JATIMTIMES - Penaklukan Giri Kedaton oleh Pangeran Pekik atas perintah Sultan Agung Mataram pada tahun 1636 bukan hanya peristiwa militer dan politik semata, melainkan juga sebuah trauma spiritual dan kultural bagi tradisi Islam-Jawa yang telah mengakar kuat sejak masa Sunan Giri dan Sunan Prapen. Giri bukan sekadar pusat dakwah, tetapi simbol otoritas keagamaan yang otonom dari hegemoni kerajaan duniawi.
Artikel ini meninjau nasib para pemuka ulama Giri pasca-penaklukan, berdasarkan data historiografi dari sumber primer dan sekunder, baik babad Jawa, catatan Belanda, maupun karya sejarah modern.
Baca Juga : Kiai Kasan Ngalwi dan Bupati Brotodiningrat: Jejak Karismatik Ulama Guru Penguasa Ngawi-Madiun
Setelah penaklukan Giri oleh pasukan gabungan Mataram dan Surabaya di bawah pimpinan Pangeran Pekik pada tahun 1636, satu pertanyaan penting muncul dalam alur sejarah Islam Jawa: bagaimana nasib para pemuka ulama Giri? Apakah mereka binasa bersama runtuhnya supremasi spiritual Giri, ataukah mereka berhasil menyusup ke dalam tatanan kekuasaan Mataram yang tengah mengukuhkan supremasinya?
Menaklukkan Benteng Spiritual Jawa: Pangeran Pekik dan Penyerbuan ke Giri Kedaton (1635–1636)
Giri Kedaton berdiri sebagai pusat spiritual dan kekuasaan Islam di Jawa Timur sejak akhir abad ke-15. Didirikan oleh Sunan Giri, pusat ini menjadi kiblat legitimasi Islam politik di Jawa sebelum akhirnya mengalami subordinasi di bawah Kesultanan Mataram. Dinasti Giri dipimpin oleh para tokoh spiritual bergelar sunan dan kemudian panembahan. Perubahan gelar tersebut mencerminkan transisi dari otoritas keagamaan yang independen menjadi kekuasaan simbolik di bawah tekanan politik kerajaan.
Setelah wafatnya Sunan Prapen pada tahun 1605, kepemimpinan Giri Kedaton dilanjutkan oleh Panembahan Kawis Guwa atau dikenal pula sebagai Sunan Giri V, yang memerintah hingga 1616. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ageng Giri, yang memimpin antara tahun 1616 hingga 1636. Masa kepemimpinan kedua tokoh ini berlangsung dalam situasi yang semakin sulit, karena Giri Kedaton harus menghadapi ekspansi politik Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agung (1613–1645), yang berambisi menyatukan seluruh Jawa di bawah kendalinya. Sebagai pusat otoritas spiritual Islam di pesisir timur Jawa, Giri Kedaton dianggap sebagai penghalang strategis terhadap ambisi penyatuan Mataram.
Sebelumnya, Giri Kedaton telah diperintah oleh sejumlah tokoh penting: Sunan Giri (Raden Paku) yang memerintah tahun 1481–1506, dilanjutkan oleh Sunan Dalem (1506–1546), kemudian Sunan Seda ing Margi (1546–1548), dan Sunan Prapen (1548–1605). Deretan penguasa ini mencerminkan kesinambungan otoritas keagamaan dan politik Giri yang berpengaruh luas di Jawa selama lebih dari satu abad.
Penaklukan Giri Kedaton oleh Pangeran Pekik pada 1635–1636 bukan sekadar operasi militer, tetapi misi ideologis untuk menundukkan otoritas spiritual terakhir yang menolak kekuasaan Mataram. Giri, didirikan oleh Sunan Giri, telah lama menjadi pusat legitimasi keagamaan dan spiritual Islam di Jawa. Ketika Panembahan Giri menolak memberi baiat kepada Sultan Agung, Mataram melihatnya sebagai tantangan terhadap hegemoni politik dan spiritualnya.
Pangeran Pekik bukanlah tokoh sembarangan. Ia adalah putra dari raja Surabaya terakhir, Panembahan Jayalengkara, yang ditaklukkan oleh Sultan Agung pada tahun 1625. Sebagai bangsawan berdarah biru dan keturunan langsung dari Sunan Ampel, Pangeran Pekik memiliki legitimasi spiritual yang kuat. Statusnya semakin diperkuat ketika ia menjadi menantu Sultan Agung melalui pernikahannya dengan Ratu Pandan Sari. Dalam ekspedisi penaklukan Giri, ia ditunjuk sebagai pemimpin, bukan semata karena kepiawaiannya dalam bidang militer, tetapi juga karena kedudukannya sebagai simbol legitimasi spiritual yang mampu menandingi otoritas Giri.
