free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Penguasa yang Tak Mau Patuh: Politik, Simbol, dan Perlawanan Halus Brotodiningrat

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Bupati Madiun R.M.A. Brotodiningrat bersitegang dengan seorang pejabat Belanda di alun-alun kabupaten. Dalam sorot mata dan telunjuk yang tajam, tergambar perlawanan aristokrat Jawa terhadap tekanan kolonial pada awal abad ke-20. Ketegangan ini mencerminkan dinamika kekuasaan lokal dan dominasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda di wilayah Mataraman. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Peristiwa Brotodiningrat merupakan salah satu catatan penting dalam sejarah lokal Jawa yang menggambarkan kompleksitas relasi kekuasaan antara aristokrasi pribumi dengan administrasi kolonial Belanda pada penghujung abad ke-19.

Dalam kerangka historiografi kolonial, narasi tentang R.M.A. Brotodiningrat, Bupati Madiun sejak 1887, menjadi refleksi dari pergeseran paradigma kekuasaan, transformasi birokrasi kolonial, serta perlawanan simbolik kaum priayi terhadap dominasi kolonial. Tokoh ini bukan sekadar seorang pejabat lokal, tetapi simbol ambivalensi budaya dan politik Jawa dalam struktur kolonial yang memaksa aristokrat Jawa untuk bernegosiasi antara tradisi dan modernitas yang dikendalikan oleh kekuasaan Eropa.

Baca Juga : Kenduri Rupa: Rayakan Ratusan Seni Rupa Seniman Kota Batu Lintas Generasi

Historiografi Singkat Asal Usul R.M.A. Brotodiningrat: Dari Darah Sumoroto ke Birokrasi Madiun

Raden Mas Adipati Brotodiningrat lahir pada 1849 dari keluarga bangsawan priyayi tinggi. Ayahnya, R.T. Brotodirjo, adalah Bupati Sumoroto, sebuah kabupaten tua di bawah kedaulatan Surakarta, sementara ibunya adalah putri Pangeran Sinduseno, cucu Sunan Paku Buwana V. Garis keturunan ganda ini menjadikannya pewaris darah biru sekaligus simbol kontinuitas kekuasaan lokal Jawa.

Namun, takdirnya berubah drastis saat sang ayah wafat pada 1855. Di usia enam tahun, Brotodiningrat terlalu muda untuk memangku jabatan bupati. Pemerintah kolonial menolak suksesi langsung dan menempatkan pejabat sementara, sementara sang ibu membawanya ke Keraton Surakarta untuk memperoleh pendidikan elite. Di lingkungan istana, ia dibentuk oleh etika priyayi klasik, lalu disekolahkan ke lembaga Belanda, termasuk Sekolah Pamong Pribumi—pijakan awal karier administratifnya.

Tahun 1866, ia memulai magang sebagai mantri negeri di Madiun. Dalam tempo cepat, naik menjadi Wedana Magetan (1867), lalu diangkat sebagai Bupati Sumoroto pada usia 19 tahun. Namun, gelombang reformasi kolonial menghapus kabupaten itu pada 1877. Brotodiningrat dipindahkan ke Ngawi, lalu ke Madiun pada 1885—tanda bahwa kekuasaan tidak lagi bersandar pada genealogis, tapi prestasi administratif.

Di Madiun, Brotodiningrat menjelma sebagai representasi baru seorang bupati. Ia mendapat dukungan Residen Mullemeister, tokoh reformis yang kelak menjadi arsitek birokrasi bumiputra. Gelarnya ditingkatkan menjadi Adipati dan ia menerima payung emas, simbol tertinggi otoritas lokal. Namun di sisi lain, ia juga dikenal keras kepala dan berselisih tajam dengan Residen Donnerls—menggambarkan ketegangan antara priyayi tradisional dan sistem kolonial modern.

Kisah hidup Brotodiningrat mencerminkan transisi besar abad ke-19: dari bupati warisan menjadi pejabat karier. Ia menapaki struktur kolonial bukan sekadar karena darah, tetapi karena pendidikan, etos kerja, dan adaptasi politik. Sosoknya berdiri di simpang dua dunia: pewaris budaya Jawa dan pelayan administratif Hindia Belanda. Dialah wajah dari priyayi baru yang menjembatani kekuasaan tradisional dengan modernitas kolonial.

