JATIMTIMES - Penaklukan Giri Kedaton oleh Pangeran Pekik pada tahun 1635–1636 bukan semata-mata peristiwa militer, melainkan sebuah operasi ideologis, spiritual, dan politik yang kompleks. Dalam historiografi Jawa, sebagaimana tergambar dalam "Babad Tanah Djawi", "Serat Kandha", dan disinggung pula oleh Meinsma (1874), peristiwa ini mencerminkan ketegangan antara kekuasaan politik Mataram yang dipersonifikasikan oleh Raja dan Pangeran Pekik di satu sisi, dan otoritas spiritual Giri Kedathon di sisi lain.
Latar Belakang Konflik: Giri dan Mataram dalam Perebutan Legitimasi
Baca Juga : Aktor Fachri Albar Kembali Ditangkap Polisi karena Kasus Narkoba
Melansir berbagai sumber, Giri Kedaton sejak abad ke-15 telah menjadi pusat otoritas keagamaan Islam di Jawa. Didirikan oleh Sunan Giri, keturunan langsung dari Maulana Ishaq, Giri berkembang menjadi panutan ulama dan raja-raja lokal, dan dalam banyak kesempatan menjadi "pemberi legitimasi" atas tahta-tahta duniawi. Sebaliknya, Kesultanan Mataram, yang tumbuh sebagai kekuatan politik dan militer terbesar di Jawa Tengah pada awal abad ke-17 di bawah Sultan Agung, berambisi menyatukan tanah Jawa bukan hanya secara teritorial, tapi juga secara ideologis.
Namun, Giri menolak tunduk kepada hegemoni Mataram. Sang panembahan Giri menolak memberi baiat kepada Raja Mataram, dan tetap mempertahankan posisi spiritual yang otonom. Menurut Serat Kandha dan Babad Tanah Jawi, peristiwa ini berakar dari kemarahan Sultan Agung terhadap Panembahan Giri yang enggan tunduk pada kekuasaan Mataram.
Bagi sang Raja, keberadaan Giri sebagai satu-satunya otoritas yang tidak takluk merupakan ancaman langsung terhadap visi unifikasi Jawa. Namun, pendekatan militer menghadapi tantangan spiritual: tiada seorang pun bangsawan Mataram yang berani menyentuh Giri karena khawatir akan tulah dan kutukan. Maka, hanya seorang yang memiliki garis spiritual setara – bahkan lebih tinggi – yang dapat menundukkan Giri: Pangeran Pekik.
Pangeran Pekik dan Mandat Penaklukan
Pangeran Pekik adalah figur sentral dalam rekonsiliasi politik Jawa abad ke-17. Ia lahir sebagai Raden Bagus Pekik, putra Panembahan Jayalengkara, penguasa terakhir Kesultanan Surabaya yang keturunannya tersambung ke Sunan Ampel, wali penyebar Islam terpenting di Jawa. Sebagai ulama dan bangsawan, Pangeran Pekik dijuluki Panembahan Pekik, Gagak Emprit, dan Imam Faqih. Ia membawa pengaruh besar pada budaya istana—dari sastra hingga seni
Sejak masa muda, Pangeran Pekik dikenal memiliki kedekatan dengan berbagai unsur kebudayaan, termasuk dalam bentuknya yang lebih spiritual, seperti melalui praktik suluk, yang menjadi salah satu media penyebaran ajaran mistik dalam masyarakat. Suluk, dalam tradisi Jawa, tidak hanya dianggap sebagai praktik pribadi, tetapi juga sebagai sarana memperkuat legitimasi kekuasaan dan menumbuhkan aura spiritual pada penguasa, menjadikan Pangeran Pekik sebagai figur yang tidak hanya memerintah dengan tangan kekuasaan, tetapi juga dengan pengaruh kebudayaan yang meluas.
Selanjutnya, Pangeran Pekik dikenal melalui karyanya dalam dunia seni, khususnya wayang krucil, yang menjadi bagian penting dari tradisi pertunjukan wayang di Mataram. Wayang Krucil, sebagai sebuah bentuk seni yang lebih sederhana dibandingkan dengan wayang kulit, mendapat tempat dalam masyarakat sebagai alat untuk menyampaikan ajaran moral dan politik yang dapat diterima oleh berbagai lapisan sosial. Keikutsertaan Pangeran Pekik dalam pengembangan dan pelestarian seni ini mengindikasikan betapa dalamnya pemahamannya tentang kekuatan budaya sebagai agen perubahan sosial.
Pangeran Pekik adalah menantu Sultan Agung, penguasa terbesar Mataram. Pernikahannya dengan Ratu Pandan Sari bukan sekadar relasi personal, melainkan strategi penyatuan dua pusat kekuasaan: Kerajaan Mataram dan Kerajaan Surabaya yang memiliki legitimasi spiritual karena nasab ke Sunan Ampel. Pernikahan ini menjadi landasan moral sekaligus politik dalam misi penaklukan Giri.
