free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Membongkar Historiografi Jawa: Benarkah Raden Patah Putra Dyah Kertawijaya?

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Penggambaran tokoh Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak, dalam bentuk sketsa lukisan bergaya tradisional. Ia dikenal sebagai pemimpin visioner yang menjembatani transisi Majapahit ke era Islam di Jawa. (Foto: AI generated/ JatimTIMES)

JATIMTIMES - Nama Raden Patah tak bisa dipisahkan dari sejarah awal Islamisasi Jawa. Ia dikenal sebagai pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa yang menjadi pelopor dalam peralihan kekuasaan dari Hindu-Buddha ke Islam. Namun, asal-usulnya menjadi perdebatan panjang dalam historiografi Jawa dan sumber sejarah lainnya. 

Berbagai babad, serat, hingga catatan penjelajah Eropa menyebutkan silsilah dan perjalanan hidupnya dengan versi yang beragam. Siapakah sebenarnya Raden Patah? Benarkah ia keturunan Majapahit, atau ada narasi lain yang selama ini kurang diperhatikan?

Raden Patah dan Nasab Majapahit

Baca Juga : Profil Nova Arianto: Dikenal Si Selebrasi ‘Suster Ngesot’ hingga Bawa Tiket Piala Dunia U-17 untuk Indonesia

Historiografi Jawa umumnya menyebutkan bahwa Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Namun, perdebatan muncul mengenai identitas Prabu Brawijaya yang dimaksud. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ayahnya adalah Prabu Kertawijaya (1447–1451), sementara lainnya mengaitkan dengan Prabu Kertabhumi (1474–1478).

Babad Tanah Jawi dan beberapa naskah lain menuturkan bahwa ibu Raden Patah adalah seorang perempuan Cina yang diangkat menjadi selir oleh Prabu Brawijaya. Namun, permaisuri raja yang berasal dari Champa merasa cemburu dan akhirnya perempuan Cina yang tengah mengandung itu dihadiahkan kepada putra sulung raja, Arya Damar, Adipati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, ia kemudian menikah dengan Arya Damar dan melahirkan Raden Kusen.

Serat Kandaning Ringgit Purwa Pupuh 400–401 menggambarkan bagaimana Arya Damar membawa ibunda Raden Patah ke Palembang. Dalam perjalanan itu, perempuan Cina tersebut dikawal oleh para abdi dan memiliki kapal beserta isinya. Sumber ini juga menegaskan bahwa setelah dewasa, Raden Patah menolak ajaran Hindu-Buddha yang dianut Arya Damar dan memilih mendalami Islam.

Catatan dari Carita Purwaka Caruban Nagari mengungkap lebih jauh tentang identitas ibu Raden Patah. Ia disebut sebagai Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat, seorang saudagar dan ulama asal Gresik yang dikenal sebagai Syaikh Bantong. Jika ini benar, maka Raden Patah adalah cucu dari seorang Muslim Cina yang telah menetap di Jawa. Kesaksian ini juga diperkuat oleh Tome Pires dalam Suma Oriental, yang menyebutkan bahwa pendiri Dinasti Demak, Pate Rodin (sebutan Portugis untuk Raden Patah), berasal dari keturunan rendah di Gresik.

Dyah Kertawijaya: Brawijaya V dan Nasab Raden Patah

Jika merujuk pada Pararaton dan Prasasti Waringin Pitu, ayah Raden Patah lebih dekat pada sosok Dyah Kertawijaya (Brawijaya V), yang memerintah Majapahit antara tahun 1447–1451. Sejumlah naskah, termasuk silsilah dari keturunan Arya Damar, menegaskan bahwa Dyah Kertawijaya adalah ayah Raden Patah, bukan Kertabhumi.

Dyah Kertawijaya merupakan putra Wikramawardhana dan saudara Ratu Suhita. Setelah Suhita wafat tanpa keturunan, Dyah Kertawijaya naik takhta. Namun, pemerintahannya berakhir tragis ketika ia dibunuh oleh Rajasawardhana pada 1451. Keadaan ini memperparah disintegrasi Majapahit, dengan munculnya faksi-faksi yang saling bersaing untuk menguasai takhta.

Perlu dicatat bahwa Kertabhumi, yang sering diklaim sebagai ayah Raden Patah dalam versi babad, baru memerintah Majapahit sekitar 1468–1478 dan tidak memiliki hubungan langsung dengan Raden Patah dari segi usia maupun peristiwa sejarah. Oleh karena itu, atribusi Kertabhumi sebagai ayah Raden Patah lebih merupakan pengaruh narasi babad ketimbang realitas historiografi.

