JATIMTIMES- Kediri, sebuah kota di Jawa Timur yang kini dikenal dengan pesonanya, menyimpan sejarah panjang yang penuh warna dan penuh dinamika.
Dari masa lampau yang gemilang sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Kadiri yang berpengaruh, hingga era penting sebagai wilayah strategis dalam berbagai konflik dan perlawanan yang dipimpin oleh Mataram Islam, Kediri selalu menjadi salah satu poros utama dalam sejarah Nusantara.
Baca Juga : Mas Ibin Luncurkan 11 Program Masa Depan di Pesta Rakyat HUT ke-119 Kota Blitar
Perjalanan sejarah Kediri tidak hanya mencerminkan keagungan dan kekuasaan, tetapi juga keteguhan dan daya juang yang tak tertandingi. Artikel ini bertujuan untuk menyelami lebih dalam tentang evolusi Kediri dari zaman kejayaan Kerajaan Kadiri hingga masa-masa yang penuh tantangan di bawah dominasi Mataram Islam, dengan fokus pada berbagai peristiwa penting dan tokoh-tokoh berpengaruh yang telah membentuk jalan ceritanya.
Dari persaingan antar kerajaan, pertarungan sengit dengan para pemberontak, hingga transformasi di bawah kekuasaan kolonial, setiap babak sejarah Kediri adalah kisah yang sarat makna dan inspirasi.
Kediri: Warisan Kerajaan Kadiri
Nama Kediri mengacu pada kerajaan Kadiri atau Panjalu yang berdiri antara tahun 1019-1222 M. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang yang sebelumnya berpusat di Jawa Tengah. Sejarah mencatat bahwa setelah Raja Airlangga membagi Kerajaan Medang menjadi dua, terbentuklah Kerajaan Janggala dengan ibu kota di Kahuripan di timur dan Kerajaan Panjalu atau Kadiri dengan ibu kota di Daha di barat.
Kerajaan Kadiri berkembang pesat sebagai salah satu kekuatan utama di Jawa pada masanya. Namun, kemajuan kerajaan ini akhirnya meredup saat kerajaan Singhasari di bawah Raja Ken Arok mengalahkan Raja Kertajaya dari Kadiri pada tahun 1222 M.
Kediri di Masa Mataram Islam
Ketika Mataram Islam mulai berkembang di bawah Panembahan Senopati pada akhir abad ke-16, wilayah Kediri menjadi salah satu fokus ekspansi. Pada tahun 1590, Panembahan Senopati meluaskan wilayah kekuasaannya ke arah timur, dimulai dari Madiun. Setahun kemudian, Kediri pun jatuh ke tangan Mataram. Penaklukan ini tidak hanya memperluas wilayah Mataram tetapi juga memperkuat posisinya sebagai kekuatan dominan di Jawa.
Salah satu tokoh penting dalam sejarah Kediri pada masa Mataram Islam adalah Senapati Kediri. Ia diangkat sebagai anak oleh Panembahan Senopati setelah berhasil menumpas pembelot dan memperoleh anugerah tanah sebanyak 1.500 petak. Dalam Serat Kandha, diceritakan bahwa Senapati Kediri juga berhasil mengalahkan Ratu Jalu dan wilayah lain yang belum takluk. Sebagai penghargaan atas jasanya, ia menerima 1.000 cacah tanah.
Selain menjadi panglima perang yang andal, Senapati Kediri juga diberi tugas untuk mengawasi pembangunan Benteng Kuta Bacingah (1592/93), yang kemudian dikenal sebagai Kuta Gedhe atau Kitha Ageng, benteng besar yang menjadi salah satu pusat kekuatan Mataram.
Pada tahun 1593 atau 1595, sejumlah bupati wetan, termasuk Adipati Gending dan Adipati Pesagi, berusaha memberontak melawan Mataram. Pemberontakan ini dipimpin oleh Adipati Gending dari utara Gunung Lawu dan Adipati Pesagi, yang merupakan musuh bebuyutan Senapati Kediri, dari selatan Lawu. Mataram mencium rencana pemberontakan ini dan mengirim Pangeran Purbaya untuk membendung serangan dari utara serta Senapati Kediri untuk menghadapi serangan dari selatan.
