free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

R.M.A. Brotodiningrat dan Transformasi Bupati Jawa: Dari Darah Bangsawan Menuju Birokrasi Kolonial (1855–1899)

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Bupati Madiun R.M.A Brotodiningrat bersama beberapa abdi setianya di kawasan Alun-Alun Madiun, menggambarkan suasana masa lampau yang penuh wibawa dan kearifan lokal. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada paruh kedua abad ke-19, Hindia Belanda menyaksikan transformasi struktural dalam sistem administrasi lokal Jawa. Salah satu figur yang merepresentasikan dinamika perubahan itu adalah Raden Mas Adipati Brotodiningrat, putra bangsawan dari Sumoroto yang menapaki tangga kekuasaan bukan semata melalui warisan, melainkan lewat prestasi, pendidikan, dan kedekatannya dengan jaringan kekuasaan kolonial. 

Riwayat karier Brotodiningrat tidak hanya mengisahkan perkembangan karier seorang pejabat bumiputra, tetapi juga membuka lanskap pergeseran peran elite priyayi dari penguasa lokal menjadi bagian dari mesin birokrasi kolonial. Artikel ini menelaah historiografi awal karier Brotodiningrat sebagai cerminan dari transisi kekuasaan tradisional ke dalam bingkai administrasi kolonial.

Genealogi Sumoroto dan Warisan Priyayi Lokal

Baca Juga : Ramalan di Makam Butuh: Wahyu Pangeran Pekik dan Kelahiran Raja Mataram dari Darah Surabaya

Kabupaten Sumoroto berdiri sejak abad ke-17, didirikan oleh keturunan bangsawan lokal yang mengakui kedaulatan Mataram. Seiring dengan perjanjian Giyanti 1755 yang membelah Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, Bupati Sumoroto menyatakan kesetiaan kepada Sunan Surakarta. Sejak saat itu, Sumoroto menjadi salah satu kantong kekuasaan lokal yang dijalankan secara turun-temurun oleh elite priyayi, menjalin pernikahan politik dan mempertahankan status simbolik dalam tatanan kekuasaan Jawa.

Dalam konteks inilah, RM.A. Brotodiningrat lahir dari pasangan Raden Tumenggung Brotodirjo (Bupati Sumoroto) dan seorang putri dari Pangeran Sinduseno, cucu Sunan Paku Buwana V. Keturunan ganda dari dua dinasti ini menjadikan Brotodiningrat sebagai pewaris sah kekuasaan lokal sekaligus berdarah keraton. Ketika ayahnya wafat pada 1855, ia masih berusia enam tahun dan belum cukup umur untuk menggantikan jabatan bupati. Pihak Belanda menunjuk pejabat sementara, sementara sang ibu membawa anak itu ke keraton Surakarta untuk dididik.

Pendidikan dan Formasi Awal di Keraton

Selama satu dekade, Samadikun muda (nama kecil Brotodiningrat) mengenyam pendidikan dan kehidupan di lingkungan keraton. Di sini ia tak hanya mendapat pendidikan formal, tetapi juga formasi etika dan kebangsawanan ala Jawa klasik. Ia didaftarkan di sekolah Belanda dan kemudian Sekolah Pejabat Pribumi, suatu sistem pendidikan modern kolonial yang dirancang untuk mencetak birokrat bumiputra setia.

Kehidupan di lingkungan keraton, tempat raja lebih tinggi wibawanya dibanding residen Belanda, menanamkan pemahaman tentang kekuasaan tradisional, tetapi pendidikan modern yang ia terima menyuntikkan etos administratif kolonial. Dualisme ini membentuk kepribadian Brotodiningrat sebagai sosok yang mampu menjembatani dua dunia: Jawa dan Belanda.

Magang Administratif dan Karier Awal

Pada 1866, Samadikun memulai kariernya di bawah sistem kolonial sebagai magang mantri negeri di Madiun dengan gaji f30 per bulan. Setahun kemudian, pada Agustus 1867, ia dipromosikan sebagai Wedana Magetan dengan gaji f80. Dua tahun kemudian, di usia 19 tahun, ia diangkat sebagai Bupati Sumoroto dengan gaji f1.000 per bulan. Ini adalah awal dari jalur karier administratif yang tidak semata-mata bersandar pada darah biru, melainkan prestasi dan penilaian kolonial.

Namun, dinamika politik administratif segera mengubah jalur ini. Pada 1877, Kabupaten Sumoroto dihapuskan sebagai bagian dari konsolidasi kekuasaan kolonial. Brotodiningrat dipindahkan menjadi Bupati Ngawi, wilayah yang secara genealogis bukan basis pengaruh keluarganya. Di sinilah tampak batasan antara kekuasaan tradisional dan kehendak kolonial. Meskipun menjalankan tugas dengan baik, ia merasa terasing karena tidak memiliki akar sosial di sana.