Dalam sejarah Majapahit, nama Dyah Kertawijaya kerap tenggelam dalam bayang-bayang gelar Brawijaya, yang lebih populer dalam tradisi lisan dan babad. Gelar ini bukanlah titel resmi, melainkan penyebutan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk merujuk pada raja-raja terakhir Majapahit. Berbagai sumber sejarah mencatat Dyah Kertawijaya sebagai Sri Maharaja Wijayaparakramawardhana, penguasa Majapahit dari tahun 1447 hingga 1451.

Dyah Kertawijaya merupakan putra Wikramawardhana, raja Majapahit yang bertakhta antara tahun 1389–1429, serta saudara dari Ratu Suhita, maharani yang berkuasa pada 1429–1447. Ketika Suhita wafat tanpa meninggalkan keturunan, Dyah Kertawijaya naik takhta sebagai raja ketujuh Majapahit dari garis keturunan Raden Wijaya, pendiri kerajaan ini.

Sebelum menduduki singgasana, Dyah Kertawijaya menyandang gelar Bhre Tumapel, yang menandakan bahwa ia pernah memerintah salah satu daerah bawahan Majapahit. Perkawinannya dengan seorang wanita dari Bhre Kahuripan memperkuat posisinya dalam lingkaran elite kerajaan.

Salah satu perdebatan utama dalam historiografi Majapahit adalah identifikasi Brawijaya V. Dalam berbagai versi Babad Tanah Jawi dan cerita rakyat, Brawijaya V sering dikaitkan dengan raja terakhir Majapahit sebelum kejatuhannya ke tangan Demak. Namun, sumber-sumber historis seperti Pararaton dan Prasasti Waringin Pitu mencatat bahwa penguasa terakhir Majapahit sebelum runtuh adalah Dyah Ranawijaya (Girindrawardhana), yang menaklukkan Bhre Kertabhumi pada tahun 1478.

Dalam konteks ini,  Dyah Kertawijaya lebih tepat disebut sebagai Brawijaya V, apabila mengacu pada silsilah tradisional yang menempatkan Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) sebagai Brawijaya I, Jayanegara sebagai Brawijaya II, Hayam Wuruk sebagai Brawijaya III, dan Wikramawardhana sebagai Brawijaya IV. Dyah Kertawijaya, yang memerintah pada pertengahan abad ke-15 dan didarmakan di Kertawijayapura, melanjutkan garis legitimasi kerajaan di tengah mulai rapuhnya fondasi politik dan sosial Majapahit.

Jika klasifikasi ini diterima, maka Bhre Kertabhumi, yang memerintah antara tahun 1468 hingga 1478, tidak dapat lagi dianggap sebagai Brawijaya V sebagaimana umum diyakini dalam tradisi populer. Sebab, antara wafatnya Dyah Kertawijaya dan naiknya Bhre Kertabhumi, terdapat sejumlah raja yang secara kronologis menempati posisi kepemimpinan dan secara berurutan dapat diklasifikasikan sebagai Brawijaya VI hingga VIII.

Pengganti pertama setelah Dyah Kertawijaya adalah menantunya, Dyah Wijayakumara (Bhre Pamotan), yang naik takhta dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Ia dinobatkan di Keling-Kahuripan (Daha-Kediri), bukan di ibu kota Majapahit, sebuah indikasi akan ketidakstabilan politik dan lemahnya klaim legitimasi. Masa pemerintahannya berlangsung singkat dan berakhir tragis. 

Sesudahnya, kekuasaan dilanjutkan oleh Hyang Purwawisesa, yang dikenal karena mengadopsi kebijakan integratif terhadap kerabat-kerabatnya yang beragama Islam. Ia memerintah selama lebih dari satu dekade dan membuka ruang bagi tokoh-tokoh Islam seperti Raden Patah, Raden Kusen, dan Bhattara Katong untuk memainkan peran penting dalam struktur kekuasaan Majapahit.

Sepeninggal Hyang Purwawisesa, tahta Majapahit diwarisi oleh putranya, Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa, yang bergelar Singhawikramawarddhana. Pemerintahannya pun berlangsung singkat, hanya dua tahun, sebelum akhirnya digulingkan melalui kudeta oleh Bhre Kertabhumi pada tahun 1468.

