free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Jepara dan Daerah Pedalaman: Jejak Politik dan Peran Ratu Kalinyamat dalam Konstelasi Jawa Abad ke-16

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara abad ke-16, digambarkan dalam lukisan cat minyak bergaya realis dengan aura bangsawan yang anggun dan kharismatik. Keberaniannya memimpin armada laut melawan penjajah menjadi simbol kekuatan perempuan Nusantara. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jepara pada abad ke-16 tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik yang terjadi di sepanjang pesisir utara Jawa dan daerah pedalamannya. Sebagai kota pelabuhan utama yang mewarisi kejayaan Demak, Jepara berkembang menjadi pusat perdagangan dan kekuatan maritim yang diperhitungkan. 

Namun, pertanyaan yang masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan adalah sejauh mana Jepara, khususnya di bawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat, terlibat dalam politik pedalaman Jawa yang pada masa itu didominasi oleh Pajang dan Mataram.

Baca Juga : Ketua Koni Sampang Buka Langsung Pembukaan Puslatkab Atlet

Jika menilik berbagai sumber historiografi, termasuk Babad Tanah Jawi, Sedjarah Banten, dan catatan para penjelajah Eropa, Jepara lebih dikenal sebagai kekuatan bahari yang aktif dalam ekspedisi militer ke luar Jawa, terutama ke Banten dan Maluku. 

Namun, keterlibatan Ratu Kalinyamat dalam konflik internal yang melibatkan Pajang, Kudus, dan Mataram menandakan adanya hubungan yang lebih kompleks antara Jepara dan daerah pedalaman. 

Salah satu peristiwa paling menonjol yang menghubungkan Jepara dengan dinamika politik di pedalaman adalah kasus pembunuhan Pangeran Hadlirin oleh Aria Panangsang, penguasa Jipang, yang memicu konflik besar di tanah Jawa.

Ratu Kalinyamat dalam Historiografi Jawa: Menelusuri Silsilah Sang Ratu Pejuang

Ratu Kalinyamat, tokoh perempuan karismatik dari Jepara abad ke-16, dikenal luas karena kiprahnya dalam perlawanan terhadap kolonialisme Portugis. Namun, hingga kini, asal-usul dan silsilah keluarganya masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan, terutama dalam lingkup historiografi Jawa yang kaya dengan berbagai versi dan pendekatan.

Dalam kajian Ratu Kalinyamat: Perempuan Perintis Antikolonialisme 1549–1579 yang disusun oleh Yayasan Dharma Bhakti Lestari, terdapat empat versi utama mengenai nasab Ratu Kalinyamat. 

Keempat versi tersebut bersumber dari Serat Kandhaning Ringgit Purwa, Babad Tanah Jawi, Babad Demak, dan silsilah keluarga yang terukir di kompleks Makam Mantingan, Jepara.

Dalam naskah Serat Kandhaning Ringgit Purwa, Ratu Kalinyamat disebut sebagai Retna Kencana, salah satu putri Sultan Trenggana, penguasa ketiga Kesultanan Demak. Ia digambarkan sebagai saudara dari Retna Kenya (yang menikah dengan Kiai Langgar), Retna Mirah (istri Pangeran Riye), dan Pangeran Prawoto atau Pangeran Mukmin (putra mahkota Demak). 

Versi ini menonjolkan Retna Kencana sebagai anggota bangsawan Demak, tetapi hubungannya dengan Jepara tidak dijelaskan secara mendalam. 

Babad Tanah Jawi menyajikan perspektif berbeda, dengan menyebut bahwa Sultan Trenggana memiliki beberapa anak yang terlibat dalam pernikahan politik lintas kerajaan. 

Di antaranya adalah seorang putri yang menikah dengan Pangeran Sampang, Pangeran Prawata, seorang putri yang menjadi istri Pangeran Hadiri (diduga Sultan Hadlirin), seorang putri yang menikah dengan Pangeran Cirebon, seorang putri yang diperistri Jaka Tingkir, dan Pangeran Timur. 

Meskipun tidak menyebut nama Ratu Kalinyamat secara langsung, identifikasi putri yang menikah dengan Pangeran Hadiri merujuk kuat pada sosoknya.

Dalam Babad Demak, narasi silsilah lebih menekankan peran spiritual dan hubungan dengan Wali Songo. Sultan Trenggana disebut memiliki anak-anak seperti Pangeran Mukmin atau Sunan Prawata, seorang putri yang menikah dengan Pangeran Langgar dari Madura, seorang putri yang diperistri Pangeran Hadirin, seorang putri yang menjadi istri Panembahan Pasarean (putra Fatahillah), dan seorang putra bergelar Pangeran Timur, kelak Bupati Madiun. 

Keunikan versi ini adalah pengakuan spiritual terhadap Pangeran Mukmin sebagai wali yang diangkat oleh Sunan Giri, memperlihatkan dimensi keagamaan yang kuat dalam pewarisan kekuasaan.

