JATIMTIMES - Dalam historiografi Jawa, persaingan politik tidak bisa dilepaskan dari peran para tokoh spiritual. Keberadaan para wali dan ulama besar pada abad XVI tidak hanya sebagai pembimbing rohani, tetapi juga sebagai aktor politik yang berpengaruh dalam pergolakan kekuasaan di Jawa.
Salah satu periode yang mencerminkan keterlibatan langsung tokoh-tokoh keramat ini adalah masa transisi antara Kesultanan Demak, Jipang, dan Pajang, di mana Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga memainkan peran penting dalam mengarahkan nasib murid-murid mereka, termasuk Aria Panangsang dan Jaka Tingkir.
Persaingan Dua Guru Besar: Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga
Baca Juga : Diskusi Hari Kebebasan Pers Dunia, AJI Malang & Ilkom UM Soroti Relasi Kuasa dan Tantangan Jurnalisme
Pada masa itu, dua tokoh spiritual utama yang memiliki pengaruh luas adalah Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Sunan Kudus, dengan basisnya di Kudus, memiliki banyak pengikut, termasuk Pangeran Aria Panangsang dari Jipang, Sunan Prawata, dan Jaka Tingkir, yang kelak menjadi Sultan Pajang. Sementara itu, Sunan Kalijaga, yang kemungkinan berasal dari Cirebon, memiliki pengikut yang lebih terbatas, tetapi tetap memiliki pengaruh besar dalam dinamika politik pada masa itu.
Perbedaan antara kedua tokoh ini tidak hanya terletak pada ajaran yang mereka bawa, tetapi juga pada orientasi politik mereka. Sunan Kudus lebih dekat dengan para penguasa yang berasal dari Demak dan Jipang, sementara Sunan Kalijaga memiliki hubungan dengan lingkaran kekuasaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Hubungan antara keduanya juga tampaknya dipenuhi ketegangan, terutama ketika beberapa murid Sunan Kudus, termasuk Sunan Prawata dan Jaka Tingkir, mulai menunjukkan kedekatan dengan Sunan Kalijaga.
Intrik Politik dan Pembunuhan Sunan Prawata
Ketegangan antara kedua kelompok ini mencapai puncaknya ketika Sunan Kudus mempertanyakan kesetiaan murid-muridnya. Menurut Babad Tanah Djawi, dalam sebuah perbincangan dengan Pangeran Aria Panangsang, Sunan Kudus bertanya tentang hukuman bagi seseorang yang memiliki dua guru sekaligus. Aria Panangsang menjawab bahwa hukumannya adalah mati, tetapi ia tidak mengetahui siapa yang dimaksud. Sunan Kudus kemudian dengan tegas menyebut bahwa orang yang berbuat demikian adalah kakaknya, Sunan Prawata.
Pernyataan ini memiliki dampak besar. Bagi Aria Panangsang, ucapan gurunya adalah sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Dengan restu Sunan Kudus, ia kemudian mengirim utusan untuk membunuh Sunan Prawata di Demak. Pembunuhan ini menjadi awal dari serangkaian peristiwa yang berujung pada pertarungan antara Jipang dan Pajang, serta menandai keterlibatan langsung para tokoh spiritual dalam konflik politik.
Pajang dan Jipang: Pertarungan Murid-Murid Sunan Kudus
Setelah kematian Sunan Prawata, Aria Panangsang menjadi pewaris takhta Demak yang sah, tetapi kekuasaannya ditentang oleh Jaka Tingkir. Dengan dukungan dari Sunan Kalijaga dan sekutunya, Jaka Tingkir mulai mengkonsolidasikan kekuatan di Pajang. Konflik antara Jipang dan Pajang bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga representasi dari dua kubu spiritual yang bersaing: kelompok Sunan Kudus yang masih mendukung Aria Panangsang dan kelompok Sunan Kalijaga yang berpihak pada Pajang.