Brotodiningrat: Sang Administrator dan Aristokrat

R.M.A. Brotodiningrat diangkat sebagai Bupati Madiun pada 1887. Dalam pandangan pemerintahan Hindia Belanda, ia dikenal sebagai administrator yang efisien dan teliti dalam pengelolaan keuangan kabupaten. Namun, di balik kemampuan administratifnya, ia juga dikenal sebagai tokoh yang tinggi hati, keras kepala, dan cenderung menantang otoritas kolonial. Penempatan Brotodiningrat di Madiun justru menjadi ujian relasi antara kekuasaan lokal Jawa dan kontrol kolonial Belanda.

Sebagai bangsawan Jawa tulen, bahkan menantu Paku Alam VI, Brotodiningrat memahami dengan baik seluk-beluk tatanan kekuasaan tradisional Jawa. Ia memproyeksikan diri sebagai pemimpin yang kuat dan kadang bertindak seperti raja lokal. Di hadapan pejabat Eropa, ia mengenakan kostum Jawa kerajaan, sementara di lingkungan istana, ia tampil sebagai administrator modern dengan busana Eropa lengkap. Sejarawan Snouck Hurgronje mencatat dengan sinis bahwa Brotodiningrat adalah tipikal manusia "marjinal" dalam masyarakat kolonial: bangsawan Jawa yang terhimpit antara kekuasaan tradisional dan modernitas kolonial.

Relasi Tegang: Bupati vs Residen

Dalam dua dasawarsa masa jabatannya, Brotodiningrat harus berurusan dengan enam residen. Namun, konflik paling menonjol terjadi ketika J.J. Donner menjabat Residen Madiun (1897–1902). Donner, seorang pejabat kolonial berpengalaman yang pernah menggulingkan dinasti Cakraningrat di Madura, membawa gaya kepemimpinan yang keras dan tegas. Ia mendapat tugas khusus dari Batavia untuk mengendalikan sang bupati yang dianggap problematik.

Ketegangan terjadi segera setelah kedatangan Donner. Ia mewarisi konflik dari residen sebelumnya, Van Ravenswaay (1896–1897), yang hubungannya dengan sang bupati memburuk akibat perlakuan tidak sopan dari Brotodiningrat. Donner merasa tersinggung ketika dalam suatu resepsi, Brotodiningrat secara terbuka memuji residen sebelumnya, Mullemeister, dan mengkritik Donner secara tidak langsung.

Perseteruan pribadi bereskalasi menjadi konflik administratif. Donner mulai mengintervensi kebijakan-kebijakan Brotodiningrat, termasuk memindahkan paman sang bupati dari jabatan strategis. Ketegangan mencapai puncaknya pada perayaan naik takhta Ratu Wilhelmina tahun 1898. Isu utama ialah siapa yang akan mengatur pesta dan bagaimana simbolisme kekuasaan dimainkan dalam perayaan tersebut.

Perayaan Takhta dan Politik Simbolik

Dalam perayaan ini, Brotodiningrat mengusulkan untuk menembakkan salvo meriam sebanyak 21 kali dengan biaya dari kas pribadinya. Namun, Donner menggagalkan rencana tersebut dan menggunakan tentara kolonial dengan meriam milik sang bupati. Ini memperlihatkan bagaimana simbol kekuasaan lokal dilucuti dan dikendalikan oleh tangan kolonial.

Brotodiningrat juga berniat memimpin salat di masjid besar Madiun pada hari perayaan, sebuah langkah yang dilihat Batavia sebagai bentuk politisasi agama dan potensi pembangkangan terbuka. Donner segera melarangnya secara pribadi, tanpa menyebutkan tekanan dari Batavia, untuk menghindari polemik campur tangan kolonial dalam urusan keagamaan. Sang bupati marah, tetapi akhirnya hadir di gereja bersama para priayi, sebuah kompromi simbolik yang menunjukkan kompleksitas posisi sang bupati.

Retorika Kekuasaan dan Gagalnya Otoritas Kolonial

Baca Juga : Peringati Hari Kartini, Klinik UB Gelar Talkshow Soroti Gap Perlindungan Perempuan

Dalam diskursus pribumi, Brotodiningrat memandang posisi residen sebagai nabi dan dirinya sebagai raja, yang memberi perintah kepada para pejabat lokal, sementara residen hanya mengawasi dan memberi nasihat. Pandangan ini menggemakan konsep kekuasaan Jawa pra-kolonial, di mana kekuasaan lokal memiliki legitimasi spiritual dan simbolik yang lebih tinggi daripada penguasa administratif asing.

Namun, struktur kolonial tidak memberi ruang bagi otonomi semacam itu. Ketegangan yang terus berlangsung antara dua tokoh ini menggambarkan upaya keras administrasi kolonial untuk mengontrol elite lokal, sekaligus resistensi simbolik dan politik dari elite tersebut.

