free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Dendam Pekik, Tahta Mataram: Kebangkitan Raden Mas Rahmat Melawan Amangkurat I

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Raden Mas Rahmat tengah bersekongkol dengan Pangeran Purbaya dalam sebuah pertemuan rahasia di balik tembok keraton. Konspirasi ini menjadi bagian dari pergolakan takhta Mataram pasca wafatnya Sultan Agung.(Foto: Ilustrasi oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Persekongkolan Putra Mahkota Raden Mas Rahmat—kelak Amangkurat II—dengan Pangeran Purbaya merupakan salah satu babak paling gelap dalam sejarah internal Dinasti Mataram Islam abad ke-17. Sejarah ini bukan sekadar riwayat perseteruan antara ayah dan anak, melainkan intrik kekuasaan yang berpangkal pada luka lama, dendam darah, dan ambisi membara di balik tembok keraton yang makin retak oleh krisis legitimasi.

Wafatnya Pangeran Pekik—mertua Sunan Amangkurat I—pada awal 1659 menjadi awal dari kemelut panjang yang mengoyak stabilitas politik Mataram. Berbagai sumber sezaman, seperti Daghregister, catatan Valentijn, serta laporan Evert Michielsen dan David Luton, memberikan gambaran betapa keraton pada dekade 1660-an menjadi arena penuh kecurigaan, racun, dan pengkhianatan.

Kelahiran dan Garis Darah Raden Mas Rahmat

Baca Juga : Sultan Murad IV dan Kisah Wali Allah yang Tersembunyi di Balik Miras dan Pelacur

Raden Mas Rahmat lahir dari Sunan Amangkurat I dan Kanjeng Ratu Pangayun (Ratu Ageng), putri Pangeran Pekik dari kerajaan Surabaya. Penyatuan dua dinasti besar ini (Mataram dan Surabaya) bertujuan mengonsolidasikan kekuasaan, tetapi kehilangan ibunya sejak dini—yang wafat 40 hari pascapersalinan dan dimakamkan di Girilaya—meninggalkan kekosongan pengaruh perempuan di pusat kekuasaan.

Nama “Rahmat” merujuk pada Sunan Ampel (Raden Rahmat), mengindikasikan sebuah harapan akan legitimasi spiritual sekaligus pengakuan atas genealogi suci dari garis Surabaya, yang secara konsisten diklaim sebagai keturunan langsung Wali Songo. Kerajaan Surabaya, dalam konteks ini, menegaskan identitasnya sebagai pewaris darah dan ajaran Sunan Ampel.

Pangeran Pekik—kakek Raden Mas Rahmat sekaligus mertua Amangkurat I—adalah putra Panembahan Jayalengkara, Raja Surabaya terakhir. Ia merupakan keturunan Sunan Ampel dari garis Walisongo dan bagian dari trah Ahlul Bait. Kehidupannya berlangsung di tengah masa transisi kekuasaan, dari dominasi pesisir Islam warisan Demak menuju hegemoni kekuatan agraris Mataram. Sebagai simbol rekonsiliasi antara Jawa Timur (Surabaya) dan Jawa Tengah (Mataram), Pangeran Pekik tampil sebagai figur sentral dalam politik penyatuan pasca-penaklukan Surabaya oleh Mataram pada tahun 1625.

Dikenal juga sebagai Raden Muhammad Nur Pekik atau Imam Faqih, ia dipandang sebagai ulama sekaligus bangsawan. Gelarnya sebagai Panembahan Pekik atau Raja Pandhita Wali menunjukkan kedalaman spiritualnya. Ia dijuluki rakyat sebagai Gagak Emprit, cermin kedekatannya dengan masyarakat.

Setelah ditawan dalam perang 1625, Pangeran Pekik tidak dibinasakan melainkan dijadikan menantu Sultan Agung, dengan menikahi Ratu Pembayun, putri sulung raja. Perkawinan ini adalah bentuk politik integratif ala Eropa kuno: menggabungkan dua darah besar. Di istana, ia menjabat sebagai penasihat senior Sultan Agung, menjembatani elite pesisir dan elite pedalaman. Ia berjasa besar dalam asimilasi budaya pesisiran ke dalam istana Mataram—termasuk seni pedalangan dan gending.

