free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Ketika Reformasi Berujung Darah: Ngabei Martanata, Amangkurat I, dan Cirebon 1662

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan realis Sunan Amangkurat I, raja Mataram Islam yang memerintah dari 1646 hingga 1677. (Foto: JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada suatu masa ketika denyut kekuasaan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa ditentukan oleh diplomasi istana dan strategi dominasi atas pelabuhan-pelabuhan pantai utara, kisah tragis Ngabei Martanata menjadi cermin betapa kekuasaan dapat menyingkirkan mereka yang terlalu berani menata ulang tatanan. Di bawah rezim Amangkurat I dari Mataram—seorang raja yang dikenal licik, paranoid, sekaligus kejam—Martanata, seorang penguasa Jepara yang visioner namun terlalu terbuka terhadap Kompeni, menemukan akhir hidupnya bukan di medan perang, melainkan di Pagelaran keraton.

Peristiwa ini, yang berlangsung pada akhir tahun 1662, mengandung drama sejarah yang kompleks, terjalin antara rekayasa kekuasaan, pergolakan internal kerajaan, dan manuver politik luar negeri, khususnya antara Mataram, Cirebon, Banten, serta VOC Belanda.

Baca Juga : Angin Kencang Rusak Enam Rumah di Singosari

Awal Mula Reformasi: Martanata Menuju Cirebon

Sejak tahun 1648, menurut catatan Haan dalam Priangan III, raja Cirebon diduga tinggal di istana Mataram. Penempatan ini bukan semata-mata simbol loyalitas, tetapi bagian dari strategi Sunan Amangkurat I untuk mengontrol daerah pesisir sekaligus menekan Banten. Amangkurat I bahkan menyusun rencana pernikahan antara putri Cirebon dengan Pangeran Rahmat, putra mahkota Mataram, sebuah langkah yang menunjukkan upaya hegemoni politik melalui jalur kekerabatan. Namun, rencana ini tak pernah terwujud.

Pada tahun 1661, berita mengejutkan menyebar dari wilayah Banten dan Batavia. Dalam catatan Daghregister tertanggal 22 Maret hingga 16 April 1661, tersiar kabar bahwa raja Cirebon, Panembahan Ratu II, telah dibunuh atas perintah Sunan Amangkurat I. Keterangan ini kemudian disangkal; sang panembahan rupanya masih hidup, namun kehilangan seluruh abdinya dan menjalani hidup biasa di Desa Pajaten. Kondisi ini menciptakan kekacauan politik di Cirebon, termasuk kemungkinan penutupan pelabuhan yang berimbas pada ekonomi pesisir.

Menurut Hageman, Panembahan Ratu II akhirnya meninggal dunia pada tahun 1662 dan dimakamkan secara kenegaraan di kompleks Girilaya, Imogiri. Dari sinilah ia memperoleh gelar anumerta: Panembahan Girilaya. Kematian ini, yang tidak menimbulkan tanda-tanda kekerasan, menjadi titik balik penataan kembali kekuasaan di Cirebon.

Pada bulan November hingga awal Desember 1662, Ngabei Martanata ditugaskan oleh Amangkurat I untuk melakukan “perubahan hukum” di Cirebon. Berdasarkan Daghregister tanggal 1 Januari 1663, misi Martanata adalah merombak struktur pemerintahan lokal. Penugasan ini tampaknya berkaitan erat dengan wafatnya raja Cirebon dan kebutuhan Mataram untuk menancapkan ulang kekuasaannya di pesisir barat laut Jawa.

Martanata: Antara Mataram, Jepara, dan Kompeni

Ngabei Martanata merupakan tokoh penting di wilayah pesisir, terutama Jepara, yang kala itu menjadi simpul dagang strategis. Kedekatannya dengan Belanda membuatnya dipercaya sebagai mediator dalam hubungan Mataram-VOC, terutama pada masa-masa penutupan pelabuhan oleh Amangkurat I.

Martanata menunjuk Kiai Wirasetia sebagai perwakilan di pesisir ketika ia lebih sering berada di istana. Wirasetia, bekas penguasa Jepara dan kemudian Kepala Daerah Kendal, memainkan peran penting sebagai penghubung ke Kompeni. Keakraban Wirasetia dengan pihak Belanda membuatnya disukai dan dipercaya dalam transaksi, termasuk urusan pembelian kuda Persia yang kemudian memicu tragedi.

Ketika Martanata membeli kuda untuk Sunan dari Batavia pada tahun 1662, ia bermaksud memenuhi permintaan istana. Namun, kesalahpahaman atas maksud perintah tersebut berujung pada tuduhan pengkhianatan. Sunan tidak memerintahkan pembelian, melainkan pengamatan. Martanata dituduh membelanjakan uang kerajaan tanpa izin.

