free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Agama

Siraman dalam Tradisi Pernikahan: Adat Budaya yang Sejalan dengan Tuntunan Islam?

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi pengantin. (pixabay)

JATIMTIMES - Tradisi siraman menjelang pernikahan sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Prosesi yang identik dengan penyucian diri ini kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian adat sebelum ijab kabul. 

Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan legalitas praktik ini dalam perspektif ajaran Islam. Benarkah siraman termasuk bid'ah dan tak memiliki tuntunan dari Rasulullah SAW?

Baca Juga : Raden Mas Guntur: Cicit Amangkurat III yang Ditakuti Kompeni

Dalam tradisi Nusantara, siraman diyakini sebagai simbol pembersihan lahir dan batin calon pengantin. Secara fisik, siraman dimaknai sebagai upaya membersihkan tubuh, sedangkan secara spiritual, prosesi ini menjadi momen memanjatkan doa dan harapan baik untuk kehidupan rumah tangga kelak.

Sebelum siraman dimulai, calon pengantin perempuan lazimnya melakukan sungkeman kepada kedua orang tua. Jika kakek-nenek turut hadir, penghormatan pertama diberikan kepada mereka, baru kemudian dilanjutkan kepada orang tua kandung. Prosesi ini sarat dengan makna permohonan restu dan wujud bakti kepada orang tua.

Setelah seluruh perlengkapan siraman siap, acara dimulai dengan sang ayah sebagai penyiram pertama, disusul oleh ibu, lalu anggota keluarga lainnya secara bergantian. Jumlah penyiram umumnya ganjil, antara tujuh hingga sembilan orang. Prosesi ditutup oleh perias pengantin sebagai penyiram terakhir.

Tak hanya itu. Tradisi ini juga mengenal "tanam rikmo", yaitu mengubur potongan rambut mempelai pria dan wanita yang digabungkan lalu dikubur di halaman rumah. Ritual simbolis ini dipercaya sebagai sarana "mengubur" hal-hal buruk, agar pasangan pengantin memperoleh kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh berkah.

Dari sudut pandang syariat, hukum tradisi siraman bukanlah hal yang terlarang. Sebagaimana dijelaskan oleh laman Islamdotco, Rasulullah SAW pernah melakukan tindakan serupa ketika mempersiapkan pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra.

"Rasulullah mengambil wadah berisi air, kemudian beliau membaca doa, lalu mengusapkannya ke dada dan wajah Ali. Setelah itu, Nabi memanggil Fatimah yang datang dengan rasa malu, lalu Rasulullah memercikkan air tersebut kepadanya sembari mendoakan kebaikan." (HR al-Thabrani)

Hadis ini menunjukkan bahwa siraman sebagai simbol penyucian diri menjelang pernikahan pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Meski tata caranya berbeda dengan adat Nusantara, esensinya serupa: membersihkan diri dan memohon keberkahan.

Baca Juga : MTsN 1 Kota Malang Sukses Submit Dokumen Evaluasi ZI, Kian Mantap Menuju WBK dan WBBM

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum tradisi siraman adalah mubah (diperbolehkan), bahkan bisa bernilai sunah jika diniatkan sebagai bentuk penyucian diri dan sarana berdoa, selama tidak mengandung unsur pelanggaran syariat.

Meski demikian, ada catatan penting yang perlu diperhatikan. Dalam pelaksanaannya, tradisi siraman di beberapa daerah dilakukan dengan calon pengantin wanita hanya mengenakan kain jarik yang menutupi tubuh dari dada hingga kaki. Jika prosesi ini disaksikan oleh khalayak luas, maka berpotensi membuka aurat yang jelas dilarang dalam Islam.

Karena itu, penting bagi masyarakat untuk menyesuaikan tradisi ini dengan nilai-nilai syariat. Siraman sebaiknya dilakukan di tempat tertutup, hanya dihadiri oleh kerabat dekat yang memiliki hubungan mahram, serta memastikan aurat calon pengantin tetap terjaga.