Sebelum berangkat, Panembahan Senopati memberikan hiasan dada emas kepada Senapati Kediri sebagai tanda kepercayaan dan kehormatan. Pasukan Senapati Kediri yang berjumlah 20 ribu orang kemudian berhadapan dengan pasukan pemberontak yang diperkirakan dua kali lipat jumlahnya. Pertempuran sengit terjadi di daerah Uter (yang kemungkinan besar adalah Nguter, Sukoharjo atau Uteran, Madiun). Dalam pertempuran ini, baik Senapati Kediri maupun Adipati Pesagi tewas. Sisa pasukan pemberontak kemudian melarikan diri. Adipati Gending dibawa ke Mataram, diampuni, dan diangkat sebagai pembantu Pangeran Puger. Atas perintah Panembahan Senopati, Senapati Kediri dimakamkan dengan hormat di Wedi, Klaten, di makam Tembayat yang merupakan makam Sunan Bayat.
Kediri: Wilayah Brang Wetan
Setelah era Senapati Kediri, Kediri menjadi wilayah besar dalam mancanagara Brang Wetan. Wilayah ini dikelilingi oleh beberapa kadipaten, seperti Majarata dan Kertasana di barat, Wirasaba dan Japan di utara, Pasuruan di timur, serta Sarengat dan Balitar di selatan. Kediri memainkan peran penting dalam struktur administrasi dan militer Mataram, terutama dalam menghadapi berbagai pemberontakan dan tantangan dari wilayah-wilayah lain.
Kediri dalam Perang Trunojoyo
Nama Kediri kembali mencuat pada era Amangkurat I, terutama pada tahun 1676-1677 saat Trunajaya, seorang bangsawan Madura, menguasai Kediri dan menjadikannya sebagai basis operasionalnya. Trunajaya memimpin pemberontakan besar melawan kekuasaan Mataram, dengan tujuan untuk menggulingkan Amangkurat I.
Pada tahun 1678, setelah beberapa tahun perlawanan sengit, Amangkurat II yang telah bekerja sama dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Kompeni Belanda) berhasil merebut kembali Kediri dari kekuasaan Trunajaya. Peristiwa ini menandai akhir dari pemberontakan Trunajaya dan memantapkan kembali kontrol Mataram atas wilayah tersebut.
Amangkurat III: Raja Mataram yang Menghabiskan Akhir Hayat di Kediri
Kisah hidup Sri Susuhunan Amangkurat III, raja keenam Kasultanan Mataram, penuh dengan intrik dan perdebatan. Dilabeli sebagai sosok kejam dan diktator dalam sejarah Mataram, Amangkurat III dilengserkan oleh pamannya sendiri, Pangeran Puger, yang kemudian naik tahta dengan gelar Pakubuwono I. Setelah kudeta tersebut, narasi resmi dari pihak keraton dan catatan Belanda menyatakan bahwa Amangkurat III diasingkan ke Sri Lanka, di mana ia dikabarkan meninggal dunia pada tahun 1734. Namun, jejak sejarah yang ada di Kediri menceritakan kisah yang berbeda.
Setelah turun dari tahta, Amangkurat III memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya di Kediri. Di kota ini, ia dikenal bukan hanya sebagai mantan raja tetapi juga sebagai wali yang dihormati. Kehidupan Amangkurat III di Kediri diisi dengan aktivitas keagamaan, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan menyebarkan ajaran Islam. Bukti-bukti keberadaannya masih dapat dilihat di Situs Setono Gedong, di mana makamnya terletak. Di sini, pusaka-pusaka asli Kasultanan Mataram yang dibawanya dari istana Kartasura juga disimpan dengan penuh penghormatan.
Baca Juga : Tak Pernah Kalah: Persewangi Banyuwangi Lolos Babak 32 Besar Liga 4 Nasional
Menurut cerita lisan, banyak pejabat dan abdi dalem setia yang mengikuti Amangkurat III ke Kediri. Mereka mendukung dan melindunginya, menunjukkan rasa hormat yang besar terhadap raja mereka yang jatuh. Yusuf juga menjelaskan bahwa Amangkurat III tidak pernah mencapai Sri Lanka, melainkan diselamatkan oleh sekutu-sekutu dari Banten, Madura, dan daerah lain di Jawa.
Makam Amangkurat III di Kediri telah menjadi pusat ziarah dan dipercaya memiliki kekuatan mistis. Cerita-cerita lokal bahkan menyebutkan burung yang terbang di atas makam akan jatuh ke tanah. Meski kontroversial, Amangkurat III dikenal sebagai raja yang menolak dominasi Belanda dan karena itu, dia dianggap sebagai ancaman bagi hegemoni kolonial Belanda dan stabilitas internal Mataram di bawah pemerintahan Pakubuwono I.
