JATIMTIMES -Dalam sejarah panjang Kerajaan Mataram pasca-tragedi pemberontakan dan perpecahan istana, terdapat satu momen krusial yang nyaris mengubah konfigurasi kekuasaan di tanah Jawa: saat Pangeran Sambernyawa, atau Raden Mas Said, hampir menjadi Susuhunan Surakarta. Sebuah kisah yang berlapis antara pengasingan, jenazah yang kembali dari negeri seberang, diplomasi politik dengan Kompeni, dan kompleksitas legitimasi dinasti yang disulam dalam bayang-bayang ketakutan VOC.
Artikel ini menelusuri dengan seksama dinamika antara Pangeran Sambernyawa, Kompeni, dan Istana Surakarta pada awal dekade 1750-an, berdasarkan sumber-sumber primer seperti arsip VOC, Babad Giyanti, dan surat-menyurat pejabat tinggi Belanda.
Jenazah yang Menjadi Simbol Politik
Baca Juga : Ketika Jipang Runtuh: Jejak Konflik Arya Penangsang vs Pajang dalam Arsip Kolonial
Pada 1751, Pakubuwana III menyurati VOC agar jenazah Pangeran Aria Purbaya—paman sang raja, yang telah lama dibuang ke Sri Lanka karena keterlibatannya dalam pemberontakan—dipulangkan ke tanah Jawa. Permintaan ini disertai pula dengan permohonan agar jenazah Pangeran Arya Mangkunegara, ayahanda Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), dipulangkan bersama anggota keluarga mereka yang masih hidup. Sekilas tampak sebagai langkah sederhana, namun di mata VOC, permintaan ini mengandung potensi ancaman dan menimbulkan kecemasan.
Para pejabat VOC di Semarang curiga akan niat di balik pemulangan keluarga eksil ini. Mereka mengamati bahwa di antara rombongan terdapat saudari kandung Sambernyawa, dan mencurigai kemungkinan Sambernyawa akan menyambut mereka lalu merekrut pihak-pihak yang berpotensi memantik kembali konflik terbuka terhadap kekuasaan Surakarta dan Kompeni. Lebih mencemaskan lagi, turut serta pula seorang putra mantan Patih Natakusuma, tokoh yang dibuang sejak 1742, yang dianggap dapat menjadi elemen berbahaya bila jatuh dalam pengaruh Sambernyawa.
Pada Februari 1753, jenazah Pangeran Arya Mangkunegara tiba di Semarang, diiringi oleh Pangeran Tirtakusuma—kakak kandung Raden Mas Said—yang sebelumnya tinggal di Batavia dan turut serta dalam rombongan pemulangan. Kedatangan ini berlangsung tanpa pemberitahuan resmi kepada Gubernur VOC di Semarang, Van Hohendorff. Meski sempat terkejut, Van Hohendorff melihat kesempatan strategis dalam situasi tersebut. Ia berharap, dengan mengizinkan pemulangan jenazah sang ayah dan menghadirkan kembali sosok Tirtakusuma, Raden Mas Said—yang telah lama bertempur melawan VOC dan dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa—akan melunak. Di benak Van Hohendorff, pengembalian jasad itu bukan sekadar urusan keluarga, melainkan langkah diplomatik yang dapat membuka jalan menuju perdamaian. Ia membayangkan bahwa duka dan penghormatan kepada sang ayah akan menyentuh sisi kemanusiaan Sambernyawa, dan menggesernya dari sikap keras menuju kompromi.
Sambernyawa menyambut jenazah ayahnya dengan rombongan besar. Sebuah prosesi yang luar biasa, terdiri dari 400 penunggang kuda dan 200 prajurit berjalan kaki, mengiringi peti mati dari Semarang menuju Imogiri. Dalam Babad Giyanti, disebutkan bahwa perjalanan jenazah itu disertai badai dan gempa bumi, simbol kekacauan dan emosi mendalam. Sambernyawa menyambutnya dalam meditasi intens, sebuah momen spiritual dan politis yang melambangkan rekonsiliasi batin dengan sang ayah yang nyaris tak ia kenal.