Puncak pengaruhnya terjadi pada penaklukan Giri Kedaton (1636)—pusat spiritual keturunan Sunan Giri. Karena darah Walisongo dan otoritas keagamaannya, hanya Pangeran Pekik yang dianggap layak menaklukkan Panembahan Kawis Guwa. Keberhasilannya menegaskan ia bukan sekadar birokrat, tapi juga pemimpin spiritual dan militer.

Saat Amangkurat I naik tahta (1645), istana mengalami pergeseran drastis. Raja baru curiga dan paranoid terhadap pengaruh elit lama, termasuk terhadap mertuanya sendiri, Pangeran Pekik. Ketegangan memuncak pada skandal Rara Oyi (1663), yang mempermalukan Amangkurat I dan melibatkan keluarga mertua. Pangeran Pekik akhirnya dieksekusi secara diam-diam tanpa pengadilan sekitar tahun 1670, dan dimakamkan di Banyusumurup, pemakaman bagi mereka yang disingkirkan oleh istana.

Dendam Seorang Cucu: Awal Kebencian Raden Mas Rahmat

Kematian Pangeran Pekik bukan hanya kehilangan politik bagi Mataram, melainkan luka personal bagi cucunya, Raden Mas Rahmat. Sang Putra Mahkota menyaksikan bagaimana Sunan Amangkurat I—ayah kandungnya—mengeksekusi keluarga besar istrinya. Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën mengabarkan bahwa Panembahan Giri adalah salah satu penasehat dalam pembantaian tersebut. Kebencian tumbuh dan membatu di hati sang pangeran. Namun baru pada April 1680, hampir dua dekade kemudian, ia benar-benar membalas luka batin itu.

Sebelum mencapai takhta, Putra Mahkota hidup dalam kekangan absolut. Ia tidak diberi kewenangan, tidak dipercaya, dan senantiasa dicurigai ayahnya. Hoorn, dalam Notitiën, menyatakan bahwa sang pangeran “dikekang dan sama sekali tidak diberi wewenang.” Ketegangan ini bertambah saat Raden Mas Rahmat mulai membangun jaringan kekuasaan sendiri melalui diplomasi bawah tanah dengan Batavia dan Banten pada tahun 1659—hanya beberapa bulan pasca tragedi berdarah itu.

Kuda Persia dan Simbol Pembangkangan

Salah satu simbol perlawanan terselubung adalah permintaan sang putra mahkota atas seekor kuda Persia kepada Kompeni pada Januari 1660. Permintaan ini bukan sekadar kapritas aristokrat, tetapi simbol politik. Kuda Persia, lebih besar dan gagah dibanding kuda lokal, kerap dimaknai sebagai perlambang kesiapan perang. Kompeni merespons secara diplomatis: mereka mengirim kuda seadanya disertai permintaan maaf, sembari menunggu kedatangan kuda-kuda yang “lebih baik” dari Teluk Persia. Dalam konteks budaya Jawa abad ke-17, tindakan ini adalah isyarat bahwa sang pangeran menantang kekuasaan ayahnya secara simbolik.

Permusuhan Terbuka: Sunan Melawan Putra Mahkota

Konflik ayah-anak ini tidak lagi menjadi rahasia pada September 1660. Evert Michielsen dalam laporannya mengutip Tumenggung Surabaya bahwa sang Raja Mataram menginginkan nyawa anak kandungnya sendiri. Pada April 1661, desas-desus menyebar bahwa sang pangeran telah terbunuh. Meskipun kabar ini palsu, hal itu menunjukkan derajat seriusnya konflik internal dalam Keraton Mataram.