Menurut Serat Kandha dan Babad Tanah Jawi, penaklukan ini berawal dari kemarahan Sultan Agung terhadap Panembahan Giri yang enggan tunduk pada kekuasaan Mataram. Bagi Sultan Agung, keberadaan Giri sebagai satu-satunya otoritas yang belum takluk merupakan ancaman serius terhadap visinya untuk menyatukan Jawa. Namun, pendekatan militer menghadapi tantangan besar: tidak ada satu pun bangsawan Mataram yang berani menyentuh Giri karena takut akan tulah dan kutukan. Dalam kondisi inilah muncul satu-satunya tokoh yang memiliki garis spiritual sejajar—bahkan dianggap lebih tinggi—dari trah Sunan Giri: Pangeran Pekik.
Dukungan dari Sultan Agung dalam ekspedisi ini sangat besar, mencakup logistik militer yang masif serta restu penuh dari Ratu Pandan Sari, yang bahkan turut serta dalam rombongan, memimpin langsung persiapan perang dan pengaturan logistik.
Serangan awal Mataram gagal. Pasukan Giri yang dipimpin Endrasena, seorang Muslim Tionghoa, memukul mundur pasukan Pekik. Moral pasukan anjlok hingga Ratu Pandan Sari turun tangan, membakar semangat prajurit, membagikan uang dan perlengkapan, serta mengorganisasi ulang barisan.
Serangan keesokan hari dilakukan dari dua arah. Endrasena tewas, pertahanan Giri runtuh. Panembahan Giri melarikan diri dan akhirnya ditangkap, namun nyawanya diselamatkan oleh Pangeran Pekik. Ia menyatakan bahwa bukan dirinya, tetapi keturunannyalah yang kelak akan menghancurkan Giri sepenuhnya—sebuah isyarat profetik.
Panembahan Giri dibawa ke Mataram sebagai simbol kekalahan spiritual di hadapan kekuasaan duniawi. Giri, yang selama dua abad menjadi poros keagamaan Islam di Jawa, kini berada di bawah Mataram. Sultan Agung tak mengambil rampasan perang, melainkan menyerahkannya kepada Pangeran Pekik—pengakuan atas jasa dan legitimasinya sebagai tokoh penyatu politik dan spiritual Jawa.
Penaklukan Giri dan Penahanan Pemuka Ulama
Penaklukan Giri Kedaton diikuti dengan penahanan pemuka ulama Giri dan sejumlah anggota keluarganya ke Mataram.Sumber Belanda dan babad Jawa mencatat bahwa tindakan ini berkaitan erat dengan Sidang Raya Kenegaraan Mataram pada tahun yang sama, yang berlangsung berbulan-bulan dan melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Raja Sepuh Cirebon.
Menurut Serat Centhini dan cerita lisan yang dikumpulkan oleh Pigeaud (1933), tiga keturunan pendeta Giri — Jayengresmi, Jayengsari, dan saudara perempuan mereka Rancangkapti — melarikan diri setelah jatuhnya Giri. Mereka dikejar oleh mata-mata Pangeran Pekik dan mengalami pengembaraan yang panjang dan tragis. Jayengresmi, yang menyamar sebagai Amongraga, akhirnya ditangkap dan dibuang ke laut oleh Sultan Agung karena dianggap sebagai ancaman.
Baca Juga : Ini Kegiatan dan Larangan Jemaah di Asrama Haji 2025, Wajib Tahu Sebelum Berangkat!
Panembahan Giri, setelah ditahan di Mataram, wafat dalam duka dan dimakamkan di wilayah kekuasaan Mataram. Keluarganya kemudian diperkenankan kembali ke Giri, bukan sebagai pemuka spiritual, melainkan hanya sebagai penjaga situs makam—sebuah status yang jauh menurun dari kejayaan mereka sebelumnya. Meinsma (1874) mencatat bahwa seluruh kesalahan para pendeta diampuni, namun dengan syarat kesetiaan mutlak kepada Mataram.
Keterangan-keterangan yang beragam ini menunjukkan satu hal: kompleksitas hubungan antara kekuasaan politik Mataram dan otoritas spiritual Giri. Meinsma (1874:149) dan Serat Kandha menyatakan bahwa pemuka ulama Giri diserahkan sepenuhnya kepada Pangeran Pekik, dan dikembalikan ke Giri dengan syarat tunduk. Hageman (1849–1851) menyebut bahwa mereka dibawa ke Mataram, namun kemudian dibebaskan dengan syarat tertentu. Ada kemungkinan bahwa pemuka ulama yang dikembalikan itu bukan tokoh utama Giri yang ditawan tahun 1636, melainkan penerusnya setelah beberapa tahun.
