JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Mataram Islam, yang saat itu berada di puncak hegemoni politiknya di Jawa, justru dilanda badai intrik yang bermula dari pusat kekuasaan: istana Kartasura. Konflik laten antara Sultan Amangkurat I (berkuasa 1646–1677) dengan pamannya, Pangeran Purbaya, menjadi sebuah babak penting dalam drama kekuasaan yang berujung pada penyusutan stabilitas kerajaan, pertumpahan darah bangsawan, dan langgengnya politik eliminasi.
Akar Konflik: Darah dan Ketakutan
Baca Juga : Rahasia Kunyit dan Madu untuk Kesehatan Lambung yang Terbukti Ilmiah
Sejak awal masa pemerintahannya, Sunan Amangkurat I dikenal sebagai penguasa yang paranoid, keras, dan sangat terobsesi pada stabilitas kekuasaan. Ia tidak segan mengorbankan darah kerabat demi meredam potensi ancaman. Dalam beberapa tahun setelah naik takhta, ratusan bangsawan, ulama, hingga bekas pejabat era Sultan Agung dibantai atas perintahnya. Kebijakan ini menjadi teror politik yang mewarnai dekade pertama pemerintahannya.
Dalam suasana penuh ketegangan politik dan atmosfer istana yang sarat kecurigaan, muncul satu tokoh tua yang dipandang sebagai potensi ancaman tersembunyi oleh Sunan Amangkurat I. Tokoh tersebut adalah Pangeran Purbaya, seorang bangsawan sepuh keturunan langsung Panembahan Senopati, pendiri dinasti Mataram Islam.
Secara genealogis, Pangeran Purbaya adalah putra Panembahan Senopati dari istri pertama yang bukan permaisuri, yakni Kanjeng Ratu Giring. Ia merupakan saudara seayah dari Raden Mas Jolang, yang kelak naik takhta sebagai Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Mataram. Dari Panembahan Hanyakrawati lahirlah Sultan Agung (bertakhta 1613–1645), dan dari Sultan Agung kemudian lahir Amangkurat I (bertakhta 1646–1677).
Dengan demikian, Pangeran Purbaya merupakan saudara seayah namun berlainan ibu dari kakek Amangkurat I. Secara genealogis, ia berasal dari generasi yang lebih tua dalam garis keturunan pendiri Dinasti Mataram.
Ketinggian status genealogis ini, ditambah dengan kewibawaan pribadi serta pengaruh yang masih kuat di kalangan bangsawan sepuh dan prajurit veteran, menjadikan Pangeran Purbaya sebagai sosok yang dipandang berpotensi mengancam otoritas Amangkurat I—raja muda yang tengah mengonsolidasikan kekuasaan dalam sistem monarki absolut dan tersentralisasi.
Pangeran Purbaya, meskipun dalam sumber-sumber babad digambarkan sebagai tokoh yang setia, justru tampil dalam citra berbeda dalam keterangan surat-surat kolonial Belanda seperti Gezantschapsreizen van Goens. Sumber ini mengungkap adanya konflik politik tingkat tinggi yang nyaris berujung pada perang saudara di dalam tubuh Dinasti Mataram.
Ketidakhadiran dan Makna Simboliknya
Menurut catatan Rijcklof van Goens dalam kunjungan terakhirnya ke Jawa (1655), Pangeran Purbaya tiba-tiba tidak lagi hadir di keraton. Dalam konteks budaya Jawa, ketidakhadiran seorang bangsawan utama tanpa izin dari raja bukan sekadar sikap pribadi, melainkan isyarat pembangkangan. Amangkurat I, yang baru saja melancarkan gelombang pembunuhan terhadap sejumlah kerabat kerajaan, merasa terguncang oleh absennya Purbaya. Diam-diam, sang paman memperkuat posisinya dengan menghimpun loyalisnya, termasuk para menantu dan anak cucunya yang berjumlah sekitar lima puluh orang, sebagian besar masih aktif dalam struktur kekuasaan Mataram.
Puncaknya, ketika putra Pangeran Purbaya—Raden Mas—yang menjadi abdi kesayangan raja, diminta agar menyampaikan pesan raja pada ayahnya untuk tidak memperbesar ketegangan. Namun, Raden Mas, yang terjebak dalam konflik loyalitas, menolak menjadi penghubung langsung. Ia menegaskan bahwa dirinya bukanlah abdi ayahnya, tetapi abdi raja, dan siap mati demi Raja Mataram. Pernyataan ini, alih-alih menenangkan, justru menjadi pemicu gerakan represif selanjutnya.
Mobilisasi dan Ancaman Terbuka
Sebagai respons, Sultan Amangkurat I menarik semua pasukan dan pengikut Raden Mas dari keraton dan mengirimkan kekuatan besar, sekitar 200.000 orang—jumlah yang luar biasa bahkan untuk konteks militer Mataram kala itu—untuk mengepung wilayah tempat tinggal Purbaya. Ini bukan sekadar manuver militer, melainkan sebuah pernyataan kekuasaan yang brutal terhadap keluarga sendiri.
Namun, dalam kebijaksanaan seorang tua, Pangeran Purbaya tidak bereaksi frontal. Ia mengirimkan kembali putranya untuk menyatakan bahwa dirinya tidak akan melawan dan justru meminta agar sang anak tetap setia kepada sang raja. Sebuah langkah politik yang menunjukkan keluwesan diplomasi Jawa klasik, berbalut simbolisme dan kesantunan yang halus, namun penuh makna.
