free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Dakwah Tanpa Pedang: Strategi Maulana Malik Ibrahim Membangun Islam Jawa

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan cat minyak bergaya realis menggambarkan Maulana Malik Ibrahim, salah satu wali dan penyebar awal agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14. (Foto: JatimTIMES)

JATIMTIMES - Terletak di Kampung Gapura, Gresik, tidak jauh dari pelabuhan yang sejak lama menjadi denyut nadi perdagangan pesisir utara Jawa, berdirilah sebuah makam sederhana namun penuh kharisma sejarah. Di sinilah jasad seorang tokoh monumental disemayamkan: Syekh Maulana Malik Ibrahim, figur yang oleh para peneliti dan tradisi lokal dianggap sebagai pelopor dakwah Islam di tanah Jawa. 

Sebuah prasasti bertarikh 822 H atau 1419 M di batu nisannya menandai akhir hayatnya, namun justru menegaskan awal bab penting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara.

Baca Juga : 13 Amalan Sunah di Bulan Muharram

Nama Syekh Maulana Malik Ibrahim selama berabad-abad menjadi medan tarik-menarik berbagai narasi asal-usul, mulai dari legenda, tradisi lisan, catatan lokal, hingga rekonstruksi akademik modern. Dalam tradisi masyarakat awam, ia kerap dijuluki Syekh Maghribi, mengesankan bahwa ia berasal dari kawasan Maghrib (Maroko). Namun, asumsi ini secara historiografis tidak memiliki dasar kuat dan tampak lahir dari kesalahan pemaknaan istilah geokultural.

Sebagian teks klasik seperti Babad Tanah Jawi yang disunting oleh J.J. Meinsma, justru menyamakannya dengan tokoh Syekh Ibrahim Asmarakandi, atau as-Samarkandi. Nama ini merujuk pada kawasan Samarkand, Asia Tengah, namun hubungan antara dua figur ini pun masih bersifat spekulatif dan tidak memiliki dasar empirik yang solid. Hal ini memperlihatkan bagaimana dalam narasi babad dan tradisi Islam Nusantara, penggabungan identitas dan fungsi dakwah kerap terjadi demi tujuan pembentukan legitimasi spiritual.

Penjelasan yang lebih sistematis dapat ditelusuri melalui karya History of Java oleh Thomas Stamford Raffles. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sumber lokal, Raffles mencatat bahwa Syekh Maulana Ibrahim merupakan seorang pendeta masyhur dari Arabia, keturunan Zainal Abidin, dan sepupu Raja Chermen. Ia dikabarkan menetap di Leran, Janggala, bersama komunitas Muslim lainnya. Nama dan silsilah ini, lagi-lagi, menjadi salah satu upaya pembentukan jati diri seorang tokoh suci dalam bingkai aristokrasi spiritual Arab.

Namun, terang benderang sejarah mulai tampak dari pembacaan inskripsi batu nisan oleh orientalis Prancis J.P. Moquette. Dalam laporan berjudul De Datum op den Grafsteen van Malik Ibrahim te Grissee, Moquette menegaskan bahwa tokoh bernama al-Malik Ibrahim wafat pada hari Senin, 12 Rabiulawal 822 H, bertepatan dengan 8 April 1419. Ia berasal dari Kashan, sebuah kota di wilayah Persia (kini Iran). Dengan demikian, asal-usul geografis Syekh Maulana Malik Ibrahim lebih dapat dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari jejaring ulama Persia yang menjangkau wilayah Asia Tenggara pada abad ke-14 dan 15.

Batu nisan al-Malik Ibrahim memuat sejumlah kutipan ayat Al-Qur'an, termasuk Ayat Kursi (QS. al-Baqarah: 255), QS. Ali Imran: 185, QS. ar-Rahman: 26-27, serta QS. at-Taubah: 21-22. Dalam inskripsi tersebut, ia disebut sebagai "kebanggaan para pangeran (mafkharul-umara)", "penopang raja dan menteri (‘umdatus-salāthin wal-wuzarā’)", "penolong kaum miskin dan papa (ghaisul-masākīn wal-fuqarā’)", serta "syahid yang berbahagia (as-sa’īd asy-syahīd)". Moquette menyatakan bahwa al-Malik Ibrahim dikenal juga sebagai Kakek Bantal, dan menutup terjemahan inskripsi dengan doa: "Semoga Allah melimpahkan rahmat dan rida-Nya dan menempatkannya di dalam surga."

