free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Klub Rahasia Hamengkubuwana V: Intrik, Perlawanan Diam-Diam, dan Krisis Takhta di Balik Dinding Keraton Yogyakarta (1845–1849)

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Hamengkubuwana V menggelar pertemuan senyap bersama beberapa bangsawan keraton. Bukan sekadar musyawarah, tapi bagian dari jaringan 'klub rahasia'. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di balik tembok batu dan pendapa berlapis ukiran emas Keraton Yogyakarta, pada pertengahan abad ke-19, tersembunyi sebuah kisah penuh intrik, konspirasi, dan ambisi tersembunyi. Ini bukan sekadar catatan kehidupan bangsawan yang gemerlap. 

Di dalamnya terdapat upaya sistematis seorang raja muda, Hamengkubuwana V untuk menggoyang tatanan lama dan menyusun kembali kekuasaan dengan membentuk sebuah kelompok eksklusif: Klub Rahasia Tumenggung Sclusin.

Baca Juga : Askab PSSI Banyuwangi Siap Songsong Porprov Jawa Timur IX 2025

Dibentuk secara senyap sekitar tahun 1845–1846, klub ini pada awalnya dianggap tidak lebih dari kumpulan para bangsawan muda dan pejabat rendahan yang gemar berjudi dan bersenang-senang. Namun, di balik aktivitas sosial mereka yang tampak ringan, tersembunyi cita-cita politik yang radikal dan kekhawatiran para elite kolonial akan munculnya arus bawah perlawanan di pusat kekuasaan Jawa.

Hamengku Buwono V: Sultan Anak-Anak di Tengah Badai Sejarah

Pada fajar abad ke-19, ketika dunia Jawa diguncang oleh gejolak kolonialisme dan letupan resistensi pribumi, lahirlah seorang bayi laki-laki di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia adalah Gusti Raden Mas Gatot Menol, putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Lahir pada 20 Januari 1821, ia tidak lahir untuk masa kanak-kanak yang biasa. Sejarah telah menulisnya dalam jalur berbeda: menjadi raja di usia tiga tahun.

Ketika ayahandanya, Hamengku Buwono IV, wafat pada 1823, Keraton Yogyakarta dihadapkan pada situasi genting: seorang bayi yang harus memangku kekuasaan. Maka, demi menjaga stabilitas, dibentuklah sebuah Dewan Perwalian. Isinya adalah tokoh-tokoh utama keraton: Ratu Ageng (nenek buyut yang juga permaisuri Sultan HB III), Ratu Kencono (ibunda Sultan), Pangeran Mangkubumi (putra HB II), dan Pangeran Diponegoro, sepupu sultan yang cemerlang. Namun, posisi mereka tak mencakup kekuasaan penuh. Pemerintahan praktis dijalankan oleh Patih Danurejo III, di bawah pengawasan langsung Residen Belanda. Inilah simbol dari krisis kekuasaan: raja belum dewasa, wali hanya penasihat, dan kendali sesungguhnya berada di tangan kolonial.

Situasi ini diperparah oleh konflik internal dan eksternal. Tahun 1825, Pangeran Diponegoro, yang sebelumnya menjadi bagian dari Dewan Perwalian, menyatakan perang terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia merasa dilecehkan oleh kebijakan tanah, tekanan pajak, hingga degradasi adat keraton. Perang ini, kelak dikenal sebagai Perang Jawa (1825–1830), menjadi konflik terbesar di tanah Jawa sejak kejatuhan Mataram.

Selama masa itu, situasi kekuasaan di keraton menjadi semakin liminal. Sultan yang masih anak-anak digantikan secara sementara oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono II, yang pernah dibuang ke Ambon dan dikembalikan oleh Belanda demi stabilitas. Masa pemerintahannya yang keras hanya berlangsung 1826–1828, hingga akhirnya wafat dan kekuasaan dikembalikan pada GRM Gatot Menol.

Tahun 1836, ketika usianya menginjak 16 tahun, GRM Gatot Menol dinyatakan dewasa secara politik dan memerintah penuh sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono V. Ia naik takhta dalam dunia yang baru saja melepaskan diri dari kobaran Perang Jawa. Pangeran Diponegoro ditangkap secara licik pada 28 Maret 1830 oleh Jenderal De Kock di Magelang, setelah diundang ke perundingan yang berubah menjadi penjebakan. Diponegoro dibuang ke Manado, lalu Makassar, dan wafat pada 8 Januari 1855 — lima bulan sebelum kematian Sultan Hamengku Buwono V sendiri.

Sebagai pemimpin muda yang dibesarkan di bawah bayang-bayang trauma perang, Sultan Hamengkubuwana V mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda dari pendahulunya. Ia menolak konfrontasi terbuka terhadap Belanda, dan lebih memilih jalan perang pasif. Kedekatan Sultan dengan pemerintah kolonial bukan bentuk kolaborasi buta, tetapi strategi bertahan hidup politik. Ia menyadari bahwa adu kekuatan hanya akan memperparah luka keraton. Maka, ia memainkan peran diplomatis — menjaga wajah keraton sekaligus menenangkan Batavia.