Ratu Ibu: Penengah dalam Tradisi Matriarkal Jawa
Tokoh kunci yang menyelamatkan Mataram dari perang saudara pada masa itu bukanlah seorang panglima atau penasihat kerajaan, melainkan perempuan: Ratu Ibu, ibunda Amangkurat I, janda Sultan Agung. Dalam narasi Van Goens, ia digambarkan sebagai sosok tua yang bijaksana, dan sangat memahami kecenderungan destruktif putranya.
Ratu Ibu mengatur pertemuan rekonsiliasi antara Sultan dan Pangeran Purbaya, yang berlangsung penuh simbolisme di makam Sultan Agung di Imogiri. Ia sendiri meminta diantar dengan tandu tertutup, melibatkan Pangeran Purbaya, dan menyampaikan kepada putranya bahwa arwah sang ayah "memanggilnya" untuk berziarah. Dengan dramatis, ia bahkan mengancam akan bunuh diri apabila permintaan itu ditolak.
Baca Juga : Sejarah dan Makna Sabtu Suci Serta Aturan Warna Pakaian Sesuai Anjuran Liturgi
Di depan makam Sultan Agung, Ratu Ibu memohon satu permintaan dari putranya: pengampunan bagi Purbaya. Sempat ragu karena merasa kewibawaannya terancam, Sultan akhirnya luluh setelah sang ibu bersumpah di atas makam ayahnya. Purbaya kemudian hadir, bersujud mencium kaki keponakannya. Amangkurat I menerima dengan sumpah bahwa ia tidak pernah berniat membunuh pamannya, hanya ingin mencabut kekuasaannya agar tidak terjadi pemberontakan. Maka, berakhirlah kisah rekonsiliasi yang langka dalam sejarah Mataram.
Historiografi: Babad versus Kolonial
Narasi ini tidak tercatat dalam babad resmi Mataram. Sumber-sumber seperti Babad Tanah Jawi dan Babad Momana justru menggambarkan Pangeran Purbaya sebagai tokoh yang setia, tidak pernah memberontak. Mengapa demikian? Dalam historiografi Jawa tradisional, loyalitas keluarga adalah nilai utama yang dijaga sebagai legitimasi moral dinasti. Pemberontakan dari paman terhadap keponakan akan mencoreng narasi keagungan dinasti dan merusak sakralitas trah.
Sebaliknya, laporan Van Goens dan catatan kolonial VOC justru lebih terbuka mencatat konflik internal keluarga Mataram. Hal ini menunjukkan pentingnya membandingkan berbagai sumber sejarah untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan jujur. Ada ketegangan epistemologis antara babad sebagai teks yang menjustifikasi kekuasaan dan arsip kolonial sebagai dokumen kontrol kekuatan asing.
Akhir dari Era Purbaya
Meski telah diampuni, posisi Pangeran Purbaya tidak pernah kembali seperti sedia kala. Dalam kunjungan terakhir Van Goens pada 1654 dan laporan Winrick Kieft pada 1655, disebutkan bahwa hampir tidak ada lagi penasihat atau tokoh tua dari zaman Sultan Agung yang tersisa di istana, kecuali Purbaya dan Tumenggung Singaranu. Proses “pembersihan istana” telah berlangsung secara sistematis. Sekalipun sebagian tokoh telah wafat secara alamiah, tak sedikit yang dieliminasi secara politik.
Ratu Ibu meninggal pada tahun 1575 Jawa (2 Desember 1652), dua tahun sebelum catatan terakhir Van Goens. Dengan kepergiannya, hilang pula satu-satunya penyeimbang moral dan spiritual yang mampu menahan nafsu kekuasaan Amangkurat I. Dalam atmosfer itulah, rezim Amangkurat terus bergerak menuju absolutisme, dengan struktur istana yang didominasi generasi muda yang loyal, bukan karena kebijaksanaan, melainkan karena ketakutan.
Warisan Politik Kekerasan
Kisah konflik Amangkurat I dan Pangeran Purbaya menjadi pelajaran sejarah yang penting. Ia menunjukkan bagaimana intrik kekuasaan, ketika tidak diimbangi dengan etika dan keseimbangan tradisional, dapat menghancurkan tatanan internal kerajaan dari dalam. Peristiwa ini adalah pendahulu dari krisis yang lebih besar: pemberontakan Trunajaya (1674–1680), yang mengguncang Kerajaan Mataram dan memperlihatkan kegagalan besar rezim Amangkurat dalam menjaga stabilitas politik maupun kepercayaan rakyat.
Dengan merefleksikan konflik ini melalui kacamata historiografi kritis, kita melihat tidak hanya kisah seorang raja dan pamannya, tetapi juga dinamika kekuasaan dalam struktur kerajaan Jawa yang kompleks, penuh simbolisme, dan kerap dikaburkan oleh teks-teks resmi.
Sejarah, sejatinya, bukanlah milik mereka yang menang. Ia tersembunyi dalam lapisan-lapisan narasi yang terlupakan, yang menunggu untuk ditemukan. Dari makam-makam sunyi di Imogiri yang menyimpan bisu jejak-jejak waktu, hingga catatan-catatan tua yang terukir dalam bahasa Belanda dan aksara Jawa kuna. Di sanalah, kebenaran—meskipun terkadang samar—menyapa, mengungkapkan diri di tengah keheningan yang menanti untuk didengar.