Dengan mempertimbangkan seluruh rangkaian transisi kekuasaan tersebut, Bhre Kertabhumi secara kronologis merupakan penguasa kesembilan dalam urutan raja-raja Majapahit yang menyandang gelar simbolik "Brawijaya." Maka dari itu, secara historiografis, lebih tepat apabila Bhre Kertabhumi diklasifikasikan sebagai Brawijaya IX, bukan Brawijaya V.

Pemerintahan Dyah Kertawijaya berlangsung singkat, hanya sekitar empat tahun (1447–1451). Pararaton menyebutkan bahwa ia dibunuh oleh Rajasawardhana, penguasa berikutnya, yang mengindikasikan adanya konflik internal di dalam istana.

Pada masa itu, pengaruh Islam di pesisir utara Jawa semakin kuat. Sunan Ampel muncul sebagai tokoh penting dalam penyebaran Islam, sementara Kesultanan Malaka berkembang pesat sebagai pusat perdagangan regional. Tekanan dari kerajaan-kerajaan Islam di pesisir menjadi tantangan besar bagi Majapahit, yang mulai kehilangan kendali atas daerah-daerah taklukannya.

Setelah Dyah Kertawijaya wafat, Rajasawardhana naik takhta, tetapi pemerintahannya pun berlangsung singkat. Ia kemudian digantikan oleh Girisawardhana, yang berusaha mempertahankan sisa-sisa kejayaan Majapahit. Namun, pergolakan di dalam kerajaan semakin sulit dibendung.

Baca Juga : Wujudkan Jatim Gerbang Baru Nusantara, Gubernur Jatim: Syawal Momentum Tingkatkan Pelayanan

Dyah Kertawijaya lebih tepat disebut sebagai Brawijaya V, bukan Bhre Kertabhumi. Sebagai raja ketujuh Majapahit setelah Hayam Wuruk, masa pemerintahannya menjadi titik awal kemunduran kerajaan ini. Meskipun singkat, era kepemimpinannya menandai transisi penting dalam sejarah Nusantara, dengan semakin kuatnya pengaruh Islam dan semakin rapuhnya kekuasaan Majapahit.

Dyah Kertawijaya adalah penguasa sah Majapahit yang berperan besar dalam perkembangan Islam di lingkungan kerajaan dan menjadi leluhur utama dinasti-dinasti Islam di Jawa, seperti Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Tercatat beberapa putera dan kerabatnya yang telah memeluk Islam diberi kedudukan penting, termasuk Raden Patah yang diangkat sebagai Pecat Tandha di Bintara, Raden Kusen yang ditempatkan di Terung, Bhattara Katong yang menjadi penguasa Wengker, serta Raden Paku yang membangun basis keagamaan di Giri. 

Dari garis keturunannya inilah muncul tokoh-tokoh berpengaruh dalam Islamisasi Jawa, seperti Ki Ageng Pengging, Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pamanahan, Panembahan Senapati, hingga Sultan Agung. Dengan kata lain, Dyah Kertawijaya bukan sekadar penguasa Majapahit, tetapi juga figur kunci dalam transisi dari era Hindu-Buddha ke era Islam di tanah Jawa.

Namun, historiografi tradisional justru kerap mengabaikan peran Dyah Kertawijaya dan lebih menonjolkan Bhre Kertabhumi sebagai raja terakhir Majapahit. Dalam berbagai babad dan sumber kolonial, Kertabhumi sering kali dianggap sebagai pemimpin yang sah, padahal ia merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1468 M dengan menggulingkan Singhawikramawarddhana (putra Dyah Kertawijaya). 

Fakta ini menunjukkan bahwa Kertabhumi bukanlah penerus langsung dalam garis dinasti Majapahit yang sah, melainkan seorang perebut takhta yang justru mempercepat keruntuhan kerajaan.

Kesalahan historiografi ini berdampak pada pemahaman yang keliru mengenai akhir Majapahit dan asal-usul dinasti-dinasti Islam di Jawa. Narasi dominan yang menyebut bahwa "keturunan Majapahit" berakhir pada Kertabhumi perlu dikoreksi, karena justru garis keturunan Dyah Kertawijaya yang berlanjut dan membentuk peradaban baru di Nusantara. Demak, sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, bukanlah entitas yang sepenuhnya terpisah dari Majapahit, melainkan kelanjutan dari garis penguasa sah yang diturunkan dari Dyah Kertawijaya. 