Pada tanggal 19 Desember 1662, setelah kembali dari misi reformasi di Cirebon, Martanata dan dua putranya diperintahkan menghadap Sunan di Mataram. Mereka dijaga oleh sekitar 4.000 prajurit. Keesokan harinya, dalam sebuah pertemuan yang berlangsung panas, Sunan menuduh Martanata berbohong tentang pembelian kuda.

Menurut Daghregister 15 April 1663, Sunan marah besar dan tanpa ampun memerintahkan Patih Wiradijaya, Tumenggung Mataram, untuk membunuh Martanata dengan keris. Instruksi ini tidak lazim, karena keris digunakan untuk menikam, bukan memenggal. Martanata diseret ke alun-alun dan harus ditikam hingga 30 kali sebelum tewas. Eksekusi brutal ini mengejutkan dunia Jawa dan luar Jawa. Bahkan Pangeran Palembang, yang sebelumnya hendak mengirim utusan ke Mataram, mengurungkan niatnya karena takut.

Babad Sangkala menyebut eksekusi ini terjadi pada 1585 Jawa (sekitar 1662 Masehi), dengan frasa simbolik “Demang Martanata tewas di pagelaran menantunya,” yang membuka kemungkinan bahwa Sunan memiliki hubungan keluarga dengan keluarga Martanata, seperti yang kerap terjadi antara raja dan para pejabat kesayangannya.

Intrik dan Kekuasaan: Dominasi Pedalaman atas Pesisir

Peristiwa eksekusi Martanata menandai kemenangan politik kaum pedalaman atas pesisir. Penunjukan Tumenggung Mataram—simbol elit pedalaman—sebagai algojo, menunjukkan simbolik penaklukan Mataram atas elit pantai utara yang terlalu dekat dengan Belanda.

Setelah kematian Martanata, kuda Persia yang menjadi pokok sengketa dikembalikan ke istana. Nasib Wirasetia pun suram. Sebelum Martanata dieksekusi, Wirasetia sudah dicopot dari jabatan penting. Ia sempat menjabat sebagai Kepala Daerah Pati dan kemudian memegang Lasem dan Kendal. Namun masa tuanya tak lama. Ia disebut sudah lanjut usia sejak 1648.

Tragedi Modernisasi Prematur

Tragedi Martanata mencerminkan ketegangan antara modernisasi dan konservatisme, antara keterbukaan terhadap kekuatan asing dan keinginan mempertahankan kedaulatan absolut. Martanata adalah reformis administratif yang mencoba menata ulang Cirebon dan memperkuat hubungan dengan Kompeni demi stabilitas wilayah pesisir. Namun loyalitas ganda dan strategi mandiri justru dianggap ancaman oleh seorang raja yang sangat paranoid terhadap infiltrasi kekuasaan luar.

Baca Juga : Kecelakaan Beruntun di Simpang Tiga Srikaton Tulungagung, Satu Pengendara Motor Luka Berat

Sumber-sumber utama seperti Daghregister, catatan Goens, dan berbagai babad Jawa memperlihatkan kompleksitas relasi antar-kerajaan, serta betapa berdarahnya konflik internal di masa transisi kekuasaan. Sejarawan seperti Peter Carey pernah menulis bahwa “politik Mataram pasca-Sultan Agung adalah ladang penuh ranjau bagi siapa pun yang mencoba melangkah dengan kaki yang berbeda.” Martanata, dalam hal ini, menjadi korban dari langkah yang terlalu berani di medan kekuasaan yang tidak memberinya ruang.

Martanata telah pergi, namun namanya tetap menjadi bagian dari bab sejarah kelam Mataram yang membungkam pembaruan dengan kekerasan. Ia adalah potret tentang bagaimana seorang tokoh reformis dibungkam oleh sistem absolutis, dan tentang bagaimana sejarah Jawa abad ke-17 merupakan ladang pertarungan bukan hanya senjata, tetapi juga narasi, simbol, dan kekuasaan.

Amangkurat I: Sang Raja Plered dan Paradoks Kekuasaan Mataram

Dalam sejarah Jawa abad ke-17, sedikit tokoh yang menghadirkan ketegangan sehebat Prabu Amangkurat I. Lahir sebagai Gusti Raden Mas Sayidin pada 24 Juni 1619 di Keraton Kotagede, ia adalah putra Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Garwa Ratu Mas Batang, cucu Ki Ageng Juru Martani. Pendidikan awalnya mencerminkan semangat zaman: belajar agama di pesantren Nglandoh Pati, Besuki Pasuruan, hingga mendalami tasawuf di padepokan Ki Lembah Manah, lalu ke Demak, Grobogan, bahkan merantau ke Istanbul dan Paris. Langkahnya, dalam catatan sejarah, menunjukkan ambisi seorang calon raja yang berani memadukan Islam, Eropa, dan Jawa dalam tubuh kekuasaan.

