JATIMTIMES - Sengketa kepemilikan aset tanah bernilai miliaran rupiah kembali memanas di Kota Malang. Kali ini, konflik melibatkan dua pihak yang masih memiliki hubungan keluarga, yakni Harto Wijoyo dan keponakannya sendiri, Ronny Wirawan Soebagio.
Kuasa hukum Harto, Vandy Satrio Raharjo menegaskan bahwa gugatan perdata yang dilayangkan Ronny dinilai prematur dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini karena tiga bidang tanah yang disengketakan telah diputuskan sah sebagai milik kliennya melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Baca Juga : Darah dan Debu di Gegodog 1676: Putra Mahkota Pangeran Rahmat Tumbang
“Tiga sertifikat itu sudah jelas status hukumnya berdasarkan Putusan Pidana Nomor 1914, diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi 123 dan putusan kasasi K822. Semuanya menyatakan bahwa sertifikat itu sah milik Pak Harto,” ujar Vandy saat dikonfirmasi, Sabtu (12/7/2025).
Vandy mengungkapkan bahwa meski telah ada keputusan pengadilan, tiga dari tujuh sertifikat tanah tersebut masih dikuasai Ronny. Padahal, tidak ada perjanjian resmi yang menyatakan bahwa Ronny memiliki hak atas aset tersebut.
“Tiga sertifikat itu harusnya sudah dikembalikan kepada Pak Harto sesuai amar putusan. Tapi sampai hari ini, Ronny belum mengembalikannya,” tegasnya.
Ronny mengklaim bahwa aset tersebut merupakan bentuk imbalan atas bantuannya menyelesaikan perkara hukum yang dialami Harto. Namun, Vandy membantah hal itu dan menyebut bahwa seluruh bantuan telah dibayar secara sah.
“Total pembayaran mencapai Rp 4,9 miliar, terdiri dari hasil penjualan aset lewat AJB dan transfer langsung dari anak Pak Harto. Jadi tidak ada alasan Ronny mengklaim hak atas tanah itu,” jelas Vandy.
Tak hanya itu, dua unit ruko di kawasan Jalan Soekarno-Hatta yang telah dijual dengan persetujuan Harto juga disebut seluruh hasil penjualannya diterima Ronny. “Rukonya dijual, tapi semua uangnya ke Ronny. Ini juga kami pertanyakan secara hukum,” imbuh Vandy.
Perselisihan sendiri bermula sejak tahun 2017 saat Harto meminjam dana dari bank dengan tujuh sertifikat sebagai jaminan. Karena terdesak, Harto kembali meminjam dana Rp 7,5 miliar dari seorang kolega bernama Stefanus Sulaiman, dengan janji pengembalian sebesar Rp 12 miliar dalam waktu dua tahun.
Namun, sebelum waktu yang dijanjikan, aset tersebut sudah dijual. Inilah yang kemudian menjadi akar masalah dan memicu konflik hingga ke meja hijau.
Menariknya, saat ini dari tujuh sertifikat tersebut, empat sertifikat ditahan oleh Kejaksaan Agung karena kasus lain yang menimpa Ronny. Sementara, tiga sertifikat lainnya masih dikuasai Ronny.
Baca Juga : Pendaftaran Turnamen Catur JTN-Polresta Malang Kota Ditutup, Peserta Lebihi Kuota 500 Orang
“Seluruh tujuh sertifikat itu adalah milik sah Pak Harto, bukan Ronny atau Stefanus,” tegas Vandy.
Pihak Harto kini bersiap menghadapi mediasi yang dijadwalkan di PN Malang pada 15 Juli 2025. Namun, Vandy mengingatkan bahwa mediasi bisa gagal jika Ronny tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
“Kalau tidak hadir, maka proses hukum akan lanjut ke pokok perkara,” ungkap Vandy.
Pihaknya juga tengah menyiapkan gugatan rekonvensi, untuk menggugat balik Ronny atas dugaan penguasaan aset tanpa hak.
Dalam gugatan perdata bernomor 187/Pdt.G/2025/PN.MLG, Ronny menuntut kepemilikan atas tiga bidang tanah. Mulai dari sebidang tanah dan bangunan di Jalan R Panji Suroso No 97, Kelurahan Purwodadi dengan luas 1.357 meter persegi, tanah di Jalan Teluk Etna VII Kav 113/II, Kelurahan Arjosari dengan luas 471 meter persegi dan tanah di Perumahan Blimbing Indah A6-14, Kelurahan Polowijen dengan luas 616 meter persegi.
Sebelumnya, Ronny mengklaim bahwa aset tersebut diberikan sebagai bentuk imbalan atas bantuannya kepada Harto. Namun Harto membantah, menyatakan bahwa bantuan tersebut telah dibayar tuntas.
“Kami harap pengadilan bisa melihat fakta hukum secara adil dan objektif. Putusan yang sudah inkrah harusnya jadi acuan utama,” tutup Vandy.