free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Jembatan Gladak Perak: Simbol Modernisasi Lumajang Era Kolonial di Bawah Kepemimpinan RAA Kartoadiredjo

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Makam Raden Adipati Ario Kartoadiredjo di TPU Jogoyudan, Lumajangā€”sederhana dan tersembunyi di antara nisan-nisan lainnya. Di sinilah bersemayam tokoh pribumi visioner, bupati pertama Lumajang yang meninggalkan jejak panjang dalam sejarah pembangunan daerahnya. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pembangunan Jembatan Gladak Perak tidak hanya menjadi bagian dari upaya modernisasi wilayah Lumajang pada masa kolonial, tetapi juga sebagai manifestasi dari kebijakan yang lebih luas dalam strategi penguasaan ekonomi dan politik Belanda di Nusantara. Sejak diberlakukannya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830, pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin gencar mengembangkan infrastruktur yang dapat menunjang eksploitasi ekonomi di wilayah-wilayah penghasil komoditas penting.

Pada awal abad ke-20, kebijakan politik etis yang meliputi pengembangan pendidikan, irigasi, dan infrastruktur transportasi mulai diterapkan oleh pemerintahan kolonial sebagai upaya untuk "membayar utang" moral kepada penduduk pribumi. Namun, di balik alasan-alasan moral tersebut, terdapat kepentingan ekonomi yang jauh lebih besar.

Baca Juga : Lebaran Ketupat 2025 Jatuh Tanggal Berapa? Ini Sejarah dan Maknanya

Pembangunan jalan, jembatan, dan jalur kereta api bertujuan utama untuk memperlancar distribusi hasil bumi dari pedalaman ke pelabuhan-pelabuhan ekspor. Jembatan Gladak Perak menjadi salah satu proyek yang dibangun dengan motivasi serupa.

Dalam catatan kolonial, disebutkan bahwa sejak tahun 1920, panjang jalan di wilayah Lumajang telah diperpanjang dari sekitar 200 km menjadi 300 km. Pembangunan infrastruktur ini, termasuk Jembatan Gladak Perak, difokuskan untuk menghubungkan berbagai wilayah perkebunan serta mengintegrasikan wilayah pedalaman dengan pusat administrasi kolonial. 

Pembangunan jalan Pasirian-Candipuro dan lingkar utara serta timur dilakukan untuk memfasilitasi lalu lintas kendaraan sepanjang 12 km. Selain itu, pembangunan jalan desa dan irigasi seperti Gesang-Kertosari-Besuksat sepanjang 15 km memperlihatkan bagaimana infrastruktur di wilayah Lumajang dibentuk untuk kepentingan kolonial.

RAA Kartoadiredjo dan Proyek Modernisasi Lumajang

Raden Adipati Ario Kartoadiredjo merupakan figur yang melegenda dalam sejarah Kabupaten Lumajang. Lahir pada 13 April 1874 di Bojonegoro, ia merupakan anak dari keluarga pejabat pemerintah kolonial. Ayahnya menjabat sebagai Asisten Wedono di Kabupaten Rembang, sementara ibunya memiliki garis keturunan yang erat dengan beberapa pejabat penting di Semarang, Cirebon, dan Banyuwangi. Salah satu kerabat ibunya, R.T. Moertadjab Sosrodiningrat, bahkan menjabat sebagai Bupati Banyuwangi. 

Sejak usia 20 tahun, Kartoadiredjo meniti karir dalam pemerintahan dengan tekun dan disiplin. Ia memulai tugasnya sebagai juru tulis Wedono Gending pada tahun 1895. Karirnya terus menanjak hingga menjadi Patih Zelfstandig Lumajang pada tahun 1923, dan akhirnya diangkat menjadi Bupati Lumajang pada 1 Juli 1928. Ia memegang jabatan ini selama dua belas tahun hingga wafatnya pada 20 Februari 1940.

