free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Tuban di Bawah Kekuasaan Mataram: Ketakutan Surabaya dan Runtuhnya Kota-Kota Pesisir

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Sekaran Sepen di Astana Giriloyo, Bantul, Yogyakartaā€”diyakini sebagai makam ghaib Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja besar Mataram Islam yang dikenal atas upayanya menyatukan Jawa. Tempat ini menjadi simbol penghormatan dan misteri yang menyelimuti perjalanan spiritual Sultan Agung. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Tahun 1619 merupakan momen krusial dalam ekspansi Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Setelah sukses menundukkan daerah-daerah pedalaman, sang raja kini mengarahkan pandangannya ke kawasan pesisir utara Jawa, yang selama ini menjadi basis kekuatan kota-kota maritim. 

Tuban, salah satu pelabuhan utama di Jawa pada masa itu, menjadi target berikutnya dalam ekspedisi militer Mataram. Kejatuhan kota ini bukan sekadar simbol dominasi, tetapi juga menandai perubahan fundamental dalam peta kekuasaan Jawa, di mana supremasi maritim yang selama ini dipegang oleh kota-kota pesisir perlahan mulai digantikan oleh kerajaan agraris dari pedalaman.

Baca Juga : Sebaran Titik Rawan di Jatim: Perlu Diwaspadai Saat Arus Balik Lebaran 2025

Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa penaklukan Tuban oleh Mataram terjadi pada pertengahan tahun 1619. Jan Pieterszoon Coen, pemimpin Kompeni Belanda di Hindia Timur, mencatat peristiwa ini dalam suratnya tertanggal 7 Oktober 1619. Ia melaporkan bahwa raja Mataram telah berhasil menduduki Tuban dan dampaknya terasa di seluruh pesisir utara, khususnya di Surabaya, yang merasa terancam oleh ekspansi militer besar-besaran ini. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, sebab kejatuhan Tuban secara langsung menempatkan Mataram dalam posisi strategis untuk mengisolasi dan mengepung kota-kota pesisir lainnya, terutama Surabaya.

Riwayat Singkat Sultan Agung Hanyokrokusumo

Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga Kesultanan Mataram Islam, merupakan sosok besar yang mengukir sejarah Jawa abad ke-17 dengan kepemimpinan militer dan visi politiknya. Memerintah dari tahun 1613 hingga 1645, ia membawa Mataram ke puncak kejayaan melalui ekspansi wilayah, reformasi ekonomi, dan penguatan budaya.

Lahir pada 14 November 1593 di Kotagede dengan nama asli Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang, Sultan Agung merupakan putra Panembahan Hanyokrowati dan cucu Panembahan Senopati pendiri Mataram. Ibunya, Ratu Mas Adi Dyah Banowati, adalah putri Pangeran Benowo, raja ketiga Kesultanan Pajang. Lingkungan aristokrat tempat ia tumbuh membentuk keterampilan dan visi kepemimpinannya sejak dini.

Di bidang militer, Sultan Agung dikenal karena keberaniannya melawan kekuatan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Batavia. Dua kali serangan besar ia lancarkan pada 1628 dan 1629. Meski gagal menguasai Batavia sepenuhnya, keberhasilannya merebut Benteng Hollandia dan mengguncang posisi VOC menjadi bukti ketangguhan pasukan Mataram. Namun, masalah logistik dan medan yang tidak mendukung menjadi penghalang utama dalam mencapai kemenangan penuh.

Di luar peperangan, Sultan Agung adalah pemimpin yang memprioritaskan pembangunan ekonomi. Produksi beras menjadi fokus utama, dengan pengembangan sistem irigasi yang memanfaatkan sungai-sungai besar. Kebijakan ini berhasil memperkuat ekonomi Mataram dan menjadikannya kekuatan ekonomi terbesar di Jawa pada masanya.

Kemajuan ekonomi diikuti dengan penguatan perdagangan dan pelayaran. Sultan Agung mengintegrasikan berbagai wilayah melalui jalur dagang, memperluas pengaruh politik dan ekonomi Kesultanan Mataram. Kebijakannya menjadikan Mataram sebagai pusat kekuatan yang disegani di Nusantara.

Selain berperan di bidang politik dan ekonomi, Sultan Agung juga dikenal karena kontribusinya dalam kebudayaan. Ia menciptakan Kalender Jawa Islam, yang menggabungkan Kalender Hijriyah dan Kalender Saka, dan hingga kini masih digunakan dalam berbagai tradisi Jawa. Selain itu, Sultan Agung menetapkan bahasa Bagongan sebagai bahasa resmi istana serta mendukung perkembangan seni patung, ukir, tari, bangunan, dan lukis.