Namun, tak semua bangsawan dan rakyat sepakat dengan jalur ini. Di kalangan internal, Hamengkubuwana V dipandang sebagai sultan yang terlalu lemah dan terlalu "Belanda". Beberapa sejarawan mencatat bahwa pendekatan damainya membuatnya dijuluki sebagai sultan pemelihara status quo, terutama dibandingkan dengan figur militan seperti Diponegoro atau Mangkubumi. Tapi dalam kacamata historiografi, kita menemukan sesuatu yang lebih kompleks: Sultan HB V mencoba menghidupkan kembali peran keraton sebagai pusat kebudayaan, bukan medan perang kekuasaan.

Selama pemerintahannya, HB V mendorong kesenian dan kesusastraan. Ia memerintahkan penulisan naskah-naskah Jawa klasik dan pelestarian warisan leluhur. Beberapa keris pusaka keraton dibuat atas perintahnya. Ia juga mempererat simbolisme budaya dan adat istiadat sebagai benteng identitas Jawa, dalam situasi ketika kekuatan politik tidak lagi mutlak berada di tangan raja-raja pribumi.

Meski begitu, hidup Hamengkubuwana V berakhir tragis. Pada 5 Juni 1855, Sultan wafat secara mendadak dan misterius — sebagian sumber menyebut adanya konflik istana yang berdarah dingin, meski tidak tercatat secara resmi dalam babad. Ia dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri, tempat para raja Mataram bersemayam.

Saat wafat, Gusti Kanjeng Ratu Kencono, permaisuri pertamanya, tidak melahirkan keturunan. Sementara istri keduanya, GKR Sekar Kedhaton, sedang mengandung dan belum melahirkan. Situasi ini membuat kekuasaan tidak bisa diwariskan secara langsung kepada anak Sultan. Maka, tahta diberikan kepada adik HB V, yaitu Raden Mas Mustojo, yang naik takhta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

Latar Belakang: Keraton dalam Ketegangan

Setelah Perang Jawa (1825–1830) yang menghancurkan dan merenggut legitimasi Dinasti Mataram, Keraton Yogyakarta tidak pernah lagi berdiri utuh. Raja-raja pasca-Perang Jawa, seperti Hamengkubuwana IV dan penerusnya Hamengkubuwana V, hidup dalam bayang-bayang kontrol ketat pemerintah Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen (1845–1851), muncul ketegangan baru di lingkungan Keraton. Pengawasan terhadap aktivitas para bangsawan diperketat. Sistem pengangkatan jabatan pun disusupi kepentingan kolonial. Di tengah suasana inilah Hamengkubuwana V, seorang raja muda yang sebelumnya dimarjinalkan oleh faksi-faksi istana, mulai membangun kekuatan baru yang berakar pada loyalitas pribadi.

Klub Rahasia “Tumenggung Sclusin”: Dari Pertemanan ke Politik

Menurut laporan Residen R. de Fillietaz Bousquet dan penyelidikan Komisioner Khusus J.F.W. van Nes, Sultan Hamengkubuwana V membentuk klub eksklusif yang awalnya diberi nama “Tumenggung Sclusin”. Klub ini beranggotakan enam bupati senior, lebih dari dua puluh dua bupati muda, serta ratusan panji dan nayaka lebet—para pejabat dalam keraton. Mereka diangkat secara langsung oleh Sultan berdasarkan asas favoritisme, bukan senioritas ataupun garis keturunan.

Kepada para anggota klub, Sultan memberikan jabatan dan upah: para tumenggung menerima 12 jung tanah dan gaji 50 gulden per bulan, para riyā mendapat 3 jung dan 7 gulden, sedangkan panji menerima 2 jung dan 4 gulden.

Tak hanya itu. Sultan juga memesan pembuatan tombak dan keris senilai 15.000 gulden, serta meminta kembali keris-keris pusaka dari pangeran-pangeran senior untuk kemudian diberikan kepada para anggota klub saat mereka mengucap sumpah setia. Tindakan ini memiliki makna simbolis sekaligus politis: pengangkatan legitimasi baru dan pemutusan dari tradisi lama.

Apa yang membuat pihak kolonial mulai resah bukan hanya jumlah anggota klub ini yang semakin membesar, melainkan juga simbolisme yang dipakai. Klub tersebut secara satiris menggunakan nama-nama pejabat tinggi Hindia Belanda sebagai identitas para anggotanya. Ada yang menyebut dirinya Raad van Indië, Jenderal Cochius, dan bahkan De Fillietaz sendiri.

Baca Juga : Purworejo Rahardja: Ketika Wayang, Pemerintahan dan Tradisi Bertemu dalam Satu Panggung di Blitar

Bagi sebagian pihak, ini hanyalah lelucon para bangsawan muda. Namun Van Nes melihatnya sebagai bentuk magis politik—penolakan terselubung terhadap kekuasaan kolonial melalui substitusi simbolik.