Dengan penuh semangat simbolis, Sambernyawa mengirim utusan untuk menerima jenazah ayahnya. Arak-arakan jenazah pun menjadi peristiwa politik yang sarat makna spiritual. Catatan dari Babad Giyanti dan kesaksian pribadi Sambernyawa menyebutkan bahwa rombongan terdiri atas 400 penunggang kuda, 200 infanteri, dan kaum ulama yang berdzikir di barisan depan. Perjalanan ke pedalaman dihantam badai dan gempa bumi—seolah dalam narasi lokal, alam turut merespons dan menyambut kedatangan jenazah itu seakan-akan ia masih hidup.
Jenazah kemudian dimakamkan di kompleks Imogiri, situs pemakaman para raja Mataram. Tujuh hari pembacaan Al-Qur'an digelar, dihadiri oleh santri dan masyarakat dari berbagai distrik. Di sinilah Sambernyawa, dalam suasana penuh emosi dan spiritualitas yang dalam, menuliskan perasaan hatinya. Ia menggambarkan pertemuan dengan jenazah sang ayah yang nyaris tidak ia kenal sebagai peristiwa mistik: "Lir wong arawuh gesange, cacak layon kang rawuh" — seperti orang yang datang hidup-hidup, meski sesungguhnya hanyalah jenazah.
Negosiasi Kekuasaan: Sambernyawa Tampil ke Panggung Diplomasi
Usai pemakaman yang berlangsung dalam suasana penuh duka dan ketegangan, Gubernur Pantai Utara Jawa, Johan Andries van Hohendorff, segera memanfaatkan momen itu untuk membuka jalur diplomasi baru. Kesempatan itu tidak ia sia-siakan. Sambernyawa, yang selama ini dikenal sebagai pemimpin laskar pemberontak paling tangguh melawan VOC dan Keraton Surakarta, mengirimkan utusannya ke Semarang. Rombongan itu tiba pada 11 Mei 1753, bukan sebagai delegasi biasa, melainkan dengan pernyataan kuasa yang sangat mencolok—mereka datang membawa 500 pasukan kavaleri lengkap dengan persenjataan. Kehadiran militer itu jelas merupakan sinyal kuat: perundingan ini bukan dalam posisi lemah.
Dalam suasana diplomasi yang panas, para utusan itu dengan lantang menyatakan sumpah setia kepada VOC. Namun, di balik sumpah itu, mereka menyampaikan tiga tuntutan strategis dari Sambernyawa. Pertama, VOC harus menaikkan status Sambernyawa sesuai keinginannya—yang secara tidak langsung namun tegas mengarah pada ambisinya menjadi Susuhunan Surakarta, gelar yang dipakai untuk menyebut Raja Surakarta. Tuntutan ini membawa implikasi politik besar, yaitu keinginan mendapatkan pengakuan resmi atas kedaulatan dan kepemimpinan atas wilayah serta rakyat yang selama ini ia bela dengan senjata.
Kedua, Sambernyawa menuntut agar jenazah ayahandanya, Pangeran Arya Mangkunegara, yang meskipun telah dimakamkan di Imogiri namun masih berada dalam kekuasaan simbolik pihak musuh—khususnya VOC—segera diserahkan kepadanya. Permintaan ini bukan sekadar perkara keluarga, melainkan tuntutan atas kehormatan dan legitimasi: sebagai pewaris utama garis darah dan spiritualitas perjuangan, Sambernyawa menginginkan kendali atas jenazah itu sebagai bentuk pengakuan atas hak historis dan politiknya.
Tuntutan Sambernyawa agar jenazah ayahandanya, Pangeran Arya Mangkunegara, diserahkan kepadanya bukan sekadar urusan keluarga atau tindakan sentimental. Permintaan ini memiliki dimensi politis yang dalam dan penuh simbol. Dalam tradisi kekuasaan Jawa, kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer atau restu elite, tetapi juga oleh garis keturunan dan wahyu keprabon—sebuah konsep spiritual tentang legitimasi ilahiah seorang raja. Dengan menuntut jenazah ayahandanya, Sambernyawa menegaskan bahwa dialah pewaris sah kehormatan dan perjuangan trah Mangkunegara. Ia ingin menunjukkan diri bukan sekadar sebagai panglima perang pemberontakan, melainkan sebagai putra utama dari sebuah garis keturunan yang sah namun telah dimarjinalkan.
