free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Aksi Demonstrasi Jadi Sorotan Guru Besar dan Akademisi, Imbau Patuhi Pentingnya UU

Penulis : Irsya Richa - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prof. DR. I Nyoman Nurjaya, SH, MS (tengah). (Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Maraknya aksi demonstrasi yang tidak jarang mengarah pada tindakan anarkis dan pelanggaran hukum menjadi perhatian Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prof. DR. I Nyoman Nurjaya, SH, MS, dan akademisi serta tokoh pendidikan Prof. DR. H. Maskuri, M.Si, Kamis (15/5/2025).

I Nyoman Nurjaya mengatakan penyampaian pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam sistem demokrasi. Hanya saja hak tersebut tidak bersifat mutlak. Harus ada batasan hukum dan tanggung jawab sosial yang menyertainya.

Baca Juga : Tak Perlu Ganja, ini Obat Relaksasi yang Aman Dikonsumsi dan Dianjurkan Dokter

“UU No 9 Tahun 1998 tidak sekadar memberi hak, tetapi juga mengatur prinsip-prinsip dasar yang harus ditaati. Mulai dari syarat administratif, larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, hingga ketentuan sanksi jika terjadi pelanggaran. Ini adalah satu sistem norma yang mengatur penyampaian pendapat agar tetap dalam koridor hukum,” kata Nyoman.

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum”, lanjut Nyoman menjadi instrumen hukum utama yang harus dipahami dan dipatuhi oleh setiap pihak yang ingin menyampaikan aspirasi di ruang publik. Bahkan lokasi dan waktu pelaksanaan demonstrasi juga telah diatur dengan jelas.

Aksi pun tidak diboleh dilakukan di tempat strategis tertentu seperti Istana Kepresidenan, instalasi militer, rumah sakit, tempat ibadah, hingga di media publik yang dapat mengganggu ketertiban umum. Selain itu, demonstrasi juga sebaiknya tidak dilakukan pada hari libur nasional atau hari besar keagamaan.

“Kebebasan harus dilaksanakan dengan akal sehat. Negara, melalui aparat kepolisian, punya kewajiban untuk mengawal, mendampingi, dan menjaga ketertiban selama aksi berlangsung. Tapi bila aksi berubah menjadi destruktif, maka hukum wajib ditegakkan,” tegas Nyoman.

Ia juga mengimbau unjuk rasa yang berubah menjadi anarki, seperti perusakan fasilitas umum, bentrokan, hingga provokasi merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan bisa dikenakan sanksi sesuai tindakannya, Sanksi bisa dari KUHP, UU Lalu Lintas, hingga UU ITE jika menyebarkan konten provokatif di media sosial.

“Aksi kolektif dalam bentuk demonstrasi bisa mudah berubah menjadi chaos jika tidak dikendalikan. Oleh karena itu, penting sekali bagi peserta untuk memahami aturan, menghindari anarki, dan bertanggung jawab terhadap tindakan masing-masing,” tambah Nyoman.

Baca Juga : Akhir Gelombang I, Kloter 50 Jemaah Haji Embarkasi Surabaya Masuk Asrama

Senada dengan hal tersebut, Prof. DR. H. Maskuri, M.Si, akademisi dan tokoh pendidikan, juga menekankan penyampaian aspirasi seharusnya dilakukan secara elegan, bertanggung jawab, dan menghindari cara-cara konfrontatif di jalanan.

“Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Khususnya dalam Pasal 6, warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum wajib menghormati hak dan kebebasan orang lain, aturan moral, hukum yang berlaku, serta menjaga ketertiban umum dan persatuan bangsa,” ujar Maskuri.

Maskuri mendorong agar aspirasi masyarakat disampaikan melalui mekanisme yang lebih tepat seperti audiensi dengan DPRD, DPR RI, atau lembaga pemerintahan yang relevan. Menurutnya, langkah tersebut akan lebih berdampak positif dibandingkan aksi turun ke jalan yang justru berpotensi mengganggu ketertiban, kenyamanan, bahkan aktivitas ekonomi masyarakat.

“Demonstrasi boleh, itu hak warga. Tapi kalau bisa disampaikan secara terstruktur dan legal ke institusi resmi, maka akan lebih produktif dan tidak menimbulkan kekacauan. Kita perlu menjaga negara ini tetap kondusif,” tegas Prof. Maskuri.