free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Ramalan di Makam Butuh: Wahyu Pangeran Pekik dan Kelahiran Raja Mataram dari Darah Surabaya

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Pangeran Pekik saat menyampaikan wahyu yang diterimanya di Makam Butuh—makam Sultan Hadiwijaya—kepada sang juru kunci. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di tengah hamparan pedesaan Jawa yang sunyi, di sebuah sudut bernama Butuh dekat Pajang, berdiri sebuah makam yang luput dari hiruk-pikuk sejarah mainstream Jawa: Makam Butuh. Di sinilah, menurut babad dan tradisi lisan, berlangsung suatu peristiwa spiritual yang akan membentuk wajah politik Jawa selama hampir satu abad. 

Seorang bangsawan dari Surabaya, Pangeran Pekik, bermalam di makam keramat Sultan Pajang dan menerima sebuah “wahyu keraton” — ramalan bahwa cucunya akan menjadi raja Jawa, memerintah dari sebuah istana di sebelah barat Pajang. Ramalan ini bukan sekadar penglihatan gaib; ia menjelma menjadi strategi politik, persekutuan dinasti, dan konsolidasi kekuasaan yang pada akhirnya melahirkan Sultan Amangkurat I dari Dinasti Mataram-Surabaya.

Baca Juga : Penyelesaian Konflik Apartemen Bale Hinggil, Wali Kota Eri Minta Fasilitas Dasar Tetap Fungsi

Artikel ini menyajikan narasi sejarah dokumenter dengan pendekatan historiografi mendalam, mengkaji sumber-sumber primer seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, laporan Belanda, hingga Daghregister VOC dan berbagai sumber lain, serta menelusuri jejak Pangeran Pekik, tokoh kunci dalam proses integrasi dua kekuatan besar Jawa abad ke-17: Mataram dan Surabaya.

Dari Musuh Menjadi Sekutu: Diplomasi Sultan Agung dan Pangeran Pekik

Antara tahun 1625 hingga 1628, Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung melancarkan ekspansi besar-besaran ke wilayah pesisir utara Jawa. Kota-kota dagang seperti Surabaya, Gresik, dan Tuban—yang sebelumnya merupakan bagian dari konfederasi perdagangan Islam pesisir—satu per satu jatuh ke tangan pasukan Mataram. Namun kemenangan militer tidak serta-merta menyelesaikan soal politik. Surabaya, sebagai pusat kekuasaan pesisir terakhir, telah runtuh, namun sisa bangsawan dan elite politiknya masih menyisakan potensi gejolak.

Pangeran Pekik, putra dari Raja terakhir Surabaya yang telah wafat, menjadi figur penting dalam penyatuan kembali sisa aristokrasi Surabaya ke dalam struktur kekuasaan Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, hingga catatan Meinsma, kita memperoleh gambaran bahwa Sultan Agung tidak serta-merta memperlakukan Pangeran Pekik sebagai tawanan perang, melainkan sebagai sekutu strategis.

Kisah bermula usai wafatnya Raja Surabaya Panembahan Jayalengkara— ayahanda Pangeran Pekik — yang selama dua dekade menjadi batu sandungan bagi ekspansi Mataram ke wilayah pesisir utara. Setelah serangkaian konflik militer antara Surabaya dan Mataram berakhir dalam kemenangan telak Sultan Agung pada 1625, terjadi kekosongan kekuasaan di Surabaya. Sultan Agung melihat peluang strategis: daripada menghancurkan sepenuhnya dinasti penguasa Surabaya, ia memilih mengintegrasikannya ke dalam struktur kekuasaan Mataram.

Maka Pangeran Pekik, pewaris darah Raden Rahmat (Sunan Ampel), dipanggil menghadap Sultan di Plered. Ia menempuh perjalanan panjang dari Surabaya ke Mataram, dikawal oleh Tumenggung Sepanjang — sosok yang kemudian menjadi patih Surabaya atas nama Mataram. Perjalanan ini bukan sekadar ekspedisi diplomatik, melainkan ritual politik dan spiritual yang akan mengubah nasib tanah Jawa.

Wahyu di Makam Butuh: Cikal Bakal Legitimasi Dinasti Amangkurat

Dalam perjalanan menuju Mataram, usai penaklukan Surabaya pada 1625, Pangeran Pekik singgah dan bermalam di Butuh, sebuah situs suci di dekat Pajang yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Sultan Hadiwijaya. Di tempat keramat itu, menurut Serat Kandha (hlm. 831–832) dan laporan Meinsma (1874:137), Pangeran Pekik menerima suatu penglihatan spiritual—wahyu keprabon. Dalam penglihatan itu dinubuatkan bahwa kelak salah seorang cucunya akan menjadi raja di sebuah negeri baru bernama Wanakerta, yang terletak di sebelah barat Pajang. Negeri itu akan dipenuhi rakyat dari berbagai suku bangsa, dan raja barunya akan menyandang gelar Amangkurat.