Brotodiningrat sebagai Bupati Karier: Ngawi dan Madiun

Tugas administratif di Ngawi berlangsung hingga 1885. Pada tahun tersebut, Brotodiningrat dipindahkan ke Madiun, sebuah kota penting dalam keresidenan dengan sejarah kekuasaan panjang. Ia menggantikan posisi Bupati yang sebelumnya berasal dari keturunan Prawiradirdja, menandai pergeseran dari prinsip keturunan ke prinsip karier.

Selama menjabat di Madiun, Brotodiningrat mendapat pujian dari atasannya yang paling berpengaruh: Residen Mullemeister (1886–1889). Mullemeister dikenal sebagai salah satu pejabat Belanda paling reformis, kelak menjadi Residen Yogyakarta dan tokoh penting dalam perombakan administrasi bumiputra. Dukungan ini membuat Brotodiningrat memperoleh promosi prestisius: gelar Tumenggung-nya diangkat menjadi Adipati, dan ia menerima payung emas sebagai simbol tertinggi penguasa lokal.

Namun demikian, Brotodiningrat juga dikenal keras kepala dan sulit diatur. Ia berselisih dengan Residen Donnerls dalam salah satu konflik administratif paling terkenal menjelang akhir abad. Di sinilah muncul kontradiksi karakter: seorang priyayi kolonial yang piawai menjalankan birokrasi, namun tetap membawa aura otoritas Jawa yang sulit tunduk sepenuhnya.

Transisi Kekuasaan: Dari Priyayi Lokal Menuju Birokrasi Modern

Baca Juga : UB Tuan Rumah Rapat Kerja Nasional Forum Wakil Rektor Bidang Akademik PTN, Hal Ini Jadi Fokus Pembahasan 

Perjalanan karier Brotodiningrat memperlihatkan transisi dari sistem kekuasaan feodal ke arah birokrasi kolonial. Sejak diberlakukannya Konstitusi 1854, pemerintah kolonial secara bertahap menurunkan signifikansi prinsip keturunan dalam pengangkatan bupati. Meski pada praktiknya anak-anak dari dinasti bupati tetap diberi kesempatan, mereka harus melalui jalur pendidikan kolonial dan penilaian administratif.

Kasus Brotodiningrat menjadi bukti utama pergeseran ini. Ia memang berasal dari keluarga bupati, tetapi untuk menjabat, ia harus menjalani pendidikan Eropa, melewati masa magang, dan lulus uji kelayakan Belanda. Perpindahan antar kabupaten, dari Sumoroto ke Ngawi dan Madiun, juga menunjukkan bahwa jabatan bupati telah menjadi karier mobilitas vertikal, bukan lagi warisan yang statis.

Legasi dan Simbol Kekuasaan Baru

Brotodiningrat menjadi model bagi tipe bupati modern pada abad ke-20: berpendidikan, loyal kepada kekuasaan kolonial, namun tetap mempertahankan legitimasi simbolik sebagai pewaris budaya Jawa. Ia menyerap dunia kolonial tanpa melepas identitas bangsawan. Penerimaan payung emas dan kenaikan gelar menunjukkan bahwa meskipun sistem berubah, simbol tetap penting dalam menjaga keberlanjutan otoritas lokal.

Peran bupati setelah 1870 bukan lagi sebagai raja kecil yang otonom, tetapi sebagai penghubung antara pemerintah kolonial dan rakyat Jawa. Dalam konteks ini, Brotodiningrat adalah pionir dari generasi pejabat baru yang mampu menavigasi perubahan zaman.

Warisan dan Pengaruh

Karier Brotodiningrat mencerminkan pergeseran dalam struktur pemerintahan lokal di Jawa dari sistem berbasis keturunan menuju birokrasi kolonial yang lebih profesional. Sebagai bupati yang menapaki karier melalui pendidikan dan pengalaman, ia menjadi contoh dari transformasi ini. Meskipun menghadapi tantangan dan konflik, dedikasi dan keahliannya dalam pemerintahan menjadikannya figur penting dalam sejarah pemerintahan lokal di Jawa pada era kolonial.

Historiografi Brotodiningrat bukan sekadar kisah individu, melainkan cermin dari struktur kolonial yang terus beradaptasi dan merombak sistem kekuasaan lokal. Dengan membaca ulang kariernya secara kritis, kita dapat memahami bagaimana sistem kolonial membentuk elite pribumi bukan hanya sebagai penguasa lokal, tetapi juga sebagai bagian dari mesin pemerintahan kolonial yang terintegrasi. Brotodiningrat adalah wajah dari pergeseran besar itu, sebuah narasi transisi dari darah bangsawan menuju otoritas administratif Hindia Belanda.

R.M.A. Brotodiningrat adalah contoh nyata dari bupati karier yang sukses dalam sistem kolonial Hindia Belanda. Perjalanan hidup dan kariernya mencerminkan perubahan signifikan dalam struktur pemerintahan lokal di Jawa pada abad ke-19. Dengan dedikasi, pendidikan, dan keahliannya, Brotodiningrat tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai bupati dengan baik, tetapi juga meninggalkan warisan penting dalam sejarah pemerintahan lokal di Indonesia.