JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-17, di jantung kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, sebuah skandal meletus dan mengguncang sendi-sendi istana. Kisah ini bukan hanya perihal asmara gelap di dalam keputren, melainkan sebuah tragedi berlapis yang melibatkan perebutan kuasa, pembunuhan berdarah dingin, dan hancurnya tatanan moral keluarga raja.
Tokoh utama dari drama sejarah ini adalah Ratu Blitar, istri dari Pangeran Singasari, dan Pangeran Adipati Anom—putra mahkota Mataram, yang kelak menjadi raja. Peristiwa ini tercatat dalam berbagai sumber Belanda dan naskah babad Jawa, memperlihatkan historiografi yang tajam mengenai intrik kekuasaan dan krisis moral yang nyaris meruntuhkan martabat Dinasti Mataram.
Latar Kerusuhan Istana: Dinamika Pangeran-Pangeran Mataram
Baca Juga : 10 Film Indonesia Terlaris Sepanjang Masa, Ada Jumbo hingga Pabrik Gula yang Berpotensi Masuk
Tahun 1670 menjadi titik awal gonjang-ganjing istana. Keenam pangeran keturunan Amangkurat I bersaing membangun pengaruh. Di antara mereka, yang paling menonjol adalah Pangeran Singasari—nama lain dari Raden Aria Tiron, tokoh yang disebut-sebut pernah menjabat sebagai pemegang takhta sementara menggantikan ayahnya pada Juli 1670. Pengangkatan itu hanya bertahan delapan hari, sebelum Amangkurat I menarik kembali keputusannya dengan alasan penyesalan dan kekhawatiran akan krisis legitimasi.
Singasari, putra dari seorang perempuan rakyat jelata bernama Patra Kilassa dari Pasuruan—yang dirampas sebagai bagian dari rampasan perang pada masa ekspedisi Sultan Agung—dibesarkan di bawah asuhan Saralati dan diberi tempat dalam struktur kekuasaan istana. Ia dikenal alim dan religius, tinggal di padepokan di Jenar dan dikenal gemar bersujud di masjid. Namun di balik citra kesalehan itu, ia menyimpan dendam yang kelak membuncah dalam tragedi berdarah.
Jejak Perempuan dari Blambangan: Asal-usul Ratu Blitar
Ratu Blitar, istri dari Pangeran Singasari, menjadi poros dalam kisah skandal ini. Menurut tradisi Jawa, sebagaimana dicatat dalam Sadjarah Dalem dan diperkuat oleh catatan Meinsma dan Valentijn, Ratu Blitar diyakini berasal dari kalangan rakyat biasa, kemungkinan keturunan dari Blambangan—wilayah yang menjadi sasaran ekspedisi militer Mataram pada dekade 1630-an. Setelah dirampas pasukan Mataram, ia dibawa ke istana dan kelak dinikahi oleh Pangeran Singasari.
Kecantikannya menjadi buah bibir, tetapi lebih dari itu, ia menjadi simbol konflik antara dua pangeran yang haus pengaruh dan kekuasaan: Adipati Anom dan Singasari. Kehadirannya di keputren bukan hanya sebagai permaisuri, melainkan sebagai pusat ketegangan, karena kedekatannya yang mencurigakan dengan sang putra mahkota.
Aib yang Menguak: Perselingkuhan dan Pembunuhan
Skandal mulai mencuat saat beredar kabar bahwa Pangeran Adipati Anom kerap berkunjung diam-diam ke kediaman Ratu Blitar. Dalam sebuah malam yang dicatat dalam laporan Valentijn, sang putra mahkota bersama seorang sahabat bernama Raden Dobras—putra Pangeran Pekik, keluarga bangsawan terhormat Surabaya—berkunjung dari tengah malam hingga subuh. Sementara Singasari sedang bertafakur di masjid.
