free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Solo di Ambang Revolusi: 1865 dan Jaringan Perlawanan Gaib

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi penangkapan jaringan pemberontak di Surakarta oleh pasukan kolonial Belanda, menggambarkan situasi mencekam Solo pada tahun 1865 saat berada di ambang revolusi. (Foto: ilustrasi oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 tidak serta-merta menghentikan gelombang perlawanan rakyat Jawa terhadap kekuasaan kolonial. Justru sebaliknya, semangat perlawanan mengalami transformasi bentuk dan pusat gerakannya. 

Surakarta, sebagai salah satu pusat kekuasaan feodal yang dijaga ketat oleh pemerintah kolonial, berubah menjadi episentrum gerakan sosial yang dinamis. Pada pertengahan abad ke-19, Jawa tetap menjadi medan ketegangan antara elite pribumi dan otoritas kolonial Belanda. 

Baca Juga : Menteri Meutya Hafid Minta Masyarakat Beralih ke eSIM, Apa itu? 

Dalam bayang-bayang sistem feodal yang dipelihara secara sistematis, muncul berbagai bentuk perlawanan baru -bukan lagi dalam bentuk perang terbuka-, melainkan melalui konspirasi politik, ramalan eskatologis, hingga upaya kudeta yang terselubung. 

Di Surakarta, intrik dalam lingkungan istana, gerakan keagamaan, dan ambisi para bangsawan menciptakan konfigurasi sosial-politik yang kompleks dan berpotensi menggoyahkan stabilitas pemerintahan kolonial.

Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana berbagai peristiwa pada tahun 1865, mulai dari penemuan dokumen-dokumen rahasia hingga keterlibatan tokoh-tokoh penting seperti Paku Buwana IX, membentuk salah satu skandal politik terbesar di era itu.

Gejolak di Solo: Awal dari Konspirasi Besar

Pada Juni 1865, laporan tentang pertemuan-pertemuan rahasia di pemakaman kerajaan di sekitar Solo mulai mencuat. Kelompok yang terlibat dalam pertemuan ini bukan sekadar rakyat biasa, tetapi termasuk bangsawan, ulama, dan pemimpin masyarakat yang memiliki pengaruh luas. Mereka menggelar ritual keagamaan, pertunjukan wayang, serta pembacaan kitab-kitab yang berisi ramalan tentang datangnya pemimpin besar yang akan membebaskan Jawa dari cengkeraman Belanda.

Residen Solo saat itu, N.D. Lammers van Toorenburg, merasa curiga dan segera memerintahkan Kepala Kepolisian Kerajaan Raden Tumenggung Suradirja untuk menyelidiki aktivitas ini. Penyelidikan tersebut membuahkan hasil cepat. Pada 8 Juli 1865, seorang tokoh bernama Mangkuwijaya ditangkap di Desa Merbung bersama lima belas pengikutnya. Barang bukti yang ditemukan sangat mencurigakan: berbagai manuskrip dalam bahasa Arab, tulisan-tulisan kuno dari Jagabaya, serta jimat-jimat yang diyakini memiliki kekuatan supranatural.

Namun, yang paling menggemparkan adalah keterkaitan kelompok ini dengan para perantau Jawa di Makkah. Diketahui bahwa banyak manuskrip tersebut dikirim dari Arab oleh orang-orang Jawa yang melarikan diri ke sana setelah Perang Jawa (1825–1830). Hal ini menunjukkan bahwa jaringan perlawanan ini tidak hanya berskala lokal, tetapi memiliki hubungan dengan komunitas di luar negeri.

Pengakuan Mengejutkan: Misi Menggulingkan Kerajaan Jawa

Pemeriksaan terhadap Mangkuwijaya pada awalnya tidak membuahkan hasil. Namun, ketika ia dihadapkan dengan salah satu kaki tangannya, Jagapla, akhirnya ia mengakui tujuan besar kelompoknya: mengembalikan kemurnian Islam di Jawa, membunuh semua orang Eropa dan Tionghoa, serta menghancurkan Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.

Menurut Mangkuwijaya, mereka berencana mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Tanjung Pura, dengan ibu kota di Prambanan. Seluruh rencana ini telah dirancang sejak empat tahun sebelumnya dan telah tersebar hingga ke daerah Pekalongan dan Tegal.

Lebih lanjut, diungkapkan bahwa mereka telah melakukan sumpah setia di makam seorang penyewa tanah Belanda, Jozes, yang dibunuh pada 1843. Fakta ini membuat Residen Solo semakin khawatir bahwa kelompok ini bukan sekadar kumpulan fanatik agama, tetapi gerakan yang memiliki strategi politik dan militer yang matang.

