JATIMTIMES- Setelah kematian Maharaja Wikramawardhana pada tahun 1429 Masehi, Majapahit dihadapkan pada periode penuh gejolak di bawah pemerintahan Maharani Sri Suhita.
Walaupun dia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan tangguh, masa pemerintahannya diwarnai dengan serangkaian pemberontakan dan intrik yang melemahkan kekuatan Majapahit.
Baca Juga : Momen Hardiknas, MPM Honda Jatim Ajak Siswa SMAN 1 Blitar Unjuk Kreativitas di PCX160 Gen-Z School Movement
Prabu Sri Suhita, yang dikenal sebagai raja perempuan kedua dalam sejarah Kerajaan Majapahit setelah Tribhuwana Wijayatunggadewi, merupakan simbol keberanian dan ketangguhan. Sebagai penguasa, Sri Suhita harus mengarungi masa pemerintahan yang penuh gejolak dan tantangan berat yang mengancam stabilitas kerajaan.
Namun, dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya, Sri Suhita membuktikan bahwa kekuatan seorang pemimpin tidaklah bergantung pada gender, melainkan pada kedalaman visi dan keberanian untuk menghadapi segala badai yang menghadang.
Kepemimpinannya tidak hanya mempertahankan warisan kejayaan Majapahit, tetapi juga menegaskan bahwa seorang perempuan mampu memimpin dengan kebijaksanaan dan keberanian yang setara, atau bahkan melebihi, para raja terdahulu. Dalam menghadapi konflik internal dan eksternal, Sri Suhita menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati terletak pada keteguhan hati dan kemampuan untuk melihat jauh ke depan, melampaui hambatan yang ada.
Majapahit, sebuah kerajaan besar yang pernah menjadi pusat kebudayaan dan perdagangan di Nusantara, mengalami masa-masa penuh tantangan dan perubahan di bawah kepemimpinan Prabu Sri Suhita. Naik takhta pada usia yang relatif muda sekitar 20 tahun, Sri Suhita menggantikan ayahnya, Maharaja Wikramawardhana, dan memimpin kerajaan dari tahun 1429 hingga 1447 Masehi.
Selama masa pemerintahannya, dia harus menghadapi dampak serius dari Perang Paregreg, sebuah konflik saudara yang memecah belah keluarga kerajaan dan meninggalkan luka mendalam dalam struktur sosial serta ekonomi kerajaan.
Silsilah Sri Suhita dalam catatan sejarah Majapahit tidak sepenuhnya jelas dan seringkali membingungkan. Kitab Pararaton, yang menjadi salah satu sumber utama sejarah Majapahit, menyebutkan silsilahnya secara samar.
Diketahui bahwa Sri Suhita adalah putri dari Bhre Daha kedua, yang merupakan keturunan dari Rajadewi, putri bungsu Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Rajadewi menikah dengan Nagarawardhani, dan dari pernikahan ini lahirlah Bhre Daha kedua yang kemudian menjadi selir Maharaja Wikramawardhana setelah kemenangan Wikramawardhana dalam Perang Paregreg melawan Bhre Wirabhumi.
Bhre Daha adalah gelar yang diberikan kepada tokoh perempuan berpengaruh di Majapahit. Sri Suhita menggantikan ibunya sebagai Bhre Daha ketiga setelah kematiannya menjelang bencana kelaparan tahun 1426. Setelah wafatnya ayahnya, Sri Suhita naik takhta dan memimpin Majapahit. Meskipun tantangan yang dihadapi selama masa pemerintahannya cukup besar, Sri Suhita menunjukkan keberanian dan ketegasan dalam upayanya memulihkan stabilitas kerajaan.
Sri Suhita menikah dengan Aji Ratnapangkaja, seorang pria berdarah biru dengan silsilah yang juga rumit dan kaya akan hubungan keluarga di kalangan penguasa Majapahit. Aji Ratnapangkaja bergelar Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Ibunya adalah Surawardhani, yang juga dikenal sebagai Bhre Kahuripan, adik dari Maharaja Wikramawardhana. Sementara itu, ayahnya, Raden Sumirat, memegang gelar Bhre Pandansalas dan dikenal dengan julukan Ranamanggala.
Catatan Nagarakretagama menyebutkan bahwa Surawardhani belum menikah pada tahun 1365 dan masih memegang gelar Bhre Pawanuhan. Gelar Bhre Kahuripan baru diwarisi oleh Surawardhani setelah kematian neneknya, Tribhuwana Tunggadewi, yang sebelumnya memegang posisi tersebut. Setelah kematian Surawardhani, gelar ini kemudian diberikan kepada Ratnapangkaja.
Ratnapangkaja memiliki hubungan darah yang erat dengan para penguasa Majapahit dan juga ikatan perkawinan yang kompleks. Dia memiliki tiga saudara perempuan: Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ketiganya menikah dalam lingkaran kekuasaan yang sangat erat, memperlihatkan betapa rumitnya jaringan hubungan dalam dinasti Majapahit.