Versi terakhir berasal dari bagan silsilah di Makam Mantingan, Jepara. Dokumen ini menyebut secara eksplisit bahwa Sultan Trenggana memiliki anak-anak sebagai berikut: Pangeran Mukmin (Pangeran Prawata), Putri I (istri Pangeran Langgar), Putri II bernama Ratu Kalinyamat (istri Pangeran Hadirin), Putri III (istri Pangeran Pasarean), Putri IV (istri Joko Tingkir), dan Putri V (istri Pangeran Timur).

 Versi ini memberikan struktur yang lebih sistematis dan mengafirmasi posisi Ratu Kalinyamat sebagai putri langsung Sultan Trenggana sekaligus penguasa sah Jepara.

Keempat versi di atas mencerminkan kompleksitas penulisan sejarah di Jawa, yang kerap dipengaruhi oleh unsur politik, spiritualitas Islam, hingga narasi lokal. Serat Kandhaning Ringgit Purwa membawa nuansa tembang dan pewayangan, Babad Tanah Jawi mengedepankan strategi pernikahan dinasti, Babad Demak mencerminkan legitimasi religius, sementara silsilah di Makam Mantingan menunjukkan semangat dokumentasi lokal dan konkret.

Walaupun terdapat perbedaan dalam penyebutan nama maupun susunan keluarga, seluruh versi sepakat bahwa Ratu Kalinyamat adalah putri Sultan Trenggana dan istri dari Sultan Hadlirin, penguasa Kalinyamat. 

Setelah suaminya wafat akibat konflik politik dengan Arya Penangsang, ia mengambil alih kekuasaan dan memimpin Jepara secara langsung. Salah satu kiprah terbesarnya adalah pengiriman ekspedisi militer ke Malaka, sebuah langkah berani menantang dominasi Portugis di Asia Tenggara.

Pembunuhan Pangeran Hadlirin dan Dendam Ratu Kalinyamat

Pangeran Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat, adalah salah satu tokoh penting dalam jaringan kekuasaan Jepara-Demak-Pajang. Ia menjadi korban politik ketika Aria Panangsang, yang berambisi merebut kembali tahta Demak, melakukan serangkaian pembunuhan politik terhadap para penguasa yang dianggap sebagai ancaman. 

Pembunuhan ini tidak hanya menggoreskan luka mendalam bagi Ratu Kalinyamat, tetapi juga menjadi pemicu keterlibatan Jepara dalam upaya balas dendam terhadap Aria Panangsang.

Namun, ada suatu hal yang menarik dalam konteks ini. Meskipun memiliki sumber daya militer yang kuat, Ratu Kalinyamat memilih untuk tidak mengerahkan langsung kekuatan tentara Jepara dalam konfrontasi dengan Aria Panangsang. 

Sebaliknya, ia lebih memilih memberikan dukungan finansial dan logistik kepada pihak yang menentang penguasa Jipang tersebut. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa Jepara, sebagai kota pelabuhan yang lebih berorientasi ke perdagangan dan ekspansi maritim, tidak terlalu tertarik pada konflik di pedalaman.

Pilihan strategi Ratu Kalinyamat ini bertolak belakang dengan karakter kepemimpinannya yang dalam berbagai sumber digambarkan sebagai sosok yang tegas dan berani, terutama dalam konteks ekspedisi militer ke luar Jawa. Dalam konteks politik internal Jawa, pendekatan yang digunakan lebih bersifat diplomatis dan berbasis dukungan ekonomi, bukan militer langsung.

Peran Pajang dan Mataram dalam Konflik dengan Aria Panangsang

Baca Juga : Link Live Streaming Pernikahan Luna Maya dan Maxime Bouttier Hari ini

Keputusan Ratu Kalinyamat untuk tidak terjun langsung dalam konflik dengan Aria Panangsang membuka jalan bagi keterlibatan Pajang, yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Pajang, yang kala itu mulai muncul sebagai kekuatan baru di Jawa setelah meredupnya Demak, memanfaatkan situasi ini untuk mengukuhkan posisinya.

Sumber historiografi seperti Babad Tanah Jawi menggambarkan peran Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, yang berasal dari Sela, dalam membantu Pajang mengalahkan Aria Panangsang. 

Kemenangan ini kemudian diikuti dengan pemberian tanah Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan sebagai bentuk hadiah dari Sultan Hadiwijaya. Dari sini, tampak adanya pergeseran pusat kekuasaan dari pesisir utara Jawa ke pedalaman, yang kelak akan menjadi cikal bakal kebangkitan Mataram Islam di bawah Sutawijaya.