Lebih dari sekadar aktivitas sebuah klub, dinamika politik internal Keraton Yogyakarta sangat memengaruhi arah pergerakan klub tersebut. Sejak awal abad ke-19, elite istana terpecah ke dalam dua faksi besar yang saling bersaing.

Faksi pertama dikenal sebagai Faksi Kasepuhan, yang beranggotakan para pangeran senior seperti Pangeran Mangkubumi—putra Sultan Hamengkubuwana II—serta Pangeran Ngabehi dan Suryanagara.

Sementara itu, faksi lainnya adalah Faksi Karajaan, yang terdiri atas para pendukung Sultan Hamengkubuwana III dan Hamengkubuwana V. Tokoh-tokoh penting dalam kelompok ini antara lain Patih Danureja IV dan Pangeran Suryengalaga.

Hamengkubuwana V berada dalam tekanan dua kutub tersebut. Ia menyebut dirinya dengan penuh ironi sebagai “Tumenggung Kliwon Sasranagara”—seorang tumenggung yang hanya bergelar kliwon, bukan bangsawan tinggi. Juga sebagai “Raden Suka Praja Punakawan”, sindiran terhadap posisinya yang seakan sekadar pelengkap istana.

Reaksi Kolonial: Intervensi dan Pembubaran

Pada akhir tahun 1846, Van Nes memerintahkan penyelidikan terbuka. Gubernur Jenderal Rochussen menilai klub tersebut sebagai ancaman potensial dan memerintahkan pembubarannya. Sultan pun akhirnya, meski dengan enggan, membubarkan Tumenggung Sclusin, mengembalikan keris-keris pusaka, dan menyudahi aktivitas klub.

Patih Danureja IV, yang dianggap turut melindungi gerakan ini, dipensiunkan pada Februari 1847. Namun, ini tidak menyelesaikan gejolak di balik dinding istana.

Tahun 1849, tiga tahun setelah pembubaran klub, terjadi perkembangan mengejutkan. Di tengah kegagalan kebijakan tanah sewa dan ketegangan sosial, para tuan tanah Eropa dan Indo-Eropa, bersama para bangsawan Jawa, mulai mengadakan pertemuan rahasia di malam hari di dalam keraton. Beberapa nama besar seperti Patih Danureja V, Pangeran Yudanagara, Adiwinata, Riya Kusuma, dan Suryanagara terlibat aktif.

Pertemuan ini diduga menjadi forum diskusi politik yang sangat sensitif. C.L. van den Berg, seorang pejabat penerjemah Belanda, pun dikabarkan turut serta. Diskusi-diskusi yang dianggap “tidak layak tentang pemerintah” menyebar dan menimbulkan kecemasan pihak kolonial.

Gubernur Jenderal Rochussen akhirnya mengirim surat keras kepada Sultan, menuntut agar semua aktivitas politik para pangeran dihentikan dan pertemuan malam dilarang.

Dalam pusaran ini, muncul pula nama Pangeran Arya Rangga—tokoh muda penuh semangat yang sebelumnya telah membentuk koneksi dengan para pangeran dan ulama seperti Tumenggung Sumadirdja, Kiai Hasan Besari dari Ponorogo, dan Hasan Anom dari Madiun. Pangeran ini, yang sempat dikabarkan menyusun rencana pengorbanan diri demi nama besar Diponegoro, akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Belanda menuduhnya sebagai bagian dari konspirasi baru—sisa bara yang mungkin berasal dari jaringan klub rahasia Sultan. Surat-surat dari pengasingan menyebutkan bahwa Rangga menyebut Diponegoro masih sebagai “Sultan Erucakra”, namun dalam surat lain kepada ibunya, ia mengaku tujuannya hanyalah mencari kedudukan dan gaji lebih baik.

Klub Rahasia sebagai Proyek Politik

Meskipun terbatas dalam usia dan capaian, Tumenggung Sclusin bukanlah sekadar perkumpulan sosial. Ia adalah cermin dari kegelisahan politik dan upaya rekonstruksi kekuasaan dalam keraton yang kehilangan arah.

Bagi Hamengkubuwana V, klub ini adalah cara untuk membangun kembali legitimasi, bukan dari darah biru, tapi dari loyalitas dan kebaruan. Sebuah tindakan yang membahayakan dalam pandangan kolonial, tapi sekaligus refleksi tentang bagaimana para pemuda bangsawan mencoba merintis jalan baru dalam bayang-bayang penjajahan.

Sejarah barangkali tak pernah mencatat klub ini sebagai bagian dari revolusi. Tak ada letupan, tak ada semboyan besar yang menggema. Namun dalam diamnya, tersimpan desah pertama dari sebuah niat yang besar: keyakinan bahwa Jawa belum selesai ditulis. Bahwa takhta bukan semata-mata perkara garis darah atau warisan leluhur, melainkan medan pertarungan visi, arah, dan masa depan yang hendak dibentuk.