David Luton, Residen Banten, mendapatkan informasi dari Thomas Harmagon, penerjemah Inggris yang baru tiba dari Jepara, bahwa Amangkurat I telah mengeksekusi lebih dari lima puluh panglima di bawah Tumenggung Pati. Tuduhan resmi: mereka hendak menyerang raja. Namun semua ini diduga sebagai bagian dari konspirasi pendukung Putra Mahkota untuk merebut kekuasaan bagi junjungannya.

Sunan Amangkurat I, yang makin terobsesi pada keamanan pribadi, bahkan mengubah kompleks keraton menjadi semacam pulau buatan dengan pengerahan 300.000 orang pekerja. Daghregister 11 September 1661 mencatat bahwa aktivitas para penguasa pesisir lumpuh karena pengerahan besar-besaran ini.

Karena tidak dapat bertindak secara terbuka, Sunan memilih jalur halus: racun. Surat tertanggal 28 Oktober 1662 yang dikirim ke Residen Luton mencatat bahwa sang Raja lebih suka cara diam-diam untuk membunuh para bangsawan utama kerajaannya. Namun ironisnya, di tengah krisis ini, Raja justru larut dalam hobi main layangan. Laporan Jonge (21 Desember 1663) mencatat bahwa Raja dan para pembesarnya bahkan mengadakan musyawarah serius untuk menebang 18 pohon besar agar layang-layang dapat terbang lebih leluasa.

Kenyataan ini membentuk kontras tajam: di satu sisi Raja penuh paranoia, membunuh dengan racun dan menyusun benteng, tetapi di sisi lain ia mengalihkan waktu dengan permainan. Maka tidak heran, sebagaimana diperkirakan oleh pengamat Belanda, bahwa “pada suatu waktu Raja akan mengalami keguncangan besar dalam kerajaannya.”

Pangeran Purbaya: Kunci dalam Komplotan

Nama Pangeran Purbaya muncul sebagai tokoh penting dalam komplotan melawan Raja. Ia disebut bersama Pangeran Puger dan Putra Mahkota sebagai target pembunuhan yang tidak kunjung dilakukan karena tingginya dukungan bangsawan terhadap mereka. Daghregister 25 November 1661 mencatat bahwa “karena banyak keluarga terpandang dan dukungan terhadap mereka”, Raja tidak berani secara terbuka membunuh ketiganya.

Pangeran Purbaya, meski tidak sesering Adipati Anom disebut dalam laporan resmi, diduga kuat menjadi mitra dalam persekongkolan. Ia, seperti juga Pangeran Puger, memiliki legitimasi darah, basis loyalis di kalangan bangsawan Mataram, dan pengalaman militer yang cukup. Rencana untuk membunuhnya terus muncul dalam laporan-laporan Kompeni selama 1662 hingga 1663.

Di antara arus besar sejarah Mataram Islam, nama Pangeran Purbaya seringkali hanya muncul sebagai bayang-bayang dalam pusaran konflik istana dan perang-perang besar. Padahal, di balik gelarnya yang bersahaja tersimpan satu tokoh penjaga stabilitas dinasti yang jasanya nyaris terhapus dari naskah sejarah resmi. Ia bukan hanya putra Panembahan Senopati, tetapi juga salah satu pilar penting yang menopang eksistensi kekuasaan Mataram dari era fondasi hingga masa keruntuhan dalam pemberontakan Trunajaya.

Pangeran Purbaya lahir dengan nama Jaka Umbaran, sebuah nama yang sarat makna dan trauma sejarah. “Umbaran” dalam bahasa Jawa berarti “dilepas” atau “ditelantarkan”. Ia merupakan anak dari Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram, yang lahir dari seorang perempuan keturunan Ki Ageng Giring—tokoh spiritual penting dari Gunung Kidul.