Sultan Agung kemudian memanggil adiknya, Ratu Pandan Sari, dan memerintahkannya untuk menyampaikan titah kepada suaminya, Pangeran Pekik, agar memimpin ekspedisi militer ke Giri. Menurut Serat Kandha dan Babad Tanah Djawi, penunjukan Pangeran Pekik bukan tanpa pertimbangan: ia adalah bangsawan Surabaya sekaligus keturunan Sunan Ampel. Dari sisi spiritual, kedudukannya dianggap setara, bahkan mungkin lebih tinggi, dibanding Panembahan Giri yang merupakan keturunan dan penerus Sunan Giri.
Pangeran Pekik menyetujui tugas itu setelah berdiskusi intensif dengan Ratu Pandan Sari, yang dalam Babad Tanah Jawi digambarkan dengan unsur dramatik—konon kesepakatan itu terjadi setelah hubungan seksual, simbol dari penguatan ikatan lahir dan batin antara keduanya.Dalam kisah ini, keterlibatan Ratu Pandan Sari menegaskan peran sentral perempuan dalam dinamika kekuasaan Mataram.
Pada akhirnya Pangeran Pekik menerima mandat itu dengan penuh semangat. Raja membekalinya dengan uang 10.000 rial, emas, perak, kain sutra, dan persediaan lainnya. Ratu Pandan Sari pun turut serta, sebagai simbol ikatan dinasti sekaligus jaminan politik. Ini bukan sekadar perlengkapan logistik, tetapi juga alat simbolik bahwa mereka membawa serta kekuasaan dan kemuliaan Mataram.
Ratu Pandan Sari sendiri memainkan peran sentral dalam konsolidasi kekuatan. Ia memerintahkan persiapan pasukan, mengatur perlengkapan, bahkan mengatur barisan dan memotivasi prajurit. Ini mencerminkan peran strategis perempuan dalam politik dan peperangan Jawa abad ke-17, yang meskipun jarang tercatat, namun sangat menentukan dalam medan sejarah.
Pertempuran Pertama: Kegagalan dan Kebangkitan
Pasukan awal dari Mataram berjumlah 1.500 orang yang terdiri dari elite Surabaya. Setiba di Surabaya, Pangeran Pekik mengonsolidasikan kekuatan dan menghimpun 10.000 prajurit. Pasukan besar ini dikomandoi secara strategis dengan mempertimbangkan medan Giri yang berbukit dan memiliki pertahanan spiritual serta militer yang kuat.
Giri juga tidak tinggal diam. Panembahan Giri sudah memperoleh firasat dan mempersiapkan pertahanan. Ia mendapat bantuan dari anak angkatnya, seorang Tionghoa Muslim bernama Endrasena, yang membawa 250 penembak jitu. Kekuatan Giri terdiri dari para santri, khatib, penghulu, serta kelompok religius lain yang bersenjata.
Pertempuran pertama berjalan buruk bagi pihak Mataram. Penembak jitu Endrasena menimbulkan kerugian berat. Malam itu, para punggawa Mataram berkumpul, patah semangat dan ragu. Ratu Pandan Sari tidak tinggal diam. Ia turun langsung ke perkemahan, memarahi para prajurit, dan mengancam akan melaporkan sikap pengecut mereka kepada Raja. Ia membagikan 10.000 rial untuk membangkitkan moral pasukan dan memberi seragam dari kain tekstil mahal kepada 500 kuli angkut yang kemudian dilibatkan sebagai batalyon baru.Dorongan moral ini membangkitkan kembali semangat tempur pasukan.
Pertempuran Kedua: Serangan Terpadu dan Strategi Kemenangan
Baca Juga : Apa Itu Konklaf? Tradisi Sakral dan Tertutup Gereja Katolik untuk Pilih Paus Baru
Keesokan harinya, serangan dilancarkan dari dua arah: tenggara dan barat daya. Taktik ini berhasil memecah konsentrasi Endrasena dan pasukannya. Ratu Pandan Sari sendiri menembakkan tiga meriam sebagai isyarat pertempuran, simbol keterlibatannya dalam komando perang. Endrasena akhirnya tewas dipancung, dan pendeta Giri melarikan diri ke makam ayahandanya untuk bersembunyi.
Serangan kedua ini dirancang dengan strategi militer yang matang. Serat Kandha mencatat serangan dilakukan dari dua arah: tenggara dan barat daya. Ratu Pandan Sari menembakkan meriam sebagai isyarat serangan. Endrasena dan pasukannya terpancing ke satu arah, sementara serangan utama diarahkan dari sisi lain. Pertahanan Giri akhirnya runtuh. Endrasena tewas dipancung.