Namun takdir berkata lain. Ketika Pangeran Singasari pulang, Raden Dobras tak sempat melarikan diri. Ia ditangkap, diinterogasi, tetapi memilih bungkam untuk tidak mengkhianati sang putra mahkota. Dalam amarah yang membuncah, Singasari menikam Dobras dengan kerisnya sendiri dan menguburkan jasadnya di sumur belakang rumah. Sumur itu ditutup dengan tanah dan ditanami pohon pisang, seolah ingin menghapus jejak dosa dan kehormatan yang tercabik.
Namun bangkai tidak dapat disembunyikan selamanya. Pangeran Pekik, ayah Dobras, menyelidiki hilangnya sang putra dan akhirnya menemukan mayatnya. Peristiwa ini membongkar tabir aib yang melibatkan bukan hanya sang istri, tetapi juga sang calon raja.
Pengadilan Istana dan Pembunuhan Massal
Amangkurat I, dalam posisi dilematis sebagai ayah dari dua pelaku skandal, harus mengambil keputusan. Ia memanggil para abdi Singasari untuk dimintai kesaksian, namun mereka mengaku tak mendengar keributan apa pun malam itu. Alasan ini cukup bagi sang raja untuk membebaskan Adipati Anom dari tuduhan.
Namun hukuman tetap dijatuhkan—bukan pada pelaku utama, tetapi pada para abdi setia Pangeran Singasari. Sebanyak 33 atau 34 orang dari mereka dibunuh di alun-alun dengan dalih pengkhianatan. Tanpa pengadilan, tanpa pembelaan, mereka dijadikan kambing hitam dalam permainan kekuasaan yang keji. Surat dari Jepara tertanggal 15 April 1675 mengonfirmasi bahwa perintah eksekusi datang langsung dari Raja, sebagai bagian dari usaha menghapus "kenangan buruk" dari ingatan kolektif istana.
Letusan Gunung dan Simbol Murka Langit
Dua tahun setelah peristiwa berdarah itu, pada 4 Agustus 1672, Gunung Merapi meletus dahsyat. Dalam narasi masyarakat Jawa, letusan ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan simbol kemarahan alam terhadap bobroknya moral istana. Kabar dari Jepara menyebut bahwa Sunan murka terhadap dua putranya, dan sempat mengumpulkan 4.000 abdi untuk kemungkinan diadu. Salah seorang kerabat raja bahkan terbunuh dalam kekacauan ini. Rasa takut menyelimuti seluruh pulau Jawa, dan untuk sementara, tahta Mataram terancam retak oleh konflik internal.
Rekonsiliasi Semu dan Dendam yang Tertahan
Setelah bertahun-tahun ketegangan, pada tahun 1675 Amangkurat I mengampuni putra mahkotanya secara penuh. Kepadanya diserahkan wilayah strategis seperti Tuban, Surabaya, dan Gresik—wilayah penting yang dulunya merupakan jantung kekuasaan Surabaya sebelum takluk oleh Mataram. Dalam pidatonya yang dicatat pada 21 Juni 1671, sang raja berkata, “Mataram kepunyaanmu. Apa yang baik dan buruk adalah tanggung jawabmu.” Sebuah deklarasi yang tidak hanya mengembalikan kepercayaan, tetapi juga mengalihkan beban moral dan politik kepada Adipati Anom.
Namun rekonsiliasi ini hanya di permukaan. Dendam tetap bersembunyi di balik tirai-tirai istana, dan luka yang menganga dari skandal Ratu Blitar tidak pernah benar-benar disembuhkan. Sejarah mencatat bahwa tak lama setelahnya, Amangkurat I wafat secara tragis dalam pelariannya tahun 1677, dan Adipati Anom naik takhta sebagai Amangkurat II di Kartasura, menandai babak baru dalam sejarah Mataram yang sarat konflik internal.