Baca Juga : Pusaka, Jimat, dan Takhta: Dinamika Perlawanan Semi-Terbuka di Yogyakarta 1830–1865

Legenda yang tercatat dalam Babad Tanah Jawi menyebutkan, kelahiran Jaka Umbaran terkait erat dengan air kelapa ajaib yang ditemukan oleh Ki Ageng Giring. Barang siapa meminumnya dalam satu teguk, maka ia atau keturunannya akan menjadi raja-raja tanah Jawa. Namun, karena haus saat bertamu, air itu terminum oleh Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan Senopati. Untuk menebus kekeliruan, putra Ki Ageng Pamanahan—Sutawijaya alias Senopati—dinikahkan dengan putri Giring. Tapi karena wajah istrinya dianggap tak menarik, Senopati meninggalkannya di Giring, dalam keadaan hamil.

Anak dari hubungan ini adalah Jaka Umbaran. Ia tumbuh tanpa kasih sayang ayah, tanpa kehormatan istana. Tetapi justru dari penolakan itulah ia tempa dirinya. Setelah dewasa, ia memberanikan diri menghadap ke Mataram untuk menuntut pengakuan. Lewat perjuangan politik yang panjang dan diplomasi internal istana, ia akhirnya diakui sebagai putra Panembahan Senopati dan diberi gelar Pangeran Purbaya.

Pangeran Purbaya tumbuh menjadi salah satu pangeran paling disegani di lingkungan istana. Dari seluruh anak Senopati, naskah-naskah babad menyebutkan hanya dua yang memiliki kesaktian luar biasa: Raden Rangga yang gugur muda, dan Pangeran Purbaya yang bertahan panjang hingga beberapa dekade setelah kematian ayahnya.

Ia tidak menjadi raja, tetapi menjadi penopang penting dari rezim Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1645). Di tengah dinamika suksesi yang penuh intrik, ia mengambil posisi sebagai pelindung kekuasaan keponakannya, Sultan Agung. Dalam perannya ini, Purbaya bukan hanya seorang tokoh senior yang dihormati, tetapi juga mediator dan panglima politik yang kerap menjaga stabilitas istana dari bahaya perpecahan.

Menariknya, sebagian versi masyarakat Jawa menyimpan narasi alternatif: bahwa Sultan Agung sebenarnya adalah anak biologis Pangeran Purbaya. Konon, saat istrinya dan istri Panembahan Hanyakrawati melahirkan bersamaan, Purbaya menukar anaknya demi memastikan keturunannya naik takhta. Versi ini memang tak pernah dibakukan dalam historiografi resmi, tapi merepresentasikan kecurigaan masyarakat akan hilangnya peran Purbaya dari sejarah istana, seolah disengaja untuk menutupi legitimasi sejati garis darah.

Ketika Sultan Agung wafat pada 1645 dan digantikan oleh putranya Amangkurat I, posisi Purbaya mulai terguncang. Pemerintahan Amangkurat I ditandai oleh paranoia dan eksekusi massal terhadap tokoh-tokoh senior istana dan pejabat warisan ayahnya. Pangeran Purbaya—dengan reputasi dan loyalitasnya pada sistem lama—nyaris menjadi korban dari politik pembunuhan sistematis ini.

Namun nasib menyelamatkannya. Ia dilindungi oleh ibu suri, janda Sultan Agung, yang masih menyimpan simpati atas jasa Purbaya dalam mengokohkan takhta. Ia selamat dari badai politik itu, tapi posisinya semakin terpinggirkan. Di usia senja, ia bukan lagi tokoh kekuasaan, melainkan simbol moralitas istana yang makin dikekang.

Kematiannya terjadi bukan di istana, melainkan di medan perang, pada usia lanjut. Tahun 1676, meletus pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya, bangsawan Madura yang didukung oleh laskar Makassar pelarian dari keruntuhan Gowa. Amangkurat I mengirim Adipati Anom (kelak Amangkurat II) bersama pasukan besar untuk menyerang markas Trunajaya di Desa Demung, dekat Besuki. Di antara pasukan itu terdapat sosok tua, tak lain Pangeran Purbaya, yang kembali mengangkat senjata demi menjaga takhta yang pernah dijaganya sejak muda.