Oleh karena itu, meluruskan historiografi Majapahit bukan hanya soal merevisi kronologi, tetapi juga memulihkan peran tokoh-tokoh yang selama ini terpinggirkan dalam narasi sejarah yang lebih luas.

Raden Patah dan Hubungan dengan Wali Songo

Raden Patah tak hanya dikenal sebagai pendiri Demak, tetapi juga sebagai murid utama Sunan Ampel. Dalam berbagai kisah, disebutkan bahwa setelah dewasa, ia meninggalkan Palembang dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Di sinilah ia mendalami ilmu agama Islam serta strategi kepemimpinan.

Bersama Sunan Ampel, ia turut serta dalam upaya Islamisasi Jawa melalui jaringan Wali Songo. Raden Patah bahkan menikah dengan Dewi Murtosimah, putri Sunan Ampel, memperkuat keterikatannya dengan para wali. Dalam masa awal pemerintahannya di Demak, ia mendapatkan dukungan penuh dari tokoh-tokoh Wali Songo, yang menjadikan Demak sebagai pusat dakwah Islam di Jawa.

Pengaruh para wali terlihat dalam berbagai kebijakan Raden Patah. Salah satu yang paling kentara adalah adaptasi kesenian wayang agar sesuai dengan ajaran Islam. Langkah ini dilakukan agar masyarakat Jawa yang telah terbiasa dengan budaya Hindu-Buddha dapat lebih mudah menerima Islam tanpa merasa tercerabut dari tradisi lama mereka.

Demak: Pusat Islamisasi dan Perlawanan terhadap Majapahit

Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak sebagai kekuatan baru di Jawa yang berbasis Islam. Sejak awal, Demak tumbuh pesat karena didukung oleh jaringan perdagangan Islam yang kuat. Posisi geografisnya di pesisir utara Jawa juga menjadikannya strategis dalam mengontrol arus perdagangan dan penyebaran Islam.

Namun, di balik kebangkitannya, ada konflik yang tak terhindarkan dengan Majapahit. Menurut beberapa sumber, Raden Patah pernah mengadakan ekspedisi militer untuk menggempur Majapahit yang saat itu dipimpin oleh ayahnya sendiri, Prabu Kertabhumi. Beberapa babad menyebutkan bahwa serangan ini menyebabkan keruntuhan Majapahit pada tahun 1478.

Namun, dalam sudut pandang lain, kejatuhan Majapahit lebih disebabkan oleh konflik internal yang berkepanjangan. Demak mungkin hanya mengambil peran sebagai penerus kekuasaan setelah Majapahit mengalami kehancuran akibat perang saudara dan lemahnya pemerintahan pusat.

Dari Majapahit ke Demak: Koreksi Historiografi atas Asal-Usul Raden Patah

Sejarah Raden Patah tidak hanya menggambarkan kebangkitan sebuah kerajaan Islam di tanah Jawa, tetapi juga mencerminkan transisi besar dalam jagat kekuasaan dan peradaban Nusantara. Peran sentralnya dalam pendirian Kesultanan Demak, strategi integratifnya dalam penyebaran Islam, dan kedekatannya dengan struktur istana Majapahit menunjukkan bahwa ia bukan tokoh marginal yang muncul dari pinggiran sejarah, melainkan bagian integral dari garis legitimasi politik kerajaan sebelumnya.

Dalam konteks ini, pengakuan atas Dyah Kertawijaya sebagai ayah biologis Raden Patah memiliki arti penting, bukan sekadar klarifikasi genealogis, tetapi juga sebagai koreksi atas konstruksi sejarah yang selama ini dikaburkan oleh narasi babad yang bercorak simbolik dan politis. Analisis kronologis atas suksesi Majapahit dan kajian kritis terhadap gelar-gelar anumerta seperti "Brawijaya" memperlihatkan bahwa Dyah Kertawijaya, bukan Bhre Kertabhumi, adalah sosok yang secara sah mewariskan legitimasi kepada Raden Patah.

Maka dari itu, penempatan Raden Patah sebagai putra dari Bhre Kertabhumi harus ditinjau ulang. Kajian historiografi yang tajam, berbasis sumber primer dan kerangka kronologis yang sistematis, membuktikan secara meyakinkan: Raden Patah adalah putra Dyah Kertawijaya, Raja Majapahit yang lebih tepat diklasifikasikan sebagai Brawijaya V, bukan Bhre Kertabhumi yang seharusnya disebut Brawijaya IX.