Menyadari situasi yang semakin serius, Lammers van Toorenburg segera mengirimkan telegram kepada Gubernur Jenderal L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele. Ia juga menghubungi Residen Madiun, D.C. Noordziek, untuk memperketat pengawasan terhadap para ulama di daerahnya.

Keterlibatan Paku Buwana IX: Bukti atau Fitnah?

Salah satu perkembangan paling mengejutkan dalam kasus ini adalah penangkapan Raden Mas Pandji Surasubrata, seorang bangsawan Solo yang diduga memiliki hubungan dengan gerakan ini. Ketika digeledah, ditemukan sebuah surat yang konon ditandatangani oleh Paku Buwana IX, penguasa Surakarta.

Isi surat tersebut menggemparkan. Di dalamnya, Paku Buwana IX mengkritik keras keadaan di kerajaannya, menuduh para pejabat feodal hanya mementingkan diri sendiri, serta menyerukan agar rakyat bersatu untuk merebut kembali tanah yang dikuasai Belanda. Ia juga menyatakan bahwa Pangeran Mangkunegara terlalu dekat dengan orang Eropa dan harus dihentikan. Lebih lanjut, ia memerintahkan agar semua orang Tionghoa, Bugis, dan Khoja yang tidak mau mendukung perjuangan ini harus segera dibunuh.

Baca Juga : Kyai R.M. Abdulkaher: Negarawan Spiritual Mangkunegaran dari Trah Bupati Pertama Kediri

Namun, keaslian surat ini masih diperdebatkan. Apakah ini benar-benar perintah dari Paku Buwana IX? Atau sebuah rekayasa yang dibuat untuk membakar semangat perlawanan rakyat? Fakta bahwa surat ini ditandatangani oleh seorang pangeran fiktif yang mengaku mendapat mandat dari raja semakin menambah misteri.

Di tengah kontroversi ini, kabar buruk datang dari Benteng Vredeburg. Mangkuwijaya, tokoh utama dalam kasus ini, ditemukan gantung diri di selnya menggunakan kain ikat kepalanya. Dugaan muncul bahwa ia merasa bersalah karena telah mengungkap terlalu banyak informasi, sementara rekan-rekannya tetap bungkam. Namun, tidak sedikit yang menduga bahwa kematiannya bukanlah bunuh diri, melainkan akibat penyiksaan atau pembunuhan yang sengaja dilakukan untuk menutup mulutnya.

Ramalan Eskatologis dan Jejak di Madiun

Selain dokumen politik yang ditemukan di Solo, penyelidikan lebih lanjut menemukan ramalan-ramalan apokaliptik yang beredar di kalangan ulama dan pesantren di Madiun. Residen Madiun, Noordziek, memperoleh sejumlah dokumen yang meramalkan bahwa Imam Mahdi akan datang ke Jawa untuk memimpin umat Islam dalam melawan penjajah.

Dokumen-dokumen ini mengandung pesan yang mirip dengan manuskrip yang ditemukan dari tangan Mangkuwijaya, tetapi dengan satu perbedaan mencolok: ramalan di Madiun menyebutkan bahwa Imam Mahdi akan muncul di Masjidil Haram di Arab, bukan di Jawa. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan interpretasi di antara kelompok-kelompok Islam yang terlibat dalam gerakan ini.

Pada 1 Agustus 1865, Residen Kedu, H.J.C. Hoogeveen, menangkap delapan orang yang diduga terkait dengan gerakan ini. Salah satu dari mereka adalah Gus Misani alias Mas Krapyak, seorang guru yang mengaku berasal dari Arab dan memiliki pusaka berupa tombak milik Sultan Agung. Mas Krapyak kemudian menyebut Pangeran Suryengalaga, kakek dari seorang pejabat putra mahkota Yogyakarta, sebagai tokoh di balik konspirasi ini.

Kasus ini akhirnya menjerat nama-nama besar, termasuk Patih Yogyakarta, yang juga disebut-sebut sebagai dalang dari gangguan keamanan ini.

Akhir dari Gerakan atau Permulaan Baru?

Penangkapan, penyelidikan, dan kematian mendadak Mangkuwijaya menandai berakhirnya episode ini dalam sejarah perlawanan di Surakarta. Namun, apakah ini benar-benar akhir?

Dokumen-dokumen yang ditemukan menunjukkan bahwa gerakan ini bukanlah insiden yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari jaringan luas yang menyebar hingga ke pesantren-pesantren di seluruh Jawa. Hubungan dengan Mekah dan doktrin eskatologis yang diusung gerakan ini menandakan bahwa resistensi terhadap Belanda tidak hanya berbasis politik, tetapi juga spiritual.

Meskipun konspirasi ini akhirnya berhasil dibongkar, semangat perlawanan tidak pernah benar-benar padam. Api perlawanan terus menyala di bawah permukaan, menunggu momen yang tepat untuk kembali meledak.