Di bawah pemerintahannya, Mataram memperluas kekuasaan hingga mencakup hampir seluruh Pulau Jawa, dari Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga sebagian besar Jawa Barat. Ekspansi ini dicapai melalui strategi militer, diplomasi yang cerdas, dan penguatan pemerintahan yang efektif.

Sultan Agung Hanyokrokusumo dikenang sebagai salah satu raja terbesar dalam sejarah Nusantara. Kepemimpinannya tidak hanya bertujuan mempersatukan Jawa, tetapi juga mengembangkan kebudayaan, memperkuat ekonomi, dan membangun pemerintahan yang kokoh. Jejaknya terpatri dalam sejarah Indonesia, tercatat dalam ingatan pribumi maupun catatan para pengamat asing yang menyaksikan masa kejayaannya.

Pada tahun 1619, Sultan Agung menaklukkan Tuban sebagai bagian dari ekspansi Mataram di pesisir utara Jawa. Tuban, yang merupakan pelabuhan utama dan benteng pertahanan kuat, menjadi rintangan bagi ambisi Sultan Agung untuk menguasai perdagangan dan politik di kawasan tersebut.

Dalam ekspedisi ini, Sultan Agung mengutus panglima Martalaya dan Jaya Suponta, serta membangun aliansi dengan Pragola dari Pati. Namun, Tuban juga mendapat dukungan dari Surabaya dan Madura, meskipun jumlah pasukan bantuan mereka terbatas.

Tuban memiliki pertahanan kuat dengan tembok kokoh dan meriam besar, termasuk Sidamurti dan Pun Gelap yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Namun, dalam pertempuran, dua meriam ini justru meledak dan menimbulkan kepanikan di pihak Tuban. Adipati Tuban yang terluka memilih melarikan diri ke Madura, meninggalkan kota dalam kekacauan.

Akhirnya, pasukan Mataram memasuki Tuban tanpa perlawanan besar. Sultan Agung mengangkat Aria Jaya Suponta sebagai adipati baru, menandai berakhirnya kedaulatan Tuban dan awal dominasi penuh Mataram di wilayah pesisir utara Jawa.

Kejatuhan Tuban: Kronik Perang dan Pengaruhnya

Penaklukan Tuban oleh pasukan Mataram terjadi dalam situasi yang dramatis. Kota yang selama ini menjadi pusat perdagangan dan pelayaran di pesisir utara, harus menghadapi serangan darat yang dahsyat dari pasukan Mataram yang dikenal disiplin dan memiliki strategi perang yang matang. Sumber-sumber Belanda mencatat bahwa perlawanan dari pihak Tuban cukup signifikan, namun tidak cukup untuk menahan gempuran Mataram yang dipimpin oleh panglima-panglima pilihan Sultan Agung.

Babad Sangkala mencatat bahwa pasukan Tuban yang kalah dalam pertempuran akhirnya melarikan diri ke Giri, sebuah pusat keagamaan yang berpengaruh di Jawa Timur. Fakta ini diperkuat oleh laporan Antonio Vissozo dalam suratnya tertanggal 10 September 1619. Selain itu, keterlibatan keponakan Raja Cirebon dalam ekspedisi penaklukan ini menunjukkan adanya kerja sama antara Mataram dan kerajaan-kerajaan sekutunya dalam melawan kekuatan pesisir yang selama ini menjadi penghalang bagi dominasi Mataram atas Jawa.

Uniknya, dalam ekspedisi ini terdapat tokoh Gujarat bernama Koja Hulubalang yang memainkan peran penting. Ia bahkan dianugerahi gelar Demang Laksamana dan diberikan sebuah payung kehormatan oleh Sultan Agung. Ini mengindikasikan bahwa Mataram tidak hanya mengandalkan pasukan dari pedalaman, tetapi juga mengakomodasi elemen-elemen dari luar, termasuk para perantau Gujarat yang memiliki pengalaman dalam dunia maritim.

Dampak Kejatuhan Tuban: Berakhirnya Supremasi Pesisir

Baca Juga : Membongkar Tata Kelola Kerajaan Kartasura: Pemerintahan di Masa Pakubuwana II

Kejatuhan Tuban bukan hanya sekadar perubahan administratif, melainkan titik balik dalam dinamika kekuasaan di Jawa. Kota ini sebelumnya memiliki armada laut yang cukup kuat, didukung oleh sumber daya alam yang melimpah untuk pembangunan kapal, seperti kayu dari pegunungan kapur di utara. Namun, setelah takluknya Tuban, semua sumber daya tersebut jatuh ke tangan Mataram.