Selain itu, dalam budaya politik Jawa, pemakaman bukan sekadar ritus kematian, melainkan sebuah simbol pengesahan kekuasaan. Siapa yang memakamkan, di mana jenazah dimakamkan, dan dengan prosesi seperti apa, semua menjadi bagian dari narasi legitimasi politik. Bila jenazah Arya Mangkunegara tetap berada dalam penguasaan VOC atau Kasunanan, maka kendali atas simbol kehormatan dan sejarah leluhur juga ada di tangan mereka. Dengan menuntut pemindahan jenazah, Sambernyawa sesungguhnya hendak merebut kembali kendali atas narasi sejarah dan legitimasi spiritual kekuasaan yang melekat pada leluhurnya.
Tindakan ini juga merupakan bentuk tantangan langsung terhadap hegemoni VOC dan Kasunanan Surakarta. Ia menunjukkan bahwa Sambernyawa tidak mengakui supremasi politik mereka dalam menentukan martabat dan kehormatan para bangsawan Mataram. Dalam makna yang lebih dalam, tuntutan ini merupakan upaya “merebut mayat” sebagai sarana untuk merebut kekuasaan yang sah.
Dengan demikian, tuntutan atas jenazah Mangkunagara Sepuh menjadi semacam simpul simbolik di mana darah, kehormatan, dan kuasa dipertaruhkan dalam satu tindakan politik. Jika VOC mengabulkan permintaan tersebut, maka secara tidak langsung mereka mengakui posisi Sambernyawa sebagai ahli waris trah Mataram—sesuatu yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaan pasca-Perjanjian Giyanti yang sedang mereka konsolidasikan.
Tuntutan ketiga lebih bersifat personal namun tetap berlapis politik: ia meminta agar saudara kandungnya, Tirtakusuma, dikembalikan ke pihaknya. Entah Tirtakusuma menjadi tahanan, sandera politik, atau berada dalam perlindungan istana, permintaan ini memperlihatkan keinginan Sambernyawa untuk memperkuat barisan dalam lingkaran dalam keluarganya, yang selama ini menjadi tumpuan dalam perlawanan terhadap dominasi kekuasaan istana dan kolonial.
Tiga tuntutan ini, meski disampaikan dalam bingkai sumpah setia, adalah bentuk ultimatum. Sambernyawa menawarkan perdamaian, tetapi dengan harga dan kehormatan yang tinggi. VOC harus menimbang: menerima tuntutan dan menyambut seorang raja baru yang lahir dari medan perang, atau terus mempertahankan struktur kekuasaan lama yang rapuh dan semakin kehilangan wibawa di mata rakyat.
Van Hohendorff tidak berani mengangkat Sambernyawa sebagai raja, dengan alasan bahwa takhta sudah diduduki Susuhunan Pakubuwana III, yang masih muda dan sehat. Menurutnya, tidak masuk akal mengangkat raja baru dari cabang dinasti yang sama, apalagi dari pihak yang sebelumnya dianggap memberontak. Ia menolak tuntutan pertama dengan penuh kehati-hatian dan menyatakan bahwa hanya "kemurahan hati" VOC yang bisa menentukan nasib Sambernyawa.
Meskipun tuntutan Sambernyawa untuk diangkat menjadi raja ditolak, ia tidak menghentikan manuver politiknya. Para utusan Sambernyawa tetap bertahan di Semarang hingga 20 Mei 1753 tanpa menerima komunikasi lanjutan dari pihak VOC. Van Hohendorff, dengan perhitungan yang cermat, akhirnya menyetujui penyerahan jenazah Pangeran Arya Mangkunegara kepada Sambernyawa, sekaligus menunda rencana pengiriman Tirtakusuma.
