JATIMTIMES - Dalam jagat historiografi Jawa abad ke-17, Pangeran Pekik merupakan sosok yang sering kali terlewatkan dalam narasi-narasi besar seputar konflik kekuasaan dan ekspansi wilayah. Namun, jika ditelaah melalui lensa sejarah budaya dan pembentukan identitas kebangsaan Jawa, peran Pangeran Surabaya ini justru menjadi kunci dalam proses transisi kebudayaan antara tradisi pesisir dan kekuasaan pedalaman.
Merangkum berbagai sumber, Pangeran Pekik, menantu Sultan Agung, bukan sekadar tokoh istana. Melainkan juga pengemban misi kultural yang menjembatani dua dunia: dunia kosmopolitan pesisir utara Jawa dan dunia agromistis pedalaman Mataram.
Baca Juga : Penguasa yang Tak Mau Patuh: Politik, Simbol, dan Perlawanan Halus Brotodiningrat
Kediaman Pangeran Pekik di Kasurabayan atau kadipaten Surabaya yang dipindahkan ke jantung kekuasaan Mataram sekitar tahun 1628, menjadi semacam enklave kebudayaan pesisir di dalam struktur kekuasaan Sultan Agung. Keberadaan beliau di pusat pemerintahan bukan tanpa maksud politis. Ia adalah keturunan bangsawan Surabaya, salah satu kerajaan pesisir terakhir yang memiliki tradisi sastra, keagamaan, dan kemaritiman yang kuat.
Ketika Surabaya jatuh ke tangan Mataram pada 1625, Pangeran Pekik tidak dihukum atau diasingkan, melainkan dinikahkan dengan putri Sultan Agung. Alih-alih dipinggirkan, ia justru diintegrasikan secara simbolik dan struktural dalam tubuh kerajaan, dengan status menantu Sultan sekaligus duta budaya dari peradaban pesisir.
Dalam peta politik Mataram abad ke-17, sebagaimana dicatat oleh Van Goens dan De Graaf (1956: 214–215), kediaman Pangeran Pekik di Kasurabayan kerap muncul dalam catatan Belanda dan bahkan dimasukkan dalam peta kota istana. Ia menetap di sana sejak paling tidak tahun 1628 dan tetap menjadi tokoh penting hingga wafatnya menjelang tahun 1670-an. Kediaman ini menjadi pusat interaksi kebudayaan dan spiritualitas, bahkan menjadi salah satu titik penting dalam narasi mistik dan religius Jawa masa itu.
Pangeran Pekik bukanlah figur militer atau birokrat aktif. Catatan kontemporer dan literatur kolonial menggambarkan dirinya sebagai sosok yang lebih kontemplatif, cenderung menyerahkan diri pada arus besar keputusan istana, dan tidak memiliki karakter agresif atau ekspansif seperti mertuanya, Sultan Agung. Namun justru dalam kontemplasi itu ia memainkan peran strategis sebagai "agen kebudayaan" (cultural agent). Ia bukan hanya seorang aristokrat, tetapi juga penyair, penulis suluk, seniman, dan pembaharu.
Karakter Pangeran Pekik digambarkan oleh para sejarawan sebagai pribadi yang lebih condong pada perenungan ketimbang tindakan militer. Dalam catatan sejarah, kesediaannya tunduk pada keputusan politik Sultan Agung bukan karena ketakutan atau ketidakmampuan, tetapi lebih karena disposisi kejiwaannya yang cenderung tenang, pasif, dan spiritual. Ia tidak memiliki energi ekspansif layaknya tokoh-tokoh militer Mataram lainnya, tetapi kekuatan utamanya terletak pada pengaruh budaya dan moralnya.
Dalam penaklukan Giri Kedaton, misalnya, keterlibatannya bukan sebagai komandan pasukan, tetapi sebagai tokoh berpengaruh yang mampu menjinakkan resistensi melalui pendekatan budaya dan simbolik. Ia mewakili superioritas moral dan intelektual kebudayaan pesisir, yang lebih kosmopolitan dan toleran dibandingkan budaya kekuasaan di pedalaman yang kerap brutal dan hegemonik. Pengaruh Pangeran Pekik dalam konteks ini adalah bentuk "soft power", kekuatan lunak yang tidak menaklukkan dengan pedang, tetapi dengan gagasan dan estetika.
Menurut C.E. Winter (1882: 361–373), Pangeran Pekik dikenal sebagai penulis naskah "Serat Jaya Lengkara Wulang" dan disebut bersama Kiai Panjang Jiwa sebagai penyair utama di zaman Sultan Agung. Tak hanya itu, De Graaf (1941b: 213–214) mencatat kontribusi Pangeran Pekik dalam membumikan kembali naskah-naskah klasik Jawa Timur, termasuk cerita heroik Damarwulan. Ia tidak sekadar mentransmisikan kisah tersebut, tetapi juga menciptakan medium artistik baru: wayang krucil, suatu bentuk wayang yang lebih kecil, digunakan khusus untuk mementaskan lakon-lakon dari cerita Damarwulan. Peristiwa ini disebut terjadi pada tahun 1671 menurut L. de Serrurier (1896: 57).