Pada masa pemerintahannya, Kartoadiredjo terkenal dengan berbagai terobosan dan pembangunan yang ia galakkan di wilayah Lumajang. Salah satu proyek paling ikonis adalah pembangunan Jembatan Gladak Perak yang berada di wilayah Pronojiwo, Lumajang, yang menghubungkan daerah Pasirian dengan Dampit. Proyek ini bukan hanya sekadar infrastruktur biasa, melainkan sebuah mahakarya yang menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi dan sosial di Lumajang pada masa kolonial Hindia Belanda.

Di bawah kepemimpinan RAA Kartoadiredjo sebagai Bupati Lumajang pada periode 1928ā€“1940, pembangunan infrastruktur mencapai puncaknya. Kartoadiredjo yang dikenal sebagai tokoh administratif yang cakap dan visioner, berhasil membangun fondasi ekonomi Lumajang melalui perbaikan jaringan transportasi. Hal ini bukan hanya ditujukan untuk kepentingan kolonial, tetapi juga demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi.

Kartoadiredjo menyadari bahwa aksesibilitas menjadi kunci utama dalam pengembangan ekonomi lokal. Oleh karena itu, pembangunan Jembatan Gladak Perak dan berbagai jembatan lainnya seperti Mujur dan Kalipancing menjadi proyek strategis yang dapat menghubungkan wilayah penghasil komoditas penting seperti tembakau, kopi, teh, dan kelapa dengan pusat administrasi di Lumajang serta kota-kota besar lainnya.

Keberhasilan Kartoadiredjo dalam mengembangkan jaringan transportasi ini mendapatkan apresiasi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Berbagai penghargaan yang diterimanya, mulai dari Kleine Gouden Ster pada tahun 1925 hingga Groote Gouden Ster pada tahun 1938, menjadi bukti nyata atas dedikasi dan kontribusinya dalam membangun Lumajang. Namun, di balik penghargaan tersebut, terselip kenyataan bahwa proyek-proyek besar tersebut juga berfungsi untuk mengamankan kepentingan ekonomi kolonial.

Pembangunan Jembatan Gladak Perak

Jembatan Gladak Perak dibangun antara tahun 1925 hingga 1940 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pembangunan ini dilakukan di era kepemimpinan Bupati Kartoadiredjo dan selesai menjelang akhir masa jabatannya. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan akses dan mobilitas di wilayah yang kala itu menjadi penghasil berbagai komoditas utama, seperti tembakau dari wilayah Tempeh dan Pasirian, teh dari daerah Gucialit, kopi dari Pasrujambe, kelapa dari Tunjung Rejo, serta kapas dari Klakah dan Pasirian.
 

Pada dekade 1920-an, politik etis yang menjadi kebijakan utama Belanda mulai diterapkan dengan lebih intensif. Pendidikan, irigasi, dan pembangunan infrastruktur menjadi tiga pilar utama yang diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan ekonomi yang muncul akibat eksploitasi panjang oleh kolonialisme. Jembatan Gladak Perak adalah salah satu manifestasi nyata dari politik etis di Lumajang.

Dalam catatan Arsip Nasional Republik Indonesia, proyek pembangunan jembatan ini tidak hanya ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi berupa pengangkutan hasil perkebunan, tetapi juga sebagai jalur penting bagi akses militer Belanda. Hal ini terbukti ketika agresi militer Belanda pada 21 Juli 1947, jembatan ini memainkan peran vital dalam mendukung logistik militer. Pengiriman berbagai kebutuhan pokok dari Lumajang ke berbagai daerah dapat dilakukan dengan lebih cepat berkat adanya jembatan ini.

Baca Juga : Syamsuddin Al-Wasil: Ulama Persia dan Jejaknya dalam Historiografi Era Jayabaya

Secara topografi, Jembatan Gladak Perak dibangun di atas dua bukit yang dipisahkan oleh aliran sungai dari Gunung Semeru. Tantangan geografis ini menjadikan proyek tersebut sebagai sebuah pencapaian teknis yang luar biasa pada masanya. Panjang jalan yang dibangun pada era pemerintahan Kartoadiredjo bertambah dari sekitar 200 kilometer menjadi lebih dari 300 kilometer. Pembangunan jalan ini termasuk jalur Candipuro-Dampit sepanjang 12 kilometer yang kemudian dihubungkan dengan Jembatan Gladak Perak.