Dalam penulisan yang lebih belakangan, muncul pula silsilah yang mengaitkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim dengan garis keturunan Ahlul Bait, yakni Alawiyyin, dari jalur Sayyidina Husain bin Ali, cucu Rasulullah SAW. Rangkaian nasab yang diajukan mencakup nama-nama besar dalam sejarah Islam seperti Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, hingga Ahmad al-Muhajir dan Alwi Ammi al-Faqih, sebelum sampai pada sosok Maulana Malik Ibrahim. Kendati silsilah ini masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi, ia menunjukkan satu hal penting: bagaimana masyarakat Jawa sejak awal menempatkan figur sang wali dalam posisi spiritual yang agung dan penuh legitimasi keagamaan.

Peneguhan posisi Syekh Maulana Malik Ibrahim sebagai pelopor Islamisasi Jawa juga diperkuat oleh pengamatan GWJ Drewes dalam esai akademis New Light on the Coming of Islam to Indonesia. Drewes menempatkan Malik Ibrahim sebagai tokoh senior dalam formasi Wali Sanga, bahkan menjadi pembuka jalan sebelum kedatangan wali-wali lainnya. Aktivitasnya di Gresik menjadi pusat awal dari gerakan Islamisasi yang kelak menyebar ke seantero pulau Jawa.

Sumber lokal seperti Babad Gresik menuturkan bahwa Maulana Malik Ibrahim datang ke Gresik bersama Maulana Mahpur dan Sayid Yusuf Mahrabi, disertai rombongan 40 orang. Mereka adalah keturunan Arab yang memiliki hubungan dengan Raja Kedah dan memilih berdakwah di Nusantara sambil berdagang. Kapal mereka berlabuh di kawasan Gerwarasi (Gresik) pada sekitar tahun 1371 M. 

Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Raja Majapahit, meskipun sang raja sendiri belum tertarik untuk memeluk Islam. Sebagai bentuk toleransi dan penghormatan, Maulana Malik Ibrahim kemudian diangkat sebagai syahbandar Gresik, posisi penting yang tidak hanya berkaitan dengan urusan pelabuhan, tetapi juga memberikan ruang luas bagi aktivitas dakwah di kalangan masyarakat pelabuhan.

Lokasi pertama yang dijadikan basis dakwahnya adalah Desa Sembalo, tidak jauh dari Leran dan makam Fatimah binti Maimun. Di tempat ini, Maulana Malik Ibrahim mulai membangun fondasi keislaman masyarakat dengan mendirikan masjid dan berdagang. Perpaduan aktivitas ekonomi dan agama menjadi strategi dakwah yang efektif, dan ini pula yang kemudian menjadi ciri khas dakwah Islam awal di Nusantara.

Setelah merasa dakwahnya berhasil di Sembalo, ia pindah ke Desa Sawo, lalu ke pusat kota Gresik. Di kota ini, ia tidak hanya mendirikan pesantren, tetapi juga membina generasi baru penyebar agama Islam. Pesantren tersebut kemudian menjadi semacam madrasah awal yang memproduksi dai-dai muda yang kelak menyebarkan Islam ke pelosok Majapahit. Wilayah kekuasaan Majapahit pada saat itu tengah dilanda konflik internal dan kemerosotan politik, sehingga membuka peluang dakwah yang lebih luas.

Wilayah yang diberikan kepadanya oleh Raja Majapahit adalah sebuah lahan di kawasan yang kini dikenal sebagai Desa Gapura. Di sinilah Syekh Maulana Malik Ibrahim mendirikan basis terakhir dakwahnya, membina umat, memperkenalkan ajaran Islam yang damai, serta membentuk komunitas Muslim yang terorganisir. Ia wafat di desa ini pada tahun 1419 M, dan makamnya tetap menjadi pusat ziarah yang ramai dikunjungi hingga hari ini.

Sosok Syekh Maulana Malik Ibrahim juga menjadi inspirasi spiritual bagi penyebar Islam generasi berikutnya seperti Sunan Ampel, yang dalam beberapa versi dikisahkan sebagai putra atau muridnya. Dengan demikian, mata rantai dakwah Islam di Jawa secara historis terhubung langsung dari Maulana Malik Ibrahim kepada tokoh-tokoh utama Wali Sanga yang akan berperan penting dalam islamisasi wilayah-wilayah pedalaman Jawa.

Dalam perspektif historiografi modern, sosok Syekh Maulana Malik Ibrahim merupakan representasi dari mobilitas intelektual dan spiritual dari dunia Islam Timur Tengah dan Persia menuju Asia Tenggara. Ia menjadi bukti hidup bagaimana jaringan dakwah Islam bergerak lintas geografis, membangun simpul-simpul keilmuan dan kultural yang terus mempengaruhi formasi peradaban Islam di Nusantara.

Dengan gaya hidup asketik, pendekatan dakwah yang moderat, serta kemampuan menjalin hubungan sosial lintas budaya, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjadi pionir dalam pembentukan identitas Islam Nusantara yang inklusif dan transformatif. Sejarahnya bukan hanya catatan masa lalu, tetapi refleksi penting bagi pembacaan ulang dinamika dakwah dan sosial-keagamaan di Asia Tenggara.