Pemberontakan di Bali dan Pasunggiri
Cerita-cerita Jawa-Bali, seperti yang terkisah dalam Usana Jawa dan Ncongah, mencatat berbagai perlawanan yang terjadi selama pemerintahan Rani Suhita. Salah satu yang paling signifikan adalah pemberontakan di Bali. Arya Damar, seorang pangeran Majapahit yang juga dikenal sebagai Adipati Palembang, berhasil menaklukkan seluruh Bali. Penaklukan ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada pemberontakan di pulau tersebut, mengingat sejak masa Mahapatih Gajah Mada, Bali telah berada di bawah kendali Majapahit.
Setelah mengamankan Bali, Arya Damar menghadapi pemberontakan di Pasunggiri. Lagi-lagi, dia menunjukkan keberanian dan kemampuan militernya dengan menumpas perlawanan tersebut. Namun, tantangan terbesar datang dari dalam Majapahit sendiri, yaitu dari Bhre Daha, putra Bhre Wirabhumi. Pada tahun 1434 Masehi, Bhre Daha sempat menguasai istana Majapahit, menunjukkan betapa seriusnya ancaman internal terhadap kekuasaan Rani Suhita.
Intrik dan Penyingkiran Tokoh-Tokoh Berjasa
Di tengah-tengah upaya mempertahankan stabilitas, Majapahit juga diguncang oleh serangkaian intrik dan penyingkiran tokoh-tokoh penting. Dalam sebuah kerajaan yang sudah berada di ambang senja, intrik dan fitnah sering kali menjadi cara yang efektif untuk menyingkirkan saingan. Di bawah pemerintahan Rani Suhita, banyak tokoh unggul yang berjasa besar bagi kerajaan disingkirkan dengan alasan yang tidak jelas.
Contoh paling mencolok adalah penyingkiran Tuan Kanaka, Mahapatih Majapahit sejak tahun 1410 Masehi. Tanpa alasan yang jelas, dia digantikan pada tahun 1430 oleh seseorang yang hanya dikenal karena kemampuannya untuk menyenangkan atasan, bukan karena kompetensinya. Pergantian ini mencerminkan ketidakstabilan internal dan melemahkan otoritas kerajaan.
Ratu Anggabhaya Bhre Narapati, yang berjasa dalam menumpas pemberontakan Bhre Wirabhumi, juga mengalami nasib yang tragis. Pada tahun yang sama dengan penggantian Tuan Kanaka, dia dijatuhi hukuman mati. Hukuman ini terjadi tidak lama setelah penyingkiran Tuan Kanaka, menunjukkan pola intrik yang semakin merajalela di lingkaran kekuasaan Majapahit.
Pemberontakan Bhre Daha dan Penyingkiran Arya Damar
Pemberontakan Bhre Daha pada tahun 1434 merupakan salah satu peristiwa paling dramatis di masa pemerintahan Rani Suhita. Bhre Daha, yang merupakan putra Bhre Wirabhumi, sempat menguasai istana Majapahit, menciptakan ketidakstabilan yang signifikan. Arya Damar, yang telah berjasa menumpas pemberontakan di Bali dan Pasunggiri, akhirnya dikirim jauh dari pusat kekuasaan sebagai Adipati Palembang. Langkah ini mungkin dimaksudkan untuk menjaga jarak antara Arya Damar dan konflik kekuasaan di ibu kota, tetapi juga mencerminkan ketidakpercayaan yang berkembang di antara para pemimpin Majapahit.
Akhir Masa Pemerintahan Rani Suhita dan Transisi Kekuasaan
Rani Suhita memerintah hingga tahun 1447 Masehi. Meskipun ia berhasil memimpin di tengah berbagai krisis, masa pemerintahannya berakhir tanpa adanya penerus langsung karena ia tidak memiliki putra. Setelah kematiannya, kekuasaan Majapahit diteruskan oleh adiknya, Dyah Kertawijaya, yang naik takhta dengan nama Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana.
Baca Juga : Libur Panjang Waisak, 2 KA Jarak Jauh Tambahan Dioperasikan dari Stasiun Malang
Dyah Kertawijaya, dikenal sebagai Maharaja Majapahit kelima yang sah, menjadi pemimpin yang membawa perhatian baru terhadap perkembangan agama Islam di Majapahit. Ini sebagian besar dipengaruhi oleh istri-istrinya yang berasal dari Campa dan Cina yang merupakan Muslim. Hubungan ini mencerminkan mulai terbukanya pengaruh Islam di lingkungan istana Majapahit.
Majapahit di Ambang Senja
Kisah pemerintahan Rani Suhita adalah contoh nyata bagaimana intrik internal dan pemberontakan eksternal dapat melemahkan sebuah kerajaan besar. Meskipun dia berhasil mempertahankan kekuasaan dan menumpas berbagai pemberontakan, Majapahit tetap terguncang oleh konflik internal yang melemahkan fondasi kekuasaannya.
Dengan naiknya Dyah Kertawijaya, Majapahit memasuki babak baru yang dipengaruhi oleh dinamika agama dan politik yang berubah. Namun, tantangan yang dihadapi selama masa pemerintahan Rani Suhita menunjukkan betapa rapuhnya kekuatan kerajaan ini dalam menghadapi tekanan internal dan eksternal.
