirnya wafat pada tahun 1738, jauh dari tanah kelahirannya.
Pangeran Arya Mangkunegara meninggalkan keturunan yang kelak menjadi tonggak sejarah baru. Dari pernikahannya dengan RAy Raga Asmara, putri bangsawan Madura, dan sepupunya Raden Ayu Wulan, putri Pangeran Blitar, lahirlah sejumlah anak, termasuk Raden Mas Tirtakusuma, RM Umar, dan RM Sakadi. Namun, hanya satu nama yang menembus batas waktu: Raden Mas Said, anak terakhir dari garis keturunan ini, yang tumbuh dalam trauma pengkhianatan, lalu menjelma menjadi pejuang besar yang disebut Sambernyawa, dan pendiri Kadipaten Mangkunegaran.
Dengan demikian, Pangeran Arya Mangkunegara bukan sekadar figur bangsawan yang kalah dalam intrik istana. Ia adalah cermin dari perlawanan sunyi, simbol para pewaris takā“hta yang tersingkir, dan ayah dari generasi yang kelak menyalakan kembali obor perlawanan terhadap kolonialisme. Namanya memang terkubur dalam sejarah panjang pengasingan, tetapi darah perjuangannya mengalir dalam setiap langkah anaknya, sang Pangeran Sambernyawa.
Pengasingan dan Lahirnya Raden Mas Said
Pangeran Arya Mangkunegara ā yang juga dikenal sebagai Mangkunegara Sepuh ā adalah figur penting namun terlupakan dalam palimpsest sejarah Jawa abad ke-18. Ia adalah ayah dari Raden Mas Said, kelak dikenal sebagai KGPAA Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Nasib tragis sang ayah mengaburkan posisi historisnya. Pada 1728, hanya setahun setelah istrinya Raden Ayu Wulan wafat, Arya Mangkunegara diasingkan dari Kartasura ke Batavia oleh perintah Sunan Pakubuwana II. Intrik internal dan tuduhan makar menjadi latar belakangnya.
Namun pengasingan ke Batavia hanyalah awal. Pada Oktober 1733, melalui laporan Komisaris Pesisir Timur Laut Jawa, Frederik Julius Coyett, ditetapkan bahwa Arya Mangkunegara bersama musuh politiknya, Patih Danureja, akan dibuang ke Ceylon (kini Sri Lanka). Dalam arsip British Library (Koleksi Pribadi Mackenzie 11, f.509), disebutkan bahwa tunjangan hidup sebesar 600 ronde realen (kira-kira Rp400 juta dalam nilai hari ini) tetap diberikan oleh Susuhunan sebagai semacam "kompensasi spiritual" atas buangan itu. Namun, dalam pengasingan itulah hidup Arya Mangkunegara berakhir secara fisik ā tapi tidak secara historis.
Saat ayahnya diasingkan, Raden Mas Said masih balita. Ia lahir pada saat keraton dirundung krisis spiritual dan politik. Menariknya, kisah Raden Mas Said dimulai tidak hanya dari kelahirannya, tetapi dari kosmisnya pewahyuan. Pada 7 April 1726, saat Sunan Amangkurat IV tengah terbaring sekarat, babad mencatat bahwa wahyu kekuasaan justru tidak turun kepada Pakubuwana II, sang putra mahkota. Melainkan kepada Raden Ayu Wulan, istri Mangkunegara Tua, yang pada saat itu tengah melahirkan Raden Mas Said. Sebuah fenomena spiritual yang menegaskan sejak awal bahwa anak ini bukan anak sembarangan. Seperti dijelaskan Ricklefs dan dicatat dalam Babad Keraton Surakarta Hadiningrat, wahyu bukan sekadar simbolisme, melainkan fondasi legitimasi politik dalam kosmologi kekuasaan Jawa
Setelah kematian ibunya pada 1727 dan pengasingan ayahnya pada 1728, Raden Mas Said dirawat oleh pamannya, Pangeran Purbaya. Dalam kisah yang ditulis oleh Ronggowarsita dalam Babad Itih Kartasura, disebutkan bahwa Purbaya melihat tanda gaib ketika lidah anak itu berkedut saat mendekat. Ia menafsirkan ini sebagai tanda bahwa Mas Said kelak akan menjadi panglima besar. Sejak saat itu, Pangeran kecil dididik untuk bertapa dan mempelajari seni perang, membentuk landasan dari sosok Sambernyawa di masa dewasa.
Sementara itu, jauh di pengasingan Ceylon, Danureja yang pernah menjebloskan Mangkunegara Sepuh justru meramalkan bahwa anak sang pangeran akan menjadi pembuat raja dan pelindung Jawa. Dalam satu babad, ia berkata: "Kalau dia dihancurkan, Raden Mas Said, makanan Jawa, hancurlah beras dan padi, makanan pun semuanya hilang."
Sementara itu di Ceylon, Arya Mangkunegara menjalani sisa hidupnya dalam pengasingan. Tidak ada catatan rinci tentang tahun wafatnya, namun diduga sekitar 1738. Ia meninggal di Colombo. Berbeda dengan pengasingan modern, pembuangan di abad ke-18 adalah bentuk penghilangan simbolik: sebuah upaya membuang tubuh politik sekaligus arwah budaya seseorang dari sejarah. Namun, semangat Arya Mangkunegara justru menetap, terutama dalam perjuangan putranya.