Hubungan Baru Mataram-Giri (1641–1645)
Berdasarkan Serat Kandha dan keterangan dari Wiselius, terdapat indikasi bahwa setelah pemuka ulama asli wafat, penggantinya diizinkan kembali ke Giri dengan syarat tunduk kepada Mataram. Hal ini menunjukkan politik asimilasi Sultan Agung: menghancurkan kedaulatan spiritual, tetapi mengadopsi dan memanfaatkan legitimasi simbolik Giri untuk memperkuat kekuasaan keraton.
Kedekatan Giri dan Mataram pada tahun-tahun akhir pemerintahan Sultan Agung terlihat dari kemunculan kisah-kisah yang bersimpati terhadap Giri dalam teks-teks Babad. Di antaranya adalah cerita Prabu Satmata, pendiri Giri pertama, yang disebut-sebut diangkat menjadi wali raja selama 40 hari setelah kejatuhan Majapahit. Peran Sunan Prapen pun digambarkan secara positif dalam Babad, sebagai peramal kejayaan Mataram.Ini menunjukkan adanya rekonsiliasi historiografis yang bertujuan menciptakan narasi legitimasi dinasti melalui simbol spiritualitas Giri.
Sidang Raya Kenegaraan 1636 dan Dimensi Politik Penaklukan Giri
Penahanan pemuka ulama Giri diduga kuat terkait Sidang Raya Kenegaraan yang berlangsung bersamaan dengan kunjungan kenegaraan Raja Cirebon ke Mataram. Dalam Daghregister VOC, kunjungan ini dicatat dengan detail, menunjukkan sifat politik dari pertemuan tersebut. Rapat tersebut menghasilkan keputusan rahasia yang diindikasikan sebagai pengukuhan putra mahkota atau restrukturisasi elite politik Mataram.
Sidang Raya Kenegaraan tahun 1636, yang dihadiri oleh Panembahan Cirebon ini berlangsung selama hampir dua bulan dan mendapat perhatian besar dari VOC, seperti dicatat dalam Daghregister (13 April dan 10 Juli 1636). Penyelenggaraan rapat ini menimbulkan spekulasi bahwa ia berkaitan dengan peristiwa strategis, mungkin konsolidasi kekuasaan dan pemantapan spiritualitas negara Mataram pasca penaklukan Giri.
Panembahan Cirebon dikenal sebagai figur suci, dan pemberian gelar "ratu" kepada Sultan Agung oleh tokoh ini dapat dimaknai sebagai upaya legitimasi spiritual. Meski kemudian gelar ini ditolak, seperti dicatat De Jonge (1862–1875), kehadiran Panembahan menunjukkan posisi penting spiritualitas dalam legitimasi politik Mataram. Tidak mengherankan bila pengaruh Giri—dalam bentuk simbolik dan naratif—juga direhabilitasi dalam Babad pasca 1640-an.
Dengan demikian, peristiwa jatuhnya Giri dan nasib para ulamanya bukan sekadar episode kekalahan, tetapi transformasi dari satu bentuk otoritas spiritual ke dalam bentuk yang lebih sesuai dengan sistem kekuasaan baru Mataram. Dalam arsitektur kekuasaan Jawa abad ke-17, Giri akhirnya dikooptasi, bukan dilenyapkan.
Narasi-narasi yang menyelamatkan nama Giri dalam pelbagai babad keraton tidak sekadar menjadi catatan peristiwa, melainkan upaya halus untuk merawat harmoni antara memori dan legitimasi. Sejarah dalam khazanah Jawa bukan hanya menarasikan yang pernah terjadi, melainkan menautkan yang terpisah—antara luka politik dan kerinduan spiritual, antara kekuasaan duniawi dan keluhuran batin. Kisah tragis Amongraga, wafatnya Sunan Giri V di perantauan, hingga kembalinya trah Giri sebagai penjaga makam leluhur, memperlihatkan bahwa rekonsiliasi tidak selalu berlangsung dalam ruang resmi, tetapi sering kali terjadi dalam narasi, dalam ziarah, dalam diam. Di sanalah sejarah Jawa memperlihatkan wajahnya yang sejati: bukan medan benturan semata, melainkan panggung di mana kekuasaan dan kesucian terus-menerus bernegosiasi, menafsir ulang makna, dan bersalin rupa dalam arus waktu yang tak pernah sepenuhnya membeku.