Selain sebagai jalur ekonomi, Jembatan Gladak Perak juga berperan dalam memperkuat kekuasaan Belanda di wilayah Lumajang. Infrastruktur yang dibangun oleh kolonial sering kali memiliki motif ganda, yaitu memperlancar distribusi hasil bumi dan mengamankan kontrol politik mereka. Mobilitas yang lebih baik memungkinkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi dan mengendalikan pergerakan penduduk setempat serta memfasilitasi pengiriman pasukan ketika diperlukan.

Pada masa pemerintahan Kartoadiredjo, Lumajang dikenal sebagai salah satu daerah dengan potensi ekonomi yang cukup besar. Pengembangan infrastruktur jalan dan jembatan di wilayah ini tidak lepas dari kepentingan ekonomi kolonial yang ingin memaksimalkan keuntungan dari komoditas seperti tembakau, kopi, teh, dan hasil perkebunan lainnya. Pembangunan Jembatan Gladak Perak juga menjadi simbol bagaimana kekuasaan kolonial menggunakan infrastruktur sebagai alat dominasi ekonomi dan politik.

Namun, bagi penduduk setempat, keberadaan Jembatan Gladak Perak turut memberikan dampak positif berupa peningkatan aksesibilitas dan pergerakan yang lebih lancar antara daerah-daerah yang sebelumnya terisolasi. Jembatan ini menjadi jalur vital yang menghubungkan Lumajang dengan Malang, serta daerah-daerah lain di sekitar Semeru.

Penghargaan dan Akhir Hidup Kartoadiredjo

Kartoadiredjo mendapatkan berbagai penghargaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda atas jasa-jasanya dalam membangun dan mengelola wilayah Lumajang. Pada Agustus 1925, ia dianugerahi penghargaan Kleine Gouden Ster (Bintang Emas Kecil), yang kemudian disusul dengan gelar Aryo pada tahun 1930, Adipati pada tahun 1932, serta simbol kehormatan Songsong Geelen (Payung Kuning) pada tahun 1935. Puncak penghargaan yang diterimanya adalah Groote Gouden Ster (Bintang Emas Besar) pada tahun 1938, saat peringatan sepuluh tahun masa jabatannya sebagai Bupati Lumajang.

Namun, karir cemerlangnya berakhir secara mendadak. Pada pagi hari, 20 Februari 1940, Kartoadiredjo tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal di kantor Bupati Lumajang. Usianya kala itu 65 tahun. Ia dimakamkan di Pakuncen Jogoyudan dengan upacara yang digelar pada 21 Februari 1940. Meskipun telah lama wafat, jejak kepemimpinannya masih terasa kuat terutama melalui warisan infrastruktur yang ia tinggalkan, termasuk Jembatan Gladak Perak yang hingga kini masih berdiri kokoh meskipun sudah mengalami beberapa renovasi dan perbaikan.

Lebaran 2025. Jembatan Gladak Perak dipadati kendaraan pemudik yang mengular sejak pagi. Deru mesin dan suara klakson bersahutan, menembus udara sejuk kawasan Lumajang. Di antara lalu lintas yang ramai, para pengemudi sabar menanti giliran melintas, mata mereka menatap jauh ke depan, berharap segera sampai di kampung halaman.

Tak banyak yang tahu, di tengah hiruk-pikuk arus mudik itu, mereka sedang melintasi warisan seorang tokoh yang pernah berjasa besar bagi Lumajang. Gladak Perak, kini berdiri megah dengan konstruksi modern, menyimpan sejarah yang nyaris terlupakanā€”dibangun pertama kali oleh Raden Adipati Ario Kartoadiredjo, bupati visioner yang mengabdikan hidupnya bagi tanah kelahirannya.

Di Jogoyudan, tubuhnya telah lama terbaring dalam keheningan. Makamnya sederhana, tersembunyi di antara nisan-nisan lain yang membisu. Tak ada penanda istimewa yang mengisyaratkan kebesarannya. Namun bagi mereka yang memahami sejarah, namanya tetap hidupā€”terselip di lembaran masa lalu, ditulis dengan ketekunan, keberanian, dan pengabdian yang tulus.