Puncak dari konflik ini terjadi ketika Jaka Tingkir mengerahkan pasukan dari Pajang untuk menghadapi Aria Panangsang. Dalam pertempuran yang terkenal, Aria Panangsang terbunuh di Bengawan Sore setelah bertarung dengan Danang Sutawijaya, putra angkat Jaka Tingkir. Kematian Aria Panangsang menandai berakhirnya pengaruh Jipang dan meneguhkan dominasi Pajang sebagai kekuatan baru di Jawa.
Peran Sunan Kalijaga dan Perubahan Keseimbangan Politik
Setelah kemenangan Pajang, peran Sunan Kalijaga dalam dunia politik mulai berkurang. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada masa ini, ia sudah tidak aktif lagi dan peranannya mulai digantikan oleh tokoh-tokoh lain, seperti Kiai Gede Pamanahan, yang kelak menjadi cikal bakal Mataram.
Namun, meskipun Sunan Kalijaga tidak lagi memainkan peran langsung dalam politik, ajaran dan pengaruhnya tetap terasa. Banyak tokoh yang menjadi bagian dari dinasti Mataram, termasuk Panembahan Senopati, dikaitkan dengan ajaran Sunan Kalijaga. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ia tidak memimpin secara langsung, warisan spiritualnya tetap membentuk kebijakan politik di masa mendatang.
Sunan Kudus: Antara Politik dan Spiritualitas
Baca Juga : Pangkoopsud II Pimpin Sertijab Reza RR Sastranegara sebagai Danlanud Abdulrachman Saleh
Berbeda dengan Sunan Kalijaga, Sunan Kudus tetap mempertahankan pengaruhnya di Kudus. Namun, dengan kekalahan Aria Panangsang, posisinya melemah dan pengaruh politiknya mulai meredup. Meski demikian, ia tetap dihormati sebagai ulama besar, dan ajarannya terus berlanjut dalam tradisi Islam di Jawa.
Namun, campur tangan Sunan Kudus dalam konflik ini menunjukkan bahwa para wali pada masa itu bukan hanya sosok spiritual, tetapi juga aktor politik yang aktif. Mereka tidak hanya membimbing murid-muridnya dalam hal keagamaan, tetapi juga mengarahkan mereka dalam permainan kekuasaan.
Dampak Jangka Panjang: Dari Pajang ke Mataram
Konflik antara Jipang dan Pajang bukan sekadar persaingan antara dua penguasa, tetapi juga mencerminkan pergeseran keseimbangan kekuasaan di Jawa. Kemenangan Pajang membuka jalan bagi lahirnya Mataram, yang pada akhirnya menjadi kekuatan dominan di Jawa selama berabad-abad.
Dalam konteks ini, peran Sunan Kalijaga menjadi lebih signifikan. Meskipun ia tidak secara langsung terlibat dalam pembentukan Mataram, pengaruhnya tetap terasa dalam cara Mataram membangun legitimasinya. Hubungan erat antara spiritualitas dan kekuasaan terus berlanjut, dan model kepemimpinan yang menggabungkan unsur mistik dengan politik menjadi ciri khas kerajaan-kerajaan Jawa selanjutnya.
Peristiwa yang terjadi pada abad XVI di Jawa menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama, mistisisme, dan politik. Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga bukan hanya guru spiritual, tetapi juga pemain utama dalam percaturan kekuasaan. Persaingan antara kedua tokoh ini tidak hanya menentukan nasib murid-murid mereka, tetapi juga membentuk jalannya sejarah politik Jawa.
Dari konflik antara Jipang dan Pajang, kita melihat bagaimana persaingan spiritual dapat berdampak langsung pada dinamika kekuasaan. Pada akhirnya, Mataram yang lahir dari kekuatan Pajang mewarisi banyak elemen dari ajaran Sunan Kalijaga, menjadikannya sebagai fondasi bagi legitimasi politiknya di masa mendatang.
Sejarah ini menegaskan bahwa dalam politik Jawa, para tokoh spiritual tidak hanya bertindak sebagai pembimbing rohani, tetapi juga sebagai arsitek kekuasaan. Campur tangan mereka dalam politik tidak hanya sebatas memberi nasihat, tetapi juga mempengaruhi jalannya peristiwa dengan cara yang sangat nyata.