Wayang krucil tidak hanya menjadi inovasi seni pertunjukan, tetapi juga simbol percampuran budaya pesisir dan pedalaman. Pertunjukan ini menandai peralihan dari tradisi cerita lisan ke bentuk visual dan dramatik, serta menyesuaikan konten pesisir agar dapat diterima dalam konteks budaya istana Mataram. Ini adalah bentuk akulturasi kultural yang elegan, diprakarsai oleh seorang pangeran yang tidak memegang senjata, tetapi pena dan naskah.
Lebih jauh lagi, Pangeran Pekik berperan dalam mengalihkan khazanah sastra Melayu ke dalam bahasa dan kerangka budaya Jawa. Salah satu kisah yang penting adalah ketika ia meminta seorang khatib dari Giri – pusat tarekat pesisir yang terkenal – untuk menerjemahkan kisah "Cariasipun Sultan Iskandar" dari bahasa Melayu ke dalam bahasa Jawa. Terjemahan ini kemudian dibawa ke Mataram dan menjadi bagian dari pustaka istana. Tindakan ini bukan sekadar kerja terjemahan, tetapi juga strategi kultural untuk menjembatani dua pusat peradaban: Melayu-Islam di utara dan Jawa-Islam di pedalaman.
Peran Pangeran Pekik sebagai penyebar nilai-nilai kejawen dan mistik Islam juga tercermin dari sejumlah suluk yang ditulisnya. Syair-syair tersebut, meskipun tidak selalu disebutkan judulnya, diakui sebagai kontribusi spiritual yang penting dalam corpus kesusastraan mistik Jawa. Suluk yang dihasilkan Pekik kerap menjadi bagian dari pengajian di pesantren-pesantren elite dan menjadi bahan ajar para santri tarekat.
Historiografi Jawa memposisikan Pangeran Pekik tidak hanya sebagai penulis dan penerjemah, tetapi sebagai penjaga semangat pluralisme budaya yang menyatukan kekuatan kosmopolit Surabaya dengan kekuasaan agraris Mataram. Ia adalah simbol penyatuan antara dunia wali (representasi tradisi Islam awal di pesisir) dan dunia raja (representasi kekuasaan politik dan mistik Jawa pedalaman). Dalam peristiwa penaklukan Giri, misalnya, ia tidak bertindak sebagai komandan perang, tetapi sebagai mediator kultural. Ia memahami struktur spiritual Giri dan menggunakan pengaruh serta legitimasinya untuk menjinakkan perlawanan melalui pendekatan simbolik dan religius.
Kisah-kisah lisan maupun tertulis tentang Pangeran Pekik sebagai pencipta dan penyebar budaya begitu banyak jumlahnya. Beberapa dari kisah ini memang perlu diuji kembali dalam kerangka kritik sumber, namun jumlah dan penyebarannya menunjukkan bahwa peran Pangeran Pekik telah menempati ruang penting dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa. Ia bukan hanya tokoh sejarah, tetapi simbol budaya, jembatan antara zaman Walisongo dan zaman Dinasti Amangkurat.
Penutup dari narasi ini menempatkan Pangeran Pekik sebagai agen transformatif yang, meskipun tidak memimpin pasukan, telah memimpin arus kebudayaan. Ia adalah tokoh sentral dalam pembentukan identitas budaya Mataram pasca-penaklukan pesisir. Dengan pena, suluk, dan pentas, ia mengukuhkan peran penting tradisi pesisir dalam konstruksi budaya Jawa modern abad ke-17. Sosoknya menegaskan bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh pemenang perang, tetapi juga oleh mereka yang membentuk makna dan memperhalus peradaban.
Historiografi dan Pentingnya Pangeran Pekik
Baca Juga : Cetak Gol Penentu di Dua Laga Beruntun, Flavio Silva Makin Termotivasi
Dalam sejarah politik dan spiritual Jawa abad ke-17, Pangeran Pekik tampil sebagai tokoh penyatu dua kutub kekuasaan: pesisir Islam warisan Demak-Surabaya dan agraris kerajaan Mataram. Lahir sebagai putra Panembahan Jayalengkara—raja terakhir Surabaya yang merupakan keturunan Sunan Ampel—Pangeran Pekik mewarisi legitimasi darah biru dan spiritualitas Walisongo. Setelah kekalahan Surabaya tahun 1625, ia dibawa sebagai tawanan ke ibukota Mataram di Karta, namun justru diangkat sebagai menantu Sultan Agung lewat pernikahan dengan Ratu Pembayun, putri sulung sang raja.