Baca Juga : Kisah Uwais Al Qarni, Anak yang Menggendong Ibu hingga Tanah Suci
Tirtakusuma sendiri mengirim pesan kepada adiknya, menyatakan bahwa ia hanya bersedia bertemu jika melihat bukti bahwa Sambernyawa benar-benar ingin berdamai dengan VOC. Dalam catatan Van Hohendorff, ia digambarkan sebagai sosok yang lebih berhati-hati dibanding adiknya. Strategi VOC jelas: menjadikan Tirtakusuma sebagai sandera moral untuk membatasi gerak Sambernyawa.
Pangeran Tirtakusuma, saudara kandung Sambernyawa, menjadi kartu truf dalam permainan politik ini. Van Hohendorff secara aktif menggunakan kehadiran Tirtakusuma di Semarang sebagai alat negosiasi. Setiap surat kepada Sambernyawa disertai pula dengan surat dari Tirtakusuma, agar saudara yang satu ini membujuk Sambernyawa agar tunduk kepada Kompeni.
Namun semua upaya itu gagal. Tirtakusuma enggan meninggalkan Semarang. Bagi VOC, ini adalah sinyal kesetiaan kepada mereka. Bahkan sempat muncul ancaman untuk mengembalikan seluruh keluarga ke Sri Lanka apabila Sambernyawa tetap tidak patuh. Tetapi Sambernyawa tidak goyah.
Kisah ini adalah fragmen penting dalam historiografi Jawa abad ke-18. Saat istana Surakarta tengah terpecah pasca Perang Pewaris Takhta dan Perjanjian Giyanti 1755, muncul peluang historis bagi seorang bangsawan pemberontak, Pangeran Sambernyawa, untuk naik ke singgasana. Namun ketakutan VOC terhadap pengaruh dan kharisma Sambernyawa, serta keengganan untuk merusak stabilitas dinasti yang baru berdiri, menjadikan peluang itu tertutup.
Sambernyawa akhirnya menjadi Adipati Mangkunegaran, penguasa wilayah otonom dalam lingkup Surakarta, dengan legitimasi yang berasal dari kompromi politik, bukan garis waris langsung. Ia tidak pernah menjadi Sunan, namun sejarah mencatat bahwa ia nyaris mengubah jalannya takhta Mataram.
Melalui kisah ini, kita memahami betapa kekuasaan di tanah Jawa bukan semata urusan garis darah, melainkan juga hasil pergulatan diplomasi, simbolisme, dan permainan psikologis antara bangsawan Jawa dan kekuatan kolonial Belanda. Dalam figur Mangkunagara, kita melihat tokoh yang tidak sekadar pemberontak, melainkan seorang politisi cerdik, spiritualis, dan negarawan yang tahu kapan harus menyerang dan kapan harus bernegosiasi. Nyaris menjadi Sunan Surakarta, ia tetap dikenang sebagai Sambernyawa—roh pembebas—yang meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam sejarah tanah Jawa.
Riwayat Singkat dan Historiografi Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said)
Di tengah prahara politik dan pusaran kekuasaan di Mataram abad ke-18, muncullah seorang tokoh muda yang kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa—julukan yang menggema karena keberaniannya di medan perang dan taktik gerilyanya yang mematikan. Ia adalah Raden Mas Said, putra dari Pangeran Arya Mangkunegara dan Raden Ayu Wulan, seorang wanita bangsawan dari garis keturunan Pangeran Blitar, cucu dari Sunan Pakubuwana I. Lahir sekitar 7 April 1726, Mas Said tumbuh dalam bayang-bayang konflik berdarah dan intrik istana. Ayahnya diasingkan ke Srilanka oleh VOC setelah terlibat dalam manuver politik yang gagal. Sejak itu, jalan hidup Mas Said ditempa oleh kehilangan, penghinaan, dan kemarahan yang menggelegak terhadap dinasti yang telah mengkhianati darah dagingnya.
Masa mudanya diwarnai oleh ketidakadilan. Pakubuwana II, raja Mataram saat itu, tidak mengakui status kebangsawanannya secara penuh. Alih-alih diangkat sebagai Pangeran Sentana, ia hanya diberi kedudukan sebagai Gandhek Anom, posisi bangsawan rendahan yang dianggap menghinakan martabat keturunan darah biru. Pengabaian dan penghinaan itu mendorongnya keluar dari istana, memilih jalan pedang dan pemberontakan. Sejak remaja, ia telah terlibat dalam gejolak Geger Pecinan (1740–1743), bersekutu dengan Raden Mas Garendi, cucu Sunan Amangkurat III, yang kala itu memimpin pasukan Tionghoa-Jawa menyerbu pusat kekuasaan Mataram dan VOC.