Terbangun dalam keadaan terkejut, Pangeran Pekik segera menyampaikan wahyu tersebut kepada juru kunci makam yang menyambutnya dengan rasa syukur dan penuh takzim. Baginya, ini bukan sekadar kabar baik pribadi, melainkan pertanda langit mengenai masa depan Jawa. Dalam bingkai kebudayaan Jawa abad ke-17, wahyu semacam ini—wahyu keprabon—tidak hanya dimaknai sebagai pengalaman mistik individual, tetapi juga sebagai legitimasi spiritual bagi munculnya struktur kekuasaan baru.

Sultan Agung, penguasa Mataram kala itu, tampaknya memahami nilai politis dari pengalaman religius ini. Ia melihatnya bukan hanya sebagai anugerah bagi Pangeran Pekik semata, melainkan sebagai peluang untuk membentuk fondasi dinasti baru: sebuah penyatuan antara darah wali pesisir dari Surabaya dan darah raja pedalaman dari Mataram. Maka dari itu, pernikahan politik antara Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari, adik Sultan Agung, tak sekadar simbol rekonsiliasi dua kekuatan regional, tetapi juga langkah strategis membangun silsilah raja masa depan yang sah secara darah dan spiritual.

Dalam historiografi Jawa, narasi semacam ini memperlihatkan cara mitos dan strategi politik berjalan seiring. Wahyu bukan hanya ranah spiritual, tetapi instrumen hegemoni kultural yang memperkuat kekuasaan dan memperhalus transisi antar dinasti. Munculnya Amangkurat II—cucu Pangeran Pekik—yang kemudian mendirikan Keraton Kartasura di Wanakerta pada 1680, membuktikan validitas politik dari nubuat tersebut. Maka, kisah malam di Butuh tak dapat diremehkan. Ia bukan dongeng, melainkan fragmen historis yang memperlihatkan bagaimana Jawa menulis takdirnya sendiri dengan tinta wahyu dan darah bangsawan.

Pertemuan Agung dan Kemenangan Diplomatik Mataram

Setibanya di Mataram, Pangeran Pekik tidak diperlakukan sebagai bangsawan musuh. Ia dijemput secara sederhana, hanya oleh dua gandek, sesuai pendapat Pangeran Purbaya yang menekankan posisi hierarkis Mataram di atas Surabaya. Namun, penyambutan Sultan Agung ternyata melampaui ekspektasi. Sang Raja menyambutnya dengan wajah ramah dan penuh makna, dan bahkan menggunakan kiasan puitis yang menempatkan Pangeran Pekik sebagai sosok yang tak jauh beda dari dirinya: laksana saudara kembar, seperti matahari dan bulan, seperti danau dan air mancur.

Dalam Serat Kandha disebutkan bahwa Sultan Agung berkata, “Saya kembalikan Surabaya kepadamu... Tinggallah tenang di Mataram. Anggaplah Mataram dan Surabaya sama bagimu.” Lebih dari sekadar penerimaan, ini adalah pengakuan kultural dan politik. Pangeran Pekik diberikan kadipaten di wilayah Mataram, dan tak lama kemudian, Sultan Agung menikahkan adiknya, Ratu Pandan Sari (juga dikenal sebagai Raden Ajeng Walik), dengan sang pangeran Surabaya.

Sebaliknya, Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung—yang kelak bergelar Amangkurat I—menikah dengan Ratu Mas Surabaya, putri Pangeran Pekik. Pernikahan ini bukan sekadar jembatan rekonsiliasi, tetapi juga strategi pewarisan kekuasaan. Dari ikatan ini lahirlah garis keturunan yang kelak menjadi penguasa Mataram. Sejarah mencatat bahwa Pangeran Adipati Anom—yang kemudian naik takhta sebagai Sunan Amangkurat II—merupakan hasil penyatuan dua darah dinasti besar: Mataram dan Surabaya.

Wahyu Butuh dan Dinasti Amangkurat

Baca Juga : Dukung Penuh Kegiatan Sub Garnisun, Bupati Situbondo: Sudah Kami Siapkan Kantor

Wahyu yang diterima Pangeran Pekik di Butuh bukanlah simbolisme kosong. Ia menjelma menjadi naskah takdir yang kemudian dijalani oleh cucunya, yang pada akhir hayat Sultan Agung disebut-sebut sebagai pewaris sah tanah Jawa. Dalam laporan resmi VOC bertanggal 30 Maret 1677, Kiai Jagapati—pejabat tinggi Keraton Plered—menyampaikan kepada Laksamana Cornelis Speelman bahwa Sultan Agung telah mewasiatkan agar Raden Mas Rahmat (Pangeran Adipati Anom) menjadi raja Mataram di masa depan.

Dari pernikahannya dengan putri Pangeran Pekik, Raden Mas Sayidin dikaruniai seorang putra yang diberi nama Raden Mas Rahmat—nama yang menggemakan sosok agung Sunan Ampel. Kelak, putra ini akan naik takhta sebagai Raja Mataram berikutnya dengan gelar Amangkurat II.