Perang besar pecah di Desa Gogodog, dan di sanalah riwayat Purbaya berakhir. Ia gugur dalam pertempuran setelah dikepung oleh pasukan gabungan Madura dan Makassar. Sebuah kematian tragis bagi seorang bangsawan senior yang semestinya tutup usia di dampar kencana, bukan di ladang darah.

Sunan Amangkurat I Wafat di Tegalwangi

Pada musim kemarau 1677, Kerajaan Mataram dilanda krisis bertubi-tubi: pemberontakan Trunajaya menghantam pusat kerajaan di Plered, dan di saat yang sama, terjadi perebutan kuasa yang lebih sunyi namun tak kalah getir—antara Sunan Amangkurat I dan putranya, Raden Mas Rahmat.

Sejak naik takhta pada 1646, Amangkurat I memerintah dengan tangan besi: membunuh Pangeran Alit (adiknya), menumpas ulama pesantren, dan memperkuat kekuasaan absolut dengan sokongan VOC. Namun, pada dekade 1670-an, kekuatannya mulai runtuh. Trunajaya, bangsawan Madura yang memberontak sejak 1674, merebut Plered pada 1677. Sang raja melarikan diri ke barat—sebuah pelarian yang dicatat Residen VOC Pieter van Goens sebagai "dalam kehinaan".

Sebagai anak sulung, Rahmat tumbuh dalam bayang-bayang kekejaman ayahnya. Ia menyaksikan pembunuhan keluarga dekat, pembuangan ibu-ibu selir, dan marginalisasi politik saudara-saudaranya. Dalam berbagai laporan VOC dan Babad Tanah Jawi, Rahmat disebut menjalin komunikasi dengan Trunajaya sebelum kerusuhan. Meskipun tak terbukti secara langsung, sikap pasifnya saat Plered diserang dianggap mencurigakan. Sejarawan Peter Carey menyebutnya sebagai “raja bayangan” yang sabar menunggu saatnya.

Amangkurat I melarikan diri bersama Rahmat menuju Tegal. Dalam kondisi sakit keras di desa Tegalarum, ia dikabarkan muntah darah—indikasi penyakit berat atau mungkin diracun. Babad menggambarkan kematian simbolik lewat mimpi: seekor naga putih keluar dari tubuh raja, pertanda hilangnya wahyu keprabon. Di sini, muncul dugaan kuat bahwa Rahmat berperan mempercepat kematian ayahnya.

Menjelang ajal, Amangkurat I menyampaikan wasiat kepada Rahmat:

“Engkau akan jadi raja. Tapi dosa-dosaku adalah warisanmu.”

Rahmat menjawab:

 “Aku hanya mengambil beban yang tak sanggup lagi kau pikul.”

Amangkurat I wafat 13 Juli 1677 dan dimakamkan di Pasarean, Tegalwangi, bukan di Imogiri. Ini menandai pengasingan simbolik bahkan dalam kematian. Dalam catatan Belanda, ini adalah “kejatuhan tragis seorang raja besar oleh dosa-dosanya sendiri”.

Selanjutnya, Rahmat menyatakan diri sebagai Sunan Amangkurat II. Namun, klaimnya belum sepenuhnya diakui secara luas. Ia kemudian menjalin kesepakatan dengan VOC. Pada 20 Oktober 1677, perjanjian pun ditandatangani: Mataram harus tunduk pada syarat-syarat dagang dan militer yang ditetapkan VOC. Perjanjian ini menjadi awal keterikatan Mataram pada struktur kolonial yang akan membelenggu keraton selama lebih dari satu abad.

Wafatnya Sunan Amangkurat I bukan hanya akhir dari seorang tiran, tetapi juga awal dari babak baru Mataram di bawah bayang-bayang VOC. Raden Mas Rahmat—yang naik takhta sebagai Amangkurat II—mewarisi kerajaan yang retak, dan mengikat takdirnya dengan kekuatan kolonial demi mahkota. Kudeta tak berdarah ini adalah kisah peralihan kuasa yang dibungkus dalam sunyi, dendam, dan sejarah yang menunggu ditebus.