Namun, menariknya, dalam narasi yang berkembang, peran Jepara dan Ratu Kalinyamat dalam kemenangan atas Aria Panangsang cenderung direduksi atau bahkan diabaikan. Penulis menilai bahwa kisah dalam Babad Tanah Jawi telah mengalami distorsi demi menonjolkan peran Pajang dan Mataram, sementara kontribusi Jepara hanya disebut dalam konteks sebagai penyokong finansial.

Jepara dan Kesultanan Banten: Aliansi Politik yang Tersingkir

Meskipun dalam konteks politik pedalaman Jawa Jepara tampak tidak terlalu aktif, tetapi di wilayah pesisir dan kawasan luar Jawa, peran Ratu Kalinyamat justru sangat menonjol. Salah satu aspek yang sering luput dari perhatian adalah hubungannya dengan Kesultanan Banten.

Jepara memiliki ikatan sejarah dengan Banten sejak masa awal pendiriannya. Sebagaimana dicatat dalam Sedjarah Banten karya Djajadiningrat, Pangeran Aria, putra Sultan Hasanuddin dari Banten, bahkan pernah menyandang gelar "Pangeran Jepara" setelah dikawinkan dengan putri Sultan Demak. 

Hal ini menunjukkan adanya hubungan erat antara Jepara dan Banten yang berakar pada ikatan kekerabatan.

Namun, hubungan ini mengalami ketegangan pada akhir abad ke-16, terutama setelah upaya perebutan tahta Banten oleh Pangeran Jepara pada tahun 1580. 

Peristiwa ini terjadi setelah wafatnya Maulana Yusuf, sultan kedua Banten, yang kemudian digantikan oleh putranya, Pangeran Muhammad, yang masih berusia sangat muda. Dengan dukungan dari sebagian elite politik Banten dan bantuan dari Jepara, Pangeran Jepara mencoba merebut kekuasaan.

Namun, rencana ini gagal setelah para pejabat Banten yang sebelumnya mendukungnya justru berbalik arah dan memilih setia kepada Pangeran Muhammad. Dalam pertempuran yang terjadi, salah satu panglima Jepara, Kiai Demang Laksamana, tewas, dan Pangeran Jepara terpaksa mundur.

Peristiwa ini tidak hanya menunjukkan ambisi Jepara di wilayah barat Nusantara, tetapi juga mengindikasikan bahwa Ratu Kalinyamat atau penguasa Jepara pada masa itu masih memiliki klaim politik terhadap wilayah-wilayah yang dahulu berada dalam pengaruh Demak.

Jepara dan Ekspedisi ke Maluku: Mitos atau Fakta?

Selain keterlibatan dalam politik Banten, ada satu lagi aspek yang menarik dalam historiografi Jepara, yaitu klaim bahwa Jepara pernah mengirim ekspedisi ke Maluku.

Sumber-sumber Eropa seperti Oud en Nieuw Oost-Indiën karya Valentijn menyebut adanya ikatan politik antara Jepara dan Amboina, serta keterlibatan Jepara dalam perlawanan terhadap Portugis di Maluku. Disebutkan bahwa seorang penguasa Jepara, yang kemungkinan adalah Ratu Kalinyamat, pernah mengirim tujuh kapal perang untuk membantu penguasa Hitu dalam menghadapi Portugis.

Namun, masalah utama dalam narasi ini adalah ketidakjelasan kronologi dan ketiadaan bukti kuat mengenai ekspedisi tersebut. Para sejarawan masih memperdebatkan apakah Jepara benar-benar aktif dalam perlawanan terhadap Portugis di Maluku, ataukah peran tersebut lebih banyak dimainkan oleh Giri dan penguasa Surabaya.

Jika benar Jepara terlibat dalam ekspedisi ke Maluku, maka hal ini semakin memperkuat gambaran bahwa Jepara lebih berfokus pada ekspansi maritim ketimbang politik pedalaman.

Jepara sebagai Penguasa Maritim, Bukan Penguasa Pedalaman

Dari berbagai data historiografi yang telah dibahas, tampak jelas bahwa Jepara di bawah Ratu Kalinyamat lebih memilih berperan sebagai kekuatan maritim yang berorientasi ke luar Jawa ketimbang terlibat dalam konflik politik pedalaman. 

Meskipun memiliki keterkaitan sejarah dengan Pajang dan Mataram, Jepara tampaknya tidak terlalu tertarik untuk berperan aktif dalam dinamika kekuasaan di tanah Jawa, kecuali dalam kasus yang melibatkan dendam pribadi, seperti pembunuhan Pangeran Hadlirin oleh Aria Panangsang.

Sebaliknya, Jepara lebih banyak terlibat dalam politik pesisir, termasuk konflik di Banten dan dugaan ekspedisi ke Maluku. Hal ini mempertegas bahwa pada abad ke-16, kekuatan utama di Jawa mulai bergeser dari pesisir ke pedalaman, dengan munculnya Mataram sebagai pusat kekuasaan baru yang kelak akan menguasai sebagian besar wilayah Jawa.