Historiografi Skandal dan Pelajaran dari Istana
Baca Juga : Ricky Siahaan, Gitaris Seringai Meninggal Dunia: Ini Penyebabnya
Peristiwa Ratu Blitar tidak hanya mencerminkan runtuhnya moral dalam lingkaran kekuasaan, tetapi juga menjadi studi kasus bagaimana istana Mataram—sebagai pusat kekuasaan tradisional Jawa—kerap kali menjadi panggung pertarungan antara norma, kekuasaan, dan ambisi. Historiografi peristiwa ini, yang direkonstruksi dari sumber Belanda seperti Jonge, Valentijn, dan catatan kolonial VOC, berpadu dengan babad lokal seperti Sadjarah Dalem dan Babad Tanah Jawi, memberikan dimensi kompleks pada narasi yang sebelumnya dianggap sekadar kisah aib keluarga.
Skandal ini memperlihatkan bahwa dalam sistem monarki absolut seperti Mataram, keadilan dapat direkayasa, dan dosa dapat disapu bersih oleh kekuasaan. Namun sejarah tidak pernah lupa. Ia mencatat, menyusun ulang, dan akhirnya mengungkapkan kembali luka-luka masa lalu agar menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.
Ratu Blitar yang Lain: Wanita Sufi dan Pembentuk Raja-raja Mataram
Dalam sejarah kerajaan Jawa—terutama Mataram Islam dan pecahannya di Kartasura, Surakarta, serta Yogyakarta—gelar-gelar bangsawan kerap menimbulkan kebingungan. Nama seperti “Ratu Blitar” dapat merujuk pada dua tokoh berbeda yang hidup pada masa yang bersamaan. Yang pertama adalah Ratu Blitar, istri Pangeran Singasari, putra Sunan Amangkurat I. Yang kedua adalah Ratu Mas Blitar dari Madiun, permaisuri Pakubuwono I, yang kelak lebih dikenal sebagai Ratu Pakubuwono. Keduanya menyandang gelar “Ratu Blitar” dan “Ratu Mas Blitar” dalam kurun waktu yang hampir berdekatan. Namun, hanya satu di antara mereka yang benar-benar mencatatkan pengaruh besar dalam sejarah Dinasti Mataram.
Dan inilah dia: Ratu Mas Blitar dari Madiun, bangsawan wanita keturunan Retno Dumilah dan Panembahan Senopati, dan pewaris darah Pangeran Timur, pendiri Madiun. Perempuan yang bukan hanya permaisuri raja, tetapi juga seorang pemimpin, sastrawan, sufi, dan ibu para pendiri tiga dinasti besar: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran serta Pakualaman.
Silsilah Ratu Mas Blitar menancap kuat pada akar sejarah lokal Madiun. Ia merupakan keturunan langsung Retno Dumilah, putri dari Pangeran Timur, sang pendiri Madiun. Retno Dumilah menikah dengan Panembahan Senopati, pendiri Mataram Islam, dan menjadi tokoh perempuan pertama yang menjabat bupati di tanah Jawa.
Putra mereka, Panembahan Juminah, merupakan tokoh penting dalam lingkaran kekuasaan Sultan Agung. Dari garis keturunannya lahir Adipati Balitar, yang kemudian dilanjutkan oleh Pangeran Balitar Tumapel, Bupati Madiun pada periode 1677–1703. Dari Pangeran Balitar Tumapel inilah lahir seorang putri istimewa: Ratu Mas Blitar, yang kelak bergelar Raden Ayu Puger. Setelah suaminya naik takhta sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwono I, ia dikenal luas sebagai Ratu Pakubuwono.
Menariknya, sejarah Ratu Mas Blitar dari Madiun bersinggungan dengan tokoh lain yang juga membawa nama serupa, yakni istri Pangeran Singasari, saudara tiri Pangeran Puger (kelak Pakubuwono I). Keduanya adalah putra Amangkurat I dari dua ibu berbeda.