Pada tahun 1900, menjelang tiga dekade jabatan Brotodiningrat, Donner mengusulkan pemberian penghargaan kepada sang bupati untuk meredam ketegangan dan memulihkan relasi simbolik antara pemerintah kolonial dan aristokrasi lokal. Usulan itu mencakup penambahan gelar kehormatan atau pemberian bintang tanda jasa. Namun, upaya ini tidak cukup untuk menghapus sejarah panjang konflik dan ketegangan antara dua sistem kekuasaan yang tak pernah benar-benar bisa disatukan.

Tirai, Taplak, dan Takhta Priayi: Historiografi Akhir Kasus Brotodiningrat dalam Kemelut Madiun 1899–1901

Pada malam 6 Oktober 1899, rumah Residen Donner di Madiun mengalami pencurian aneh: tirai dan taplak raib. Bukan sekadar kehilangan benda sepele, Donner menafsirkan insiden ini sebagai penghinaan simbolik dan pesan politik yang ditujukan padanya, terutama dari kalangan elite bumiputra. Kecurigaannya tertuju pada Bupati Madiun, R.M.A. Brotodiningrat.

Pencurian-pencurian serupa menyusul, memicu atmosfer kecurigaan dan tuduhan terselubung. Brotodiningrat menawarkan langkah administratif, tetapi Donner menolaknya dan menuduh sang bupati bermain dua muka. Saat seorang mantan narapidana, Soeradi, tertangkap bersama barang curian, Brotodiningrat menyatakan kasus selesai. Namun, Donner yakin ini hanya rekayasa.

Penyelidikan meluas ke jaringan priayi lokal, mencuatkan nama-nama pejabat penting, informan bayaran, dan bahkan tokoh spiritual. Donner menuding Brotodiningrat menjalankan "negara dalam negara". Laporan kerasnya dikirim ke Batavia, dan sang bupati diasingkan ke Padang.

Meski diwarnai pembelaan dari beberapa pejabat tinggi Hindia Belanda, nasib Brotodiningrat ditentukan secara politis. Ia dipensiunkan dengan hormat dan dilarang kembali ke Madiun. Ia mengakhiri kariernya di Yogyakarta, sebagai simbol aristokrat yang tumbang bukan karena korupsi, melainkan intrik dan simbolisme kolonial.

Kasus ini menandai akhir dari dominasi priayi tradisional di bawah sistem kolonial, serta menjadi cermin benturan antara birokrasi rasional Hindia Belanda dan kekuasaan simbolik ala Jawa. Meski kalah secara administratif, Brotodiningrat tetap dikenang di kalangan bumiputra sebagai lambang perlawanan halus terhadap kekuasaan asing.

Historiografi Perlawanan Simbolik

Peristiwa Brotodiningrat adalah refleksi dari sejarah kekuasaan yang dibalut ketegangan simbolik dan kultural antara elite pribumi dan administrasi kolonial. Dalam perspektif historiografi, kisah ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan tidak hanya dipertentangkan melalui senjata atau pemberontakan, tetapi juga dalam simbol, protokol, dan kontrol administratif. Sosok Brotodiningrat berdiri di persimpangan sejarah: seorang aristokrat Jawa yang menolak tunduk secara total pada sistem kolonial, tetapi juga tidak memiliki kekuatan untuk sepenuhnya membebaskan diri darinya.

Residen Donner, dengan laporan-laporannya yang tajam dan penuh kecurigaan, berhasil menggulingkan sang bupati. Namun kemenangan itu bersifat administratif, bukan kultural. Sebab dalam ingatan kolektif bumiputra, Brotodiningrat tetap dihormati sebagai aristokrat yang berdiri tegak di hadapan tekanan kolonial, meski akhirnya harus mengakhiri kariernya dalam sunyi pengasingan.

Peristiwa ini menjadi elegi akhir bagi priayi birokrat era lama—simbol senjakala kekuasaan tradisional di bawah bayang-bayang modernitas kolonial. Ia menandai berakhirnya satu babak sejarah, sekaligus membuka jalan bagi bentuk-bentuk perlawanan baru yang lebih sistemik dan ideologis di awal abad ke-20.

Narasi ini bukan hanya tentang seorang bupati yang membangkang, melainkan tentang struktur kolonial yang membelenggu elite lokal dalam sistem dualitas kekuasaan. Historiografi Peristiwa Brotodiningrat menjadi cermin dinamika politik kolonial yang rumit, di mana kekuasaan, kehormatan, dan simbolisme menjadi medan pertempuran yang tak kasat mata namun penuh implikasi politik dan budaya dalam sejarah Jawa akhir abad ke-19.