Dengan menguasai Tuban, Sultan Agung memperoleh kendali atas infrastruktur maritim yang sangat berharga. Jika sebelumnya Mataram dikenal sebagai kerajaan agraris dengan kekuatan militer berbasis darat, maka setelah jatuhnya Tuban, Mataram mulai membangun armada lautnya sendiri. Hal ini dikonfirmasi oleh Jan Pieterszoon Coen dalam suratnya pada 22 Oktober 1615, di mana ia mencatat bahwa Mataram memiliki bahan-bahan dan fasilitas untuk membangun kapal layar yang bagus, tetapi tidak memiliki pelaut. Dengan Tuban berada di bawah kendali Mataram, kekurangan ini dapat segera diatasi.

Efek lain dari jatuhnya Tuban adalah meningkatnya tekanan terhadap Surabaya. Sebagai kota dagang terbesar di Jawa saat itu, Surabaya melihat kejatuhan Tuban sebagai ancaman langsung terhadap eksistensinya. Jika Tuban yang memiliki armada kuat saja bisa dikalahkan oleh Mataram, maka tidak menutup kemungkinan Surabaya akan mengalami nasib serupa. Hal ini membuat Surabaya semakin bergantung pada kekuatan eksternal, termasuk Belanda, untuk mempertahankan posisinya.

Strategi Sultan Agung: Menghancurkan, Bukan Menguasai

Tidak seperti Belanda yang menerapkan sistem pendudukan langsung di wilayah-wilayah yang mereka taklukkan, strategi Sultan Agung dalam ekspansi Mataram lebih berorientasi pada penghancuran kekuatan lawan daripada sekadar menguasai wilayahnya. Setelah Tuban jatuh, tidak ada upaya untuk mendirikan pemerintahan baru atau menempatkan pejabat Mataram di kota itu. Yang terjadi justru adalah perusakan besar-besaran serta deportasi penduduk ke wilayah Mataram.

Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa kebijakan pemindahan penduduk ini bukan hanya dilakukan terhadap Tuban, tetapi juga terhadap daerah-daerah lain yang ditaklukkan Mataram. Hal ini diperkuat oleh laporan Jan Pieterszoon Coen pada pertengahan 1618, di mana ia menyebutkan bahwa terjadi kelaparan di Mataram akibat besarnya jumlah penduduk yang dibawa dari daerah-daerah timur. Pemindahan penduduk ini bukan hanya bertujuan untuk melemahkan daerah yang ditaklukkan, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Mataram, terutama dalam sektor pertanian.

Sebagai kerajaan yang berbasis agraris, Mataram sangat bergantung pada tenaga kerja untuk mengolah sawah dan menghasilkan beras. Dalam konteks ini, kebijakan pemindahan penduduk ke Mataram bukan hanya strategi militer, tetapi juga strategi ekonomi dan politik. Jumlah tenaga kerja yang dimiliki seorang pejabat di Mataram sering kali menentukan status sosial dan pengaruhnya dalam pemerintahan.

Kelemahan Koalisi Pesisir dan Dominasi Mataram

Salah satu faktor utama yang menyebabkan kekalahan Tuban dan kota-kota pesisir lainnya adalah kurangnya kesatuan di antara mereka. Jika Mataram memiliki struktur kepemimpinan yang kuat dan komando yang terpusat di bawah Sultan Agung, maka kota-kota pesisir justru sering kali terpecah belah oleh kepentingan masing-masing.

Banyak bukti menunjukkan bahwa di kalangan penguasa pesisir, terutama antara Tuban dan Surabaya, sering terjadi konflik kepentingan yang menghambat upaya perlawanan terhadap Mataram. Perpecahan ini semakin diperburuk oleh ketergantungan mereka pada perdagangan dan diplomasi dengan pihak asing, seperti Belanda dan Portugis.

Seorang tahanan perang Belanda, Balthasar van Eyndhoven, dalam kesaksiannya pada 20 Maret 1620, menulis bahwa kota-kota yang ditaklukkan oleh Mataram hampir tidak memberikan perlawanan berarti. Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor strategi militer Mataram yang superior, mentalitas dan kesiapan bertempur dari pihak lawan juga menjadi faktor utama dalam kejatuhan mereka.

Menuju Perang Besar Melawan Surabaya

Setelah Tuban jatuh, ekspansi Mataram tidak berhenti di situ. Sultan Agung telah mempersiapkan langkah selanjutnya, yaitu menundukkan Surabaya, yang merupakan pusat utama perdagangan dan militer di Jawa. Namun, pertempuran melawan Surabaya bukanlah hal yang mudah, karena kota ini memiliki pertahanan yang lebih kuat dibandingkan Tuban.

Tahun 1620 menandai dimulainya perang habis-habisan antara Mataram dan Surabaya. Pertempuran ini akan berlangsung selama lima tahun dan menjadi salah satu konflik terbesar dalam sejarah Jawa. Sebelum memasuki periode peperangan yang panjang ini, penting untuk memahami bagaimana Sultan Agung memperlakukan Kompeni Belanda serta dinamika politik yang berkembang selama tujuh tahun pertama kekuasaannya.