Namun, narasi kecemerlangan itu segera berganti menjadi babak kekuasaan penuh intrik. Ketika dinobatkan pada 1646, gelarnya panjang: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Tak lama setelah naik takhta, ia memindahkan pusat kerajaan dari Karta ke Plered. Pembangunan kota ini, dengan dukungan rakyat lewat kerja paksa, dimaksudkan sebagai simbol kemegahan dan pertahanan. “Saya tidak mau tinggal di bekas kediaman Ayahanda,” sabdanya. Istana Plered berdiri megah di antara Kali Opak dan Kali Gajah, dihiasi masjid, danau Segara Yasa, dan saluran bawah tanah Sumur Gumuling yang legendaris.

Dalam aspek ekonomi, Amangkurat I tergolong visioner. Ia membangun industri lokal: pabrik brem di Madiun (1639), industri logam di Kudus dan Sidoarjo, pasar lelang ikan di Sampang (1669), hingga kebun kopi di Ungaran dan Bangkalan. Ia pun ingin menjadikan Mataram sebagai negeri bahari, membangun pelabuhan dari Surabaya hingga Lamongan dan Kendal. Gagasan tentang Mataram maritim—nagari bahari—adalah hal baru di tengah dominasi kerajaan agraris di Nusantara.

Namun, kekuasaan Amangkurat I justru dikenang dalam bab gelap. Ia menumpas lawan-lawan politik secara kejam. Pangeran Alit, adik kandungnya, dibunuh bersama ribuan pengikutnya. Mertuanya, Pangeran Pekik, juga meregang nyawa. Drama asmara politik antara dirinya, Raden Rahmat (putranya), dan Rara Hoyi berujung pada pembunuhan perempuan itu oleh putranya sendiri atas perintah sang ayah. Dalam catatan babad, seperti Babad Sangkala, pengadilan dan eksekusi kerap berlangsung di pagelaran istana: ruang simbolik antara kemegahan dan maut.

Intrik di dalam istana memperlemah kekuasaan. Amangkurat I terjebak dalam paranoia, mencurigai semua pembaruan sebagai pengkhianatan. Reformasi tokoh seperti Martanata—yang membangun kembali kekuasaan Mataram di Cirebon tahun 1662—dihabisi secara brutal. Tragedi politik ini mencerminkan resistensi terhadap modernisasi dan kedekatan dengan Kompeni.

Titik balik datang pada 28 Juni 1677, ketika pasukan Trunajaya menyerbu dan menguasai Plered. Trunajaya, bangsawan Madura yang beraliansi dengan para elite spiritual anti-keraton, adalah menantu Panembahan Rama—guru spiritual Raden Mas Rahmat. Dalam gejolak itu, Raden Mas Rahmat justru berbalik membela ayahandanya. Mereka melarikan diri ke barat, menuju Batavia, menapaki rute pelarian yang sekaligus menjadi jalan sekarat.

Dalam perjalanan di Rowo Ambal, Amangkurat I jatuh sakit. Ki Gedhe Panjer III—yang kelak dikenal sebagai Kolopaking I—menolongnya dengan air kelapa tua. Sebagai balas jasa, Amangkurat menikahkan putrinya Dewi Mulat dengan Ki Gedhe. Namun kesehatannya terus menurun. Di Ajibarang, ia menyerahkan pusaka kepada Raden Mas Rahmat, menunjuknya sebagai pengganti dengan sumpah keras: Rahmat hanya akan menurunkan satu garis keturunan raja. Sunan Amangkurat I wafat pada 13 Juli 1677 di Pasiraman, Winduaji. Jenazahnya tidak langsung dikuburkan sebagaimana lazimnya, melainkan disarekan (diletakkan dalam peti tanpa ditanam tanah) di sebuah bangunan pemakaman di Pesarean, Tegal. Ia dimakamkan di samping gurunya, Ki Ageng Lembah Manah, bukan di kompleks makam Imogiri seperti raja-raja Mataram lainnya, melawan tradisi istana dan menandai wafatnya sebagai raja dalam pengasingan.

Dari perspektif historiografi kritis, Amangkurat I adalah sosok ambivalen. Ia membuka Mataram ke dunia luar, membangun pelabuhan dan industri, namun memberangus ruang kritik, menjadikan istana sebagai arena kekerasan. Spiritualitas dan kekerasan hidup berdampingan dalam satu tubuh kekuasaan. Dalam analisis penulis, raja-raja seperti Amangkurat I mewarisi “dualisme adiluhung dan tiranik”—perpaduan antara kehendak luhur dan dendam struktural atas sejarah yang terus berulang. Amangkurat I bukan sekadar tokoh, ia adalah gejala dari zaman yang sedang berubah namun belum selesai.