Kabar kematiannya tidak hanya menyebar ke Jawa, tetapi juga memantik gelombang spiritual. Para kerabatnya di Mataram bermimpi bahwa sang pangeran ingin kembali ke tanah leluhurnya, dimakamkan dalam damai. Sebuah penafsiran kolektif yang menunjukkan betapa kuat ikatan antara tanah, jiwa, dan garis darah dalam spiritualitas politik Jawa.
Sambernyawa: Warisan Darah dan Dendam
Baca Juga : Mengenal Tiga Ayat Qauliyah: Menyingkap Kebesaran Allah dalam Alam Semesta
Raden Mas Said tidak hanya tumbuh menjadi pemimpin spiritual, tapi juga komandan militer ulung. Ia memimpin lebih dari 200 pertempuran melawan VOC dan keraton yang berselingkuh dengan kolonialisme. Ia dikenal karena taktik gerilyanya, kekuatan batinnya, dan kemampuannya menyatukan rakyat kecil dalam perlawanan panjang. Sosoknya begitu legendaris sehingga dalam budaya Jawa ia disebut āSamber Nyawaā ā sang pencabut nyawa.
Namun, dalam setiap pertempuran yang ia menangkan, bayangan Arya Mangkunegara tidak pernah lepas. Dendam atas pengasingan dan kehancuran ayahnya menjadi spirit pembakar perjuangannya. Ketika akhirnya mendirikan Kadipaten Mangkunegaran pada 1757 melalui Perjanjian Salatiga, itu bukan sekadar penaklukan politik, tapi juga pemulihan martabat keluarga.
Lima belas tahun setelah Arya Mangkunegara dimakamkan di Ceylon, makamnya dibongkar untuk dibawa pulang dan dimakamkan kembali di Jawa. Saat itu terjadi sebuah peristiwa supranatural: jasadnya ditemukan masih utuh dan mengeluarkan darah segar. Dalam tradisi Jawa dan Islam, hal semacam ini diyakini sebagai tanda kewalianāseseorang yang hidupnya suci dan dianugerahi karomah. Namun, dalam perspektif historiografi modern, fenomena ini justru membuka ruang diskusi tentang trauma sejarah yang belum terselesaikan.
Dalam tradisi Jawa, hal ini menandakan belum tenangnya arwah, pertanda bahwa sang jiwa masih memiliki ikatan dengan dunia. Ini bisa ditafsirkan sebagai ketidakberesan dalam siklus sejarah keluarga, atau penanda bahwa cita-citanya belum sepenuhnya tercapai.
Peristiwa ini memperkuat posisi spiritual dan politik Raden Mas Said, yang kini tak hanya pewaris darah, tetapi juga pewaris mimpi yang tertunda. Dalam konteks ini, darah yang keluar dari jasad sang ayah bukan hanya fenomena biologis, tetapi metafora historiografis yang menandakan kesinambungan sejarah dan pentingnya pelurusan narasi bangsawan Jawa.
Penulis mencatat bahwa dalam budaya Jawa, jasad yang tidak membusuk kerap dipahami sebagai simbol perlawanan latenāmereka yang kalah secara politik, namun menang dalam ranah spiritual. Dalam konteks Arya Mangkunegara, tubuh yang tetap utuh itu menjadi penanda bahwa sejarah belum selesai menuliskan kisahnya.
Historiografi tubuh dalam konteks Jawa bukanlah hal yang baru. Tubuh para bangsawanāterutama yang mengalami pengasinganāsering menjadi medan perebutan antara memori kolektif dan kuasa negara. Dalam catatan penulis, jasad Arya Mangkunegara menjadi titik awal kelahiran sosok baru. Dalam narasi VOC dan keraton, tubuh itu harus disingkirkan agar tak lagi menginspirasi perlawanan. Namun kenyataan spiritual berbicara lain: tubuh itu tidak membusuk, bahkan meneteskan darah segar.
Temuan itu memaksa kita meninjau ulang bagaimana kolonialisme, monarki, dan rakyat biasa saling bersentuhan dalam tubuh individu. Arya Mangkunegara bukan sekadar korban, tapi simbol keretakan peradaban yang dirawat oleh anaknya dengan darah dan nyawa.
Makam sebagai Arsip Hidup
Makam Arya Mangkunegara bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir. Ia adalah arsip hidup ā yang tak tertulis dalam buku sejarah resmi, tapi berbicara dalam bentuk tubuh yang tak hancur. Ia adalah simbol perlawanan diam, bahwa kekuasaan bisa membuang tubuh, tapi tak pernah bisa menghapus ingatan kolektif.
Setiap tetes darah yang merembes dari jasad Arya Mangkunegara adalah kutukan sunyi bagi pengkhianatan sejarahāsebuah bisikan luka yang tak kunjung sembuh dalam tubuh bangsa. Dari tubuhnya yang enggan membusuk, generasi baru menemukan bukan hanya semangat Sambernyawa, tapi bara abadi dari liang sunyi yang menolak dilupakan.
Dan benar, generasi itu akhirnya lahir. Seorang pangeran, Sambernyawa, menjelma dari abu pengasingan dan luka kolektif. Dialah Mangkunegara I, sosok yang menjahit kembali martabat yang tercerai. Maka nama Arya Mangkunegara pun tak pernah mati. Ia hidup dalam setiap aksara, abadi dalam setiap bait prosa perjuangan, dan menjadi fondasi Kadipaten Mangkunegaranāsebuah kerajaan kecil yang lahir dari penolakan untuk dilenyapkan.