Sebagai penasihat senior Sultan Agung, Pangeran Pekik menjadi tokoh strategis: ia menyatukan tradisi pesantren pesisir dan kebudayaan keraton pedalaman, serta memainkan peran kunci dalam ekspedisi militer menundukkan Giri Kedaton (1636), simbol independensi ulama Jawa Timur. Ia dijuluki rakyat sebagai "Gagak Emprit", bangsawan yang merakyat, dan di istana dikenal sebagai Panembahan Pekik—ulama raja.
Selain jejak-jejak tertulis, warisan Pangeran Pekik juga hidup dalam cerita-cerita lisan yang berkembang di kalangan rakyat. Dalam cerita rakyat, ia kerap digambarkan sebagai tokoh bijak, pencipta, dan penebar kebudayaan. Ia bukan hanya seorang bangsawan, tetapi juga "pujangga praja", pemikir negara, yang tidak hanya memperkuat kekuasaan Sultan Agung secara politik, tetapi juga memperkaya dan memperhalusnya secara budaya.
Cerita-cerita ini memang sulit untuk diverifikasi secara historis, namun menurut pendekatan historiografi kultural, cerita lisan tidak boleh diabaikan. Ia adalah ekspresi ingatan kolektif, bentuk lain dari dokumentasi sejarah yang tersimpan dalam memori sosial. Cerita-cerita tentang Pangeran Pekik justru memperkuat citra dirinya sebagai agen transformatif dalam sejarah budaya Jawa, seseorang yang membawa kehalusan rasa dari pesisir untuk membentuk watak kerajaan Mataram.
Sejarawan seperti H.J. de Graaf dan C.A. Winter telah menyadari pentingnya tokoh ini. Namun, karena warisannya lebih bersifat simbolik dan budaya ketimbang politik dan militer, namanya cenderung terlupakan dalam narasi sejarah yang lebih menyukai cerita tentang perang, pemberontakan, dan suksesi. Kini, melalui pendekatan interdisipliner yang memadukan sejarah politik, sastra, dan studi budaya, peran Pangeran Pekik dapat direhabilitasi dan ditempatkan secara layak dalam sejarah Jawa modern.
Pangeran Pekik adalah jembatan antara Surabaya dan Mataram, antara budaya pesisir dan kekuasaan pedalaman, antara Islam kosmopolitan dan Islam Jawa yang khas. Ia bukan sekadar pelengkap dalam narasi besar Mataram, tetapi seorang pembentuk jiwa dari kerajaan tersebut. Tanpa kehadirannya, mungkin Mataram tidak akan sehalus dan setajam yang kita kenal dalam kebudayaan keraton-keraton Jawa setelahnya.
Melalui karya sastra, suluk, seni pertunjukan, hingga penerjemahan teks keagamaan, Pangeran Pekik telah menciptakan warisan yang tak tertandingi. Ia adalah agen kebudayaan yang diam, namun dahsyat. Seorang bangsawan yang memilih pena dan syair ketimbang pedang, namun mampu menundukkan zaman melalui kekuatan nilai dan makna.
Pangeran Pekik bukan seorang raja, melainkan bangsawan Surabaya yang tunduk kepada Mataram. Namun, dari putrinya lahir keturunan yang kelak naik takhta. Dari silsilahnya mengalir legitimasi kekuasaan. Dan dari wahyu yang ia terima di makam Butuh, lahir sebuah dinasti baru: Dinasti Amangkurat. Karena itu, membahas peran Pangeran Pekik dan menempatkannya pada posisi yang layak dalam sejarah menjadi sesuatu yang penting.
Konon, saat bermalam di makam Sultan Hadiwijaya, Pangeran Pekik menerima suatu penglihatan mistik: kelak cucunya akan menjadi raja Jawa, bertakhta di sebelah barat Pajang, dengan gelar Amangkurat. Ramalan itu menjelma nyata dalam diri Raden Mas Rahmat—cucu Pekik dari pernikahan putrinya, Ratu Mas Surabaya, dengan Amangkurat I. Kelak, Rahmat naik takhta sebagai raja Mataram bergelar Amangkurat II.
Ketika Plered luluh-lantak oleh gemuruh pemberontakan Trunajaya, hanya satu nama yang mengemuka sebagai pengganti sah di mata istana dan penjajah: Raden Mas Rahmat. Laporan VOC tahun 1677 dan babad-babad Jawa menegaskan legitimasinya—pewaris darah Sultan Agung dan cucu Pangeran Pekik, yang diselubungi wahyu keprabon dari tanah sunyi bernama Butuh. Maka, peristiwa gaib di makam Sultan Hadiwijaya bukan sekadar dongeng leluhur, melainkan fondasi sakral yang meneguhkan kelahiran seorang raja: Amangkurat II, pendiri Dinasti Amangkurat.