Panembahan Giri melarikan diri ke rumahnya, lalu ke makam ayahnya untuk bersembunyi. Namun, akhirnya ia ditangkap. Pangeran Pekik, meskipun mendapat desakan dari prajurit untuk membunuhnya, menolak. "Saya tidak ingin membunuh seorang pendeta. Kelak pada waktunya cucu sayalah yang berhak menghancurkan Giri dan membunuh Pandita," ucapnya, seperti dicatat oleh Meinsma (1874: 140).
Pasangan Pangeran Pekik dan Ratu Pandan Sari kemudian mendaki Gunung Giri. Di sana, mereka bertemu dengan para istri pendeta yang menangis. Pangeran Pekik memerintahkan agar Pendeta Giri keluar dari persembunyiannya. Dengan tandu, sang pendeta dibawa ke Mataram.
Simbolisme Kekuasaan dan Kekalahan Spiritual
Giri takluk. Panembahan Giri dibawa dengan tandu ke Mataram. Dalam perjalanan, mereka singgah di Surabaya, tempat asal Pangeran Pekik. Di sana pun, ia menjaga agar tidak ada pembunuhan atas panembahan. Setiba di Mataram, rampasan perang tidak diambil oleh Raja, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada Pangeran Pekik. Ini adalah bentuk pengakuan atas peran dan loyalitasnya.
Giri Kedaton, setelah sekian abad menjadi pusat spiritual Islam, kini berada di bawah kekuasaan Mataram. Namun, yang lebih penting dari sekadar kekuasaan adalah pesan simbolik yang disampaikan: otoritas spiritual harus tunduk kepada otoritas politik Mataram. Sultan Agung melalui tangan Pangeran Pekik, telah menegaskan bahwa kesatuan Jawa tak hanya bersifat fisik-teritorial, tetapi juga ideologis.
Salah satu aspek menarik dari historiografi ini adalah kehadiran pasukan Tionghoa Muslim. Endrasena, komandan mereka, adalah figur yang mengisyaratkan kuatnya jaringan Islamisasi dan perdagangan di kawasan pesisir utara Jawa. Seperti dicatat oleh Ma Huan dan N.J. Krom, sejak abad ke-15, wilayah seperti Gresik, Tuban, dan Surabaya memang telah dihuni oleh komunitas Tionghoa Muslim. Kehadiran mereka dalam pertempuran ini menunjukkan peran signifikan kelompok Tionghoa dalam sejarah militer dan spiritual Jawa.
Giri bukanlah kerajaan politik dalam arti konvensional, tetapi memiliki peran strategis sebagai pusat dakwah dan otoritas keagamaan yang bersifat independen. Sejak era Sunan Giri hingga keturunannya, Giri berperan sebagai lembaga imam besar bagi wilayah-wilayah Islam di Jawa Timur, termasuk menjadi tempat legitimasi politik bagi banyak penguasa lokal. Kekuatan spiritual dan kultural ini menjadi batu sandungan bagi ekspansi absolutistik ala Sultan Agung, yang menginginkan sentralisasi kekuasaan dan penyatuan ideologi religius ke dalam kontrol keraton.
Dengan jatuhnya Giri pada pertengahan 1636, tuntaslah satu proyek besar Sultan Agung: membungkam rivalitas moral yang bersumber dari pusat otoritas religius non-keraton. Valentijn (1724–1726, Oud en Nieuw Oost-Indiën, IV:120) bahkan mencatat tentang “penaklukan Giri Gajah” berikut legenda-legenda yang berkembang, memperlihatkan bagaimana ingatan kolektif masyarakat Jawa merekam peristiwa ini dengan nada sakral sekaligus traumatis.
Penaklukan Giri oleh Pangeran Pekik merupakan episode penting dalam historiografi Jawa. Ia mencerminkan transisi dari pluralisme spiritual ke dalam dominasi kekuasaan pusat. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana sejarah bukan hanya diciptakan oleh senjata, tetapi juga oleh simbolisme, keturunan, dan narasi.
Historiografi babad memberikan gambaran kompleks, di mana unsur politik, spiritual, seksual, dan gender bersatu dalam satu narasi. Melalui peran aktif Ratu Pandan Sari, keterlibatan komunitas Cina Islam, dan simbolisme leluhur antara Sunan Giri dan Sunan Ampel, penaklukan Giri menjadi lebih dari sekadar perang: ia adalah perjuangan memperebutkan jiwa Jawa.
Dengan demikian, episode ini bukan hanya kemenangan Pangeran Pekik, tetapi juga kemenangan atas waktu, karena hingga kini, narasinya tetap hidup dalam memori budaya Jawa – sebagai bagian dari wacana kekuasaan dan ketundukan, iman dan ambisi, sejarah dan legenda.