Latar keluarganya menjelaskan pilihan-pilihan hidupnya. Pangeran Blitar, kakeknya dari pihak ibu, adalah tokoh yang ikut dalam Perang Suksesi Jawa Kedua bersama Pangeran Purbaya melawan Raja Amangkurat IV. Semangat perlawanan menurun dalam darah Mas Said. Ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan kehormatan keluarganya adalah dengan menentang kekuasaan yang telah merampas haknya.
Selama lebih dari 16 tahun, Mas Said menjalankan perang gerilya yang menggetarkan bumi Mataram. Ia membentuk koalisi perlawanan bersama para bangsawan buangan, termasuk Pangeran Mangkubumi—adik dari Pakubuwana II. Keduanya menjadi poros utama dalam pemberontakan yang membuat VOC dan Keraton Surakarta kewalahan. Catatan Belanda menunjukkan bahwa Raden Mas Said terlibat dalam lebih dari 250 pertempuran antara 1746 hingga 1755, jumlah yang mencerminkan intensitas serta daya tahan militernya. Strateginya fleksibel, berani, dan sangat menekankan pergerakan cepat di pedalaman, dengan pasukan kecil namun disiplin tinggi.
Julukan Sambernyawa bukanlah sembarang gelar. Ia diberikan oleh Belanda yang begitu terpukul oleh taktik perangnya yang mematikan. Nama itu berarti “penyambar nyawa”, karena kehadiran Mas Said di medan perang hampir selalu berarti kematian bagi lawan-lawannya. Meskipun bertubuh kecil, ia adalah orator ulung, pemimpin yang kharismatik, dan jenderal gerilya paling efektif pada masanya.
Namun, ikatan koalisi dengan Mangkubumi tidak berlangsung selamanya. Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 1755, yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan—Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta—Raden Mas Said menolak hasil kesepakatan tersebut. Baginya, Giyanti adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan Jawa dari dominasi Belanda. Maka, ia memilih tetap berperang, kini melawan tiga kekuatan sekaligus: VOC, Kasunanan Surakarta, dan bahkan Kesultanan Yogyakarta.
Puncak perjuangannya terjadi dua tahun kemudian. Pada 1757, setelah tekanan perang semakin berat dan konstelasi politik tidak lagi mendukung perlawanan berkelanjutan, Raden Mas Said menandatangani Perjanjian Salatiga. Perjanjian ini mengakui dirinya sebagai penguasa otonom dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Ia diakui oleh VOC dan Pakubuwana III sebagai Adipati Kadipaten Mangkunegaran, sebuah wilayah semi-merdeka yang berdiri di jantung Surakarta. Ini merupakan pencapaian luar biasa: dari seorang pemberontak yang diburu selama dua dekade, menjadi pemimpin sah dengan legitimasi politik dan struktur kekuasaan sendiri.
Nama Mangkunegaran diambil dari gelar ayahnya, sebagai bentuk penghormatan dan kesinambungan garis keturunan. Dengan demikian, Raden Mas Said tak hanya merebut kehormatan yang dirampas darinya, tetapi juga mengabadikan nama keluarganya dalam sejarah.
Historiografi tentang Pangeran Sambernyawa tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas zaman peralihan abad ke-18, saat Mataram terpecah dan VOC memperkuat kendalinya atas Jawa. Ia adalah simbol perlawanan Jawa terhadap kolonialisme, dan sekaligus tokoh transisi dari dunia prajurit ke dunia birokrat.
Kiprahnya menunjukkan bahwa dalam dunia Jawa, perjuangan politik seringkali menyatu dengan harga diri pribadi dan klaim genealogis terhadap takhta. Dalam tubuhnya mengalir darah raja, namun ia memilih jalur perjuangan rakyat, menciptakan jalannya sendiri menuju kekuasaan.