free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Model Otak Campuran Manusia-Hewan Bantu Ilmuwan Ungkap Rahasia Gangguan Saraf

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Pixabay)

JATIMTIMES - Ilmuwan dari Rutgers University-New Brunswick menemukan bahwa model otak campuran atau chimeric brain models bisa menjadi kunci untuk memahami gangguan saraf manusia. Model ini juga bisa menjembatani kesenjangan antara penelitian hewan dan penyakit otak manusia. 

Dilansir dari MedicalXpress, Senin (5/5/2025), model ini memungkinkan ilmuwan menanamkan sel otak manusia, yang diambil dari sel punca, ke dalam otak hewan seperti tikus. Hasilnya, terciptalah otak campuran yang berisi sel-sel manusia dan hewan dalam satu sistem saraf hidup. Cara ini dinilai lebih mendekati kondisi otak manusia sesungguhnya dibanding studi di cawan petri. 

“Model-model chimeric ini sudah menjadi alat yang sangat penting dalam riset ilmu saraf,” kata Peng Jiang, profesor di Departemen Biologi Sel dan Ilmu Saraf Rutgers School of Arts and Sciences, sekaligus penulis utama ulasan ilmiah di jurnal Neuron

Dengan menggunakan model ini, tim Jiang dapat mengamati bagaimana sel otak manusia tumbuh dan berfungsi di dalam lingkungan otak hidup. Ini memberikan pemahaman lebih dalam tentang bagaimana sel-sel tersebut mengalami berbagai gangguan neurologis. 

“Dengan mengamati sel manusia di dalam otak yang aktif, kami bisa lebih memahami perkembangan sel saraf manusia dan bagaimana peranannya dalam gangguan saraf,” ujarnya. 

Selama hampir satu dekade terakhir, Jiang dan timnya telah mengembangkan dan menggunakan model otak campuran manusia-tikus ini untuk mempelajari berbagai kondisi, seperti sindrom down, autisme, hingga penyakit alzheimer. 

Model ini juga memungkinkan para ilmuwan membandingkan secara langsung antara sel otak manusia dan hewan. Hasilnya cukup mencengangkan.

Dalam salah satu penemuan penting, sel otak manusia, termasuk neuron dan glia (sel pendukung saraf), menunjukkan perilaku yang sangat berbeda dibandingkan sel tikus. Hal ini membuka wawasan baru tentang bagaimana kemampuan kognitif manusia bisa jauh melampaui spesies lain. 

“Ada fitur-fitur unik dari sel saraf manusia yang tak bisa ditiru oleh sel tikus,” kata Ava Papetti, mahasiswa doktoral yang menjadi penulis pertama bersama dalam studi ini, bersama rekannya, peneliti pascadoktoral Mengmeng Jin. 

Model ini juga memberikan pemahaman baru tentang gangguan spektrum autisme. Para ilmuwan berhasil mengidentifikasi perubahan seluler spesifik yang berkaitan dengan autisme, yang sebelumnya sulit terdeteksi lewat model hewan biasa. 

Tak hanya itu. Model ini membantu membedakan aspek penyakit alzheimer yang hanya memengaruhi sel otak manusia, tetapi tidak muncul pada tikus. Temuan ini sangat penting untuk mengembangkan pengobatan yang lebih akurat. 

“Temuan-temuan ini menekankan pentingnya mempelajari neuron dan sel glia manusia dalam lingkungan otak hidup,” ujar Jiang. 

“Ini bisa membantu kita memahami secara menyeluruh mekanisme penyakit dan mengarahkan pada pengobatan yang lebih efektif.” tambahnya. 

Menurut Jiang, selama ini riset neurologis terbentur pada satu tantangan besar: perbedaan biologis antara manusia dan hewan. Banyak terapi yang sukses di tikus ternyata tidak menunjukkan hasil serupa pada manusia. 

“Model hewan seperti tikus memang sangat membantu dalam riset, tapi tetap ada kesenjangan karena mereka tidak bisa sepenuhnya meniru kompleksitas biologis sel otak manusia,” ujarnya. 

Di sinilah peran penting model otak campuran. Dengan menciptakan otak campuran manusia-hewan, ilmuwan bisa melihat perkembangan otak manusia secara lebih akurat, dari fungsi kognitif hingga bagaimana suatu penyakit berkembang. 

Lebih jauh lagi, Jiang menyebut bahwa model ini membuka peluang untuk terapi berbasis sel punca. Salah satunya adalah mengganti sel saraf manusia yang rusak atau mati akibat penyakit neurodegeneratif. 

“Model ini menawarkan kesempatan baru untuk menjelajahi terapi berbasis sel punca, seperti upaya mengganti sel saraf manusia yang rusak akibat penyakit,” jelas Jiang. 

Kontributor lain dalam ulasan ilmiah ini termasuk dua mahasiswa doktoral Rutgers, Ziyuan Ma dan Alessandro Stillitano. Seluruh tim berasal dari Departemen Biologi Sel dan Ilmu Saraf.