Pangeran Singasari dan Pangeran Puger merupakan saudara tiri dari Amangkurat II. Pangeran Puger—yang kelak naik takhta sebagai Pakubuwono I—adalah adik seayah Amangkurat II dan sempat memproklamasikan diri sebagai raja tandingan di tengah kekacauan politik pasca-1677, dengan gelar Susuhunan ing Ngalaga. Ketegangan di antara ketiganya menjadi titik balik besar dalam sejarah Mataram. Dalam pusaran konflik tersebut, peran para perempuan bangsawan terbukti sangat menentukan arah perjalanan sejarah kerajaan.
Raden Ayu Puger alias Ratu Mas Blitar dari Madiun menikah dengan Pangeran Puger dalam kondisi politik yang rapuh. Kartasura baru berdiri, dan legitimasi Pakubuwono I sebagai raja masih lemah. Namun melalui jaringan darah Madiun, legitimasi Puger diperkuat. Perkawinan ini menjadi penyatuan dua kekuatan lama: Mataram Islam—melalui garis Panembahan Senapati, Sultan Agung, hingga Amangkurat I—dan Madiun, yang berakar pada trah Demak, Pangeran Timur, Retno Dumilah, hingga Panembahan Juminah.
Dari pernikahan ini lahirlah Sunan Amangkurat IV, yang kemudian menurunkan Sunan Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi (kelak Hamengkubuwono I), dan Pangeran Arya Mangkunegara, ayah dari Raden Mas Said (Mangkunegara I). Empat entitas kerajaan besar di tanah Jawa—Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman—berakar dari rahim satu perempuan: Ratu Mas Blitar. Sebab Pangeran Notokusumo, pendiri Kadipaten Pakualaman, adalah putra Hamengkubuwono I.
Selain sebagai ibu dari raja-raja dan pewaris darah biru bangsawan Mataram, Ratu Mas Blitar juga dikenal sebagai seorang sastrawan perempuan sufi, sebuah fenomena langka dalam tradisi keraton Jawa yang didominasi laki-laki. Dalam kesunyian keraton dan keheningan malam-malam panjangnya, ia menulis dan menyalin karya-karya bernapas sufistik, seperti Serat Yusuf, Carita Iskandar, Kitab Usulbiyah, dan Serat Garwa Kancana—sebuah warisan intelektual yang memperlihatkan kedalaman spiritual dan kecanggihan literer seorang perempuan agung di jantung istana.
Dalam Serat Garwa Kancana, ia memberikan petuah kepada cucunya, Sunan Pakubuwono II, tentang bagaimana menjadi raja yang luhur, melalui simbol-simbol mistik dan etika sufi. Tarekat menjadi mahkota, zikir sebagai senjata, mujahadah sebagai benteng, dan kesabaran sebagai baju zirah.
Di balik kebijaksanaan ini, tersimpan kekhawatiran: ia melihat kehancuran Kartasura akibat keterikatan moral elite Jawa kepada kekuasaan Kompeni. Dan benar saja, setelah wafatnya pada 5 Januari 1732, hanya satu dekade berselang, Keraton Kartasura runtuh akibat pemberontakan Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), cucu musuh politik Pakubuwono I.
Nama “Ratu Blitar” menjadi contoh bagaimana historiografi Jawa kadang tenggelam dalam tumpang tindih gelar dan identitas. Yang satu adalah istri Pangeran Singasari, nyaris hilang dalam lipatan sejarah. Yang lain, Raden Ayu Puger dari Madiun, justru menjadi jantung dari kelahiran kembali Mataram dalam empat bentuk: Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Di tengah kabut patriarki dan dominasi narasi raja, Ratu Mas Blitar dari Madiun muncul sebagai pengingat bahwa sejarah Jawa juga ditulis oleh tangan-tangan perempuan. Ia bukan hanya saksi sejarah, melainkan aktor yang menentukan arah sejarah.
Dengan darah Retno Dumilah dan pena seorang sufi, Ratu Mas Blitar mengukir warisan yang tak lekang oleh waktu: perempuan yang membentuk para raja.