Pernyataan Kiai Jagapati sangat tegas: “Sultan tua mengatakan dan menganjurkan... tidak ada orang lain kecuali Anom... yang harus memerintah tanah Jawa, karena ia baik dari ibu maupun ayah berketurunan dinasti kerajaan.” Ini merupakan pengakuan terbuka bahwa garis darah Pangeran Pekik—keturunan Raden Rahmat (Sunan Ampel)—telah menyatu dalam tubuh Dinasti Mataram melalui sebuah perkawinan yang bersifat politis sekaligus spiritual.

Ketika Mataram menghadapi pemberontakan Trunajaya dan keraton Plered dalam keadaan genting, legitimasi genealogis inilah yang menjadi penyangga kekuasaan. Sunan Amangkurat I menyerahkan tampuk kekuasaan kepada anak-anaknya. Namun, dalam kerusuhan dan perebutan kekuasaan antar saudara, hanya Adipati Anom yang memiliki legitimasi penuh, karena merupakan anak dari putri Surabaya dan cucu dari Pangeran Pekik.

Historiografi, Genealogi, dan Simbolisme Jawa

Dalam pendekatan historiografi Jawa, peristiwa-peristiwa yang mengandung muatan spiritual seperti “wahyu keraton” atau “pertemuan di makam keramat” tidak dapat diabaikan begitu saja. Ia adalah instrumen kultural untuk mengikat legitimasi politik dengan semesta simbolik rakyat Jawa. Babad, dalam hal ini, bukan semata produk sastra, tetapi juga naskah konstitusi spiritual.

Makam Butuh, tempat Pangeran Pekik menerima wahyu, menjadi semacam altar kenegaraan dalam lanskap sakral tanah Jawa. Ia tidak hanya menjadi titik transisi antara Surabaya dan Mataram, tetapi juga menjadi poros sejarah antara perang dan perdamaian, antara keturunan Ampel dan keturunan Panembahan Senapati.

Persekutuan antara Surabaya dan Mataram ini kelak membentuk dinasti panjang Amangkurat, yang akan membawa kerajaan ke era baru, penuh kontradiksi: dari kemegahan hingga kemunduran, dari kejayaan hingga pembantaian internal.

Pangeran Pekik, Leluhur Sang Raja

Ketika kita menapaki kembali langkah Pangeran Pekik dari Surabaya menuju Mataram, dan mengingat malam itu di Butuh, kita sesungguhnya sedang menyusuri jalan sunyi menuju lahirnya sebuah dinasti. Dari seorang pangeran yang kalah perang, ia menjadi leluhur dari para raja. Ramalannya di makam Butuh bukan sekadar simbol, melainkan naskah takdir politik dan spiritual yang kemudian dijalani oleh cucunya.

Wahyu yang diterima Pangeran Pekik menjadi semacam mandat ilahiah yang melegitimasi hadirnya raja-raja baru Mataram, dimulai dari Amangkurat II. Maka, antara makam Butuh dan Keraton Wanakerta (yang kemudian menjadi Kartasura), terbentang garis takdir yang menghubungkan langit, tanah, dan kuasa. Sebuah warisan dari seorang pangeran yang dalam kekalahannya, menanam benih kekuasaan bagi masa depan.

Ramalan yang diterima Pangeran Pekik di Makam Butuh bukan sekadar bisikan mistis masa silam. Ia menjelma menjadi nubuat yang perlahan mewujud dalam lembar-lembar sejarah. Tatkala Dinasti Mataram dilanda prahara besar—pemberontakan Trunajaya yang mengguncang hingga ke jantung Keraton Plered—takhta pun berpindah ke pundak Raden Mas Rahmat. Ia, yang sejak dalam buaian telah diramalkan sebagai raja tanah Jawa, naik takhta dengan gelar Amangkurat II.

Dan sejarah kembali menautkan benang-benangnya: Amangkurat II memutuskan membangun pusat kekuasaan baru, meninggalkan Plered yang telah porak-poranda, menuju hutan belantara Wanakerta. Di sanalah ia mendirikan keraton baru—Kartasura—di tanah yang sarat makna: bekas pusat Keraton Pajang, warisan Sultan Hadiwijaya, leluhur spiritual dan politis Dinasti Mataram.

Sejarah dan spiritualitas saling mengamini. Pangeran Pekik menerima wahyu keraton di makam Sultan Hadiwijaya, dan cucunya—sang pemegang wahyu—membangun kembali kerajaan di tanah yang dahulu menjadi pusat kekuasaan sang raja Pajang.Maka lengkaplah lingkaran takdir itu: antara yang gaib dan yang kasatmata, antara leluhur dan pewaris, antara kematian dan kelahiran kembali. Mataram bangkit dari puing-puing, membawa serta pesan gaib yang telah lama menunggu untuk diwujudkan. Sebuah dinasti tidak hanya lahir dari darah dan pedang, tetapi juga dari doa yang terkabul dan janji yang ditepati.