Hingga kini, banyak keturunan Amangkurat III yang tinggal di wilayah Kediri dan sekitarnya. Mereka meneruskan warisan leluhur mereka, termasuk dalam penyebaran ajaran Islam. Keberadaan makam dan petilasan Amangkurat III di Kediri mengungkapkan kenyataan bahwa sejarah resmi mungkin hanya menceritakan sebagian dari kebenaran, dan kisah hidup raja ini terus hidup dalam ingatan masyarakat setempat.
Perjanjian Giyanti dan Pembagian Wilayah
Pada tahun 1755, Perjanjian Giyanti membagi Kerajaan Mataram menjadi dua entitas: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Wilayah mancanagara Brang Wetan, termasuk Kediri, juga terbagi-bagi secara kompleks antara kedua kerajaan tersebut.
Secara garis besar, wilayah yang kelak menjadi Residentie Kediri terbagi menjadi dua bagian.
Wilayah Kasunanan meliputi Nganjuk bagian utara, Mojoroto (sekarang bagian dari Kediri), Kediri, Balitar (sekarang bagian dari Blitar), Sarengat (sekarang bagian dari Blitar), Kampak (sekarang bagian dari Trenggalek), Panggul (sekarang bagian dari Trenggalek), dan Sumbreng (sekarang bagian dari Trenggalek).
Sementara itu, wilayah Kasultanan mencakup Berbek (sekarang bagian dari Nganjuk), Godean (sekarang bagian dari Nganjuk), Kertosono (sekarang bagian dari Nganjuk), Kalangbret (sekarang bagian dari Tulungagung), Gemak (sekarang bagian dari Tulungagung), dan Ngrawa atau Rawa (sekarang bagian dari Tulungagung).
Era Pasca-Perang Jawa
Setelah Perang Jawa berakhir pada tahun 1830, wilayah Brang Wetan Mataram mengalami reorganisasi di bawah kekuasaan Belanda. Sebanyak 24 bupati dari wilayah Brang Wetan dikumpulkan di Sepreh, Ngawi (yang kemudian menjadi lokasi Benteng Pendhem Van Den Bosch). Mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari Kasunanan dan Kasultanan.
Wilayah-wilayah ini kemudian dikonsolidasikan ke dalam dua unit administratif utama: Residentie Madioen untuk wilayah barat dan Residentie Kediri untuk wilayah timur. Kediri, sebagai bagian dari Residentie Kediri, terus memainkan peran penting dalam sejarah Jawa Timur di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Sejarah Kediri adalah cerminan dari perjalanan panjang yang penuh dengan konflik, penaklukan, dan perubahan kekuasaan. Dari masa kejayaan sebagai Kerajaan Kadiri hingga menjadi bagian strategis dalam ekspansi dan konflik Mataram Islam, Kediri terus berperan penting dalam dinamika politik dan militer di Jawa. Dengan warisan sejarah yang kaya, Kediri tetap menjadi simbol ketahanan dan perlawanan di Jawa Timur hingga saat ini.
Dengan demikian, perjalanan sejarah Kediri — dari kejayaan Kerajaan Kadiri, dinamika di bawah Mataram Islam, hingga transformasi pasca-Perang Jawa — memperlihatkan bagaimana kota ini menjadi saksi bisu sekaligus aktor penting dalam membentuk wajah Nusantara. Warisan kejayaan, keteguhan, dan semangat perjuangan itu tetap hidup, terpatri dalam budaya dan identitas Kediri hingga hari ini.
Berabad-abad telah berlalu, namun jejak-jejak kejayaan, perjuangan, dan keteguhan Kediri tetap hidup, bersemayam dalam relung terdalam ingatan kolektif warganya. Setiap batu tua, setiap aliran sungai, setiap sudut kota, seolah menyimpan bisikan masa silam tentang kerajaan besar yang pernah mengukir namanya di lembaran sejarah Nusantara.
Kediri bukan sekadar kota yang berdiri di atas tanah, melainkan sebuah tapak warisan yang menghidupi ruh zaman, membentuk jati diri, membangun kesadaran, dan mengingatkan generasi demi generasi bahwa mereka adalah penerus sebuah peradaban agung yang pantang dilupakan.