Jejak Dakwah Raden Patah: Dari Masjid Demak hingga Angger Suryo Ngalam
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Dede Nana
13 - Jun - 2025, 01:46
JATIMTIMES - Dalam sejarah dakwah Islam di Nusantara, jejak Raden Patah tidak hanya terpahat sebagai penguasa pertama Kesultanan Demak, tetapi juga sebagai figur sentral yang mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam tatanan sosial-politik Jawa pasca-Majapahit.
Meski namanya tidak tercantum dalam daftar utama Wali Songo, peran Raden Patah dalam gerakan dakwah Islam sangat signifikan dan terlegitimasi dalam berbagai sumber historiografi lokal, termasuk dalam Serat Walisana dan Babad Tanah Jawi.
Baca Juga : Surat-Surat Penentu Takdir: Saat Sentot Alibasyah Prawirodirdjo Memilih Mengakhiri Perang
Dalam Serat Walisana, disebutkan keberadaan para Wali Nukbah yang tidak kalah penting dari Wali Songo. Di antara nama-nama tersebut, Raden Patah muncul dengan dua gelar: Sultan Syah Alim Akbar dan Panembahan Palembang.
Dalam konteks ini, gelar Sultan Syah Alim Akbar merujuk pada posisi spiritual dan politik Raden Patah sebagai pengiri Kesultanan Demak. Sedangkan gelar Panembahan Palembang mengacu pada peran strategisnya sebagai tokoh sentral dalam menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya, hukum, dan kesenian. Ini menunjukkan bahwa dakwah Raden Patah tidak berhenti pada syiar, melainkan menjangkau substansi struktural masyarakat.
Pada tahun 1479, satu tahun setelah Majapahit dilanda konflik internal oleh Girindrawardhana, Raden Patah memaklumatkan berdirinya Masjid Agung Demak sebagai simbol pusat spiritual baru yang berakar pada nilai-nilai Islam. Pada momen yang sama, ia juga memberlakukan Kitab Undang-Undang Salokantara, dan tak lama berselang, Kitab Angger Suryo Ngalam. Kedua produk hukum ini merupakan manifestasi dari proses Islamisasi hukum yang berakar dari tradisi hukum Majapahit, khususnya Kitab Kutara Manawa Dharmasastra.
Namun, alih-alih menghapus sistem hukum lama, Raden Patah justru melakukan Islamisasi hukum melalui pendekatan selektif dan akomodatif. Ia mempertahankan banyak aspek dari Kutara Manawa, tetapi menambahkan unsur syariat Islam, menjadikannya hukum hybrid yang dapat diterima oleh masyarakat Jawa kala itu. Strategi ini menunjukkan kelincahan intelektual dan kebijaksanaan politik yang luar biasa dalam menyinergikan dua sistem hukum besar...