Periode pemerintahan Rani Suhita menunjukkan bahwa bahkan dalam masa-masa yang paling sulit, ketahanan dan kebijaksanaan seorang pemimpin dapat menentukan nasib sebuah kerajaan. Meskipun dihadapkan pada berbagai pemberontakan dan intrik, warisan Rani Suhita sebagai seorang pemimpin yang berani dan kuat tetap tercatat dalam sejarah Majapahit
Warisan Sri Suhita dalam Sejarah Majapahit
Prabu Sri Suhita memerintah Majapahit hingga wafatnya pada tahun 1447 Masehi. Setelah kematiannya, kekuasaan Majapahit diteruskan oleh adiknya, Dyah Kertawijaya, yang naik takhta dengan nama Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana. Meskipun masa pemerintahan Sri Suhita penuh dengan tantangan dan gejolak, dia berhasil mempertahankan kekuasaan dan memimpin dengan tegas di tengah berbagai krisis.
Sri Suhita tetap dikenang sebagai pemimpin wanita yang kuat dan berani dalam sejarah Majapahit. Kisah hidupnya menunjukkan bahwa bahkan dalam masa-masa sulit, kepemimpinan yang teguh dan bijaksana dapat menjadi penentu nasib sebuah kerajaan besar.
Kisah pemerintahan Prabu Sri Suhita menyoroti tantangan dan ketahanan seorang pemimpin di tengah gejolak politik dan pemberontakan. Warisannya sebagai penguasa wanita yang tangguh tetap menjadi bagian penting dari sejarah Majapahit, menginspirasi banyak generasi yang datang kemudian.
Prabu Sri Suhita dan Penggantinya, Brawijaya V
Prabu Sri Suhita, yang memerintah dari tahun 1429 hingga 1447 Masehi, dikenal sebagai ratu tangguh yang memimpin Majapahit di tengah masa-masa sulit. Setelah wafatnya, tahta Majapahit diteruskan oleh adiknya, Dyah Kertawijaya, yang kemudian dikenal sebagai Prabu Kertawijaya atau Brawijaya V. Kepemimpinan Kertawijaya menjadi pintu bagi gelombang perubahan besar di Majapahit, termasuk penyebaran Islam.
Sebagai seorang raja yang berpegang teguh pada kepercayaan Hindu, Brawijaya V dikenal karena kebijaksanaannya dalam memimpin dan keterbukaannya terhadap agama Islam. Meskipun Hindu merupakan agama utama di kerajaannya, Brawijaya V memperlihatkan sikap inklusif terhadap agama Islam. Dua dari istri Brawijaya V, yang berasal dari Campa dan Cina, adalah pemeluk Islam, yang memperkuat pengaruh Islam dalam istana.
Brawijaya V juga dikenal memiliki anak-anak yang memeluk agama Islam. Di antaranya adalah Raden Patah, yang kelak menjadi pendiri dan raja pertama Kesultanan Demak. Raden Patah bukan satu-satunya anak Brawijaya V yang berperan dalam penyebaran Islam; beberapa saudaranya juga menjadi tokoh penting di daerah-daerah seperti Arya Damar Adipati Palembang dan Bathoro Katong Adipati Ponorogo.
Brawijaya V tidak hanya membangun toleransi agama dalam kerajaannya, tetapi juga mendukung penyebaran Islam melalui kebijakan dan penunjukan pejabat Muslim di pos-pos strategis. Arya Teja diangkat sebagai Adipati Tuban dan Arya Lembu Sura sebagai Raja Surabaya, keduanya dikenal sebagai Muslim yang setia. Bahkan, Sunan Ampel, salah satu Wali Songo yang terkenal, diangkat sebagai imam di Surabaya dan kemudian menjadi Bupati di sana.
Kebijakan terbuka Brawijaya V terhadap Islam mempercepat penyebaran agama ini di Jawa. Dengan memperbolehkan kerabatnya yang Muslim menduduki jabatan penting dan membangun masjid, ia secara tidak langsung mendorong perkembangan dan penyebaran Islam di wilayah-wilayah yang ia kuasai.
Setelah kematian Brawijaya V, warisannya diteruskan oleh putranya, Raden Patah, yang mendirikan Kesultanan Demak, pusat kekuatan Islam yang baru di Jawa. Ini menandai transisi penting dari dominasi Hindu-Buddha ke dominasi Islam di Jawa.
Akhir dari Era Kejayaan Majapahit
Brawijaya V meninggal pada tahun 1478, sebuah tahun yang juga menandai akhir dari era Majapahit sebagai kekuatan besar di Nusantara. Perang dan konflik kekuasaan yang terjadi setelahnya memicu pergeseran kekuatan menuju kerajaan-kerajaan Islam yang baru, seperti Kesultanan Demak.
Meski pemerintahannya dipenuhi dengan tantangan, Brawijaya V dikenang sebagai raja yang bijak dan toleran. Peranannya dalam membuka jalan bagi penyebaran Islam di Jawa menciptakan fondasi bagi perkembangan kebudayaan Islam yang kaya di wilayah tersebut. Kepemimpinannya dan kebijakannya terhadap Islam meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah Nusantara.