Artikel ini, sebagai bagian dari narasi panjang sejarah Islam di Indonesia, hendak memosisikan kembali figur Syekh Maulana Malik Ibrahim secara objektif dan akademis, sembari tetap mengakui nilai spiritual dan simbolisnya dalam kesadaran kolektif masyarakat Muslim Jawa. Dalam denyut nadi tradisi, ia adalah wali; dalam konstruksi sejarah, ia adalah pelopor; dan dalam narasi Islam Nusantara, ia adalah fondasi.

Patapan: Hadiah Raja Majapahit untuk Maulana Malik Ibrahim
Dokumenter Historiografi Islam Awal di Tanah Jawa

Baca Juga : Deretan Peristiwa Istimewa di Bulan Muharram: Kiamat Terjadi di Asyura 

Dalam sejarah panjang interaksi antara Islam dan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, terdapat satu episode monumental yang menyiratkan babakan awal kerjasama damai antara kekuatan dakwah Islam dan kekuasaan negara yang masih bercorak Hindu-Buddha. Salah satu contoh nyata peristiwa historis tersebut terekam dalam sebuah prasasti yang kini dikenal sebagai Prasasti Patapan yang ditetapkan oleh Maharaja Majapahit, Sri Wikramawarddhana Bhatara Hyang Wisesa. Di balik naskah tembaga tersebut, tersimpan kisah istimewa tentang pengakuan formal kerajaan Majapahit terhadap seorang ulama perintis Islam di Jawa, yakni Maulana Malik Ibrahim.

Cerita ini bermula jauh sebelum munculnya nama Patapan dalam catatan resmi Majapahit. Sejarah mencatat bahwa ketika Arya Wiraraja, pendiri pemerintahan otonom di Lumajang dan tokoh kunci dalam pengangkatan Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit, wafat, maka tahta Lumajang dilanjutkan oleh putranya Arya Menak Koncar. Ia bergelar Sri Nararya Wangbang Menak Koncar dan menjadi raja Islam pertama di Lumajang, sebuah fakta penting yang menunjukkan bagaimana Islam tidak datang sebagai ide asing, melainkan telah merasuk ke dalam inti struktur kekuasaan lokal sejak akhir abad ke-13.

Menak Koncar dimakamkan di dekat sang ayah di situs Biting. Ia digantikan oleh Arya Wangbang Pinatih—tokoh yang kelak membuka jalur migrasi keluarga Islam Lumajang ke Bali lewat ekspedisi militer bersama Arya Damar. Garis keturunan Pinatih kemudian muncul dalam tokoh perempuan terkemuka dari Gresik, Nyai Ageng Pinatih, yang dikenal sebagai ibu angkat Raden Paku atau Sunan Giri. Saudara laki-lakinya, Pangeran Arya Pinatih, juga dikenal sebagai Syaikh Manganti—tokoh spiritual yang menjadi penghubung antara Islam dan kekuasaan lokal.

Ketika Arya Wangbang Pinatih I wafat, posisinya digantikan oleh Arya Menak Sumendi. Namun masa pemerintahannya menjadi titik balik dalam relasi antara Majapahit dan Lumajang. Sri Prabu Wikramawarddhana, menantu Hayam Wuruk dan keturunan Bhre Paguhan, memutuskan untuk mengintegrasikan Lamajang Tigang Juru ke dalam struktur kekuasaan Majapahit. Dalam proses ini, status raja lokal diturunkan menjadi “adipati”—raja bawahan yang tetap memegang kekuasaan teritorial, namun tunduk pada otoritas pusat. Ini adalah bentuk awal dari sistem mandala yang mengatur hubungan antara pusat dan daerah di Jawa.

Wikramawarddhana sendiri adalah sosok raja yang unik. Ia merupakan cucu dari Bhatara Kertawarddhana dan Rani Paguhan—seorang bangsawan perempuan yang disebut-sebut sebagai seorang muslimah. Latar belakang inilah yang menjelaskan mengapa kebijakan Wikramawarddhana lebih terbuka terhadap Islam dibanding raja-raja sebelumnya.

Dari tangan raja inilah muncul Prasasti Patapan, sebuah piagam kerajaan yang menandai penyerahan sebidang tanah di wilayah Patapan, Gresik, kepada seorang tokoh spiritual yang dikenal dengan sebutan “janggan”—gelar kehormatan bagi pandhita desa dalam tradisi Kapitayan, namun dalam konteks ini ditafsirkan sebagai seorang ulama Islam.

Isi prasasti tersebut, yang bertarikh tahun Saka 1307 atau 1385 Masehi, menyebut secara eksplisit bahwa tanah dan seluruh kekayaan agraris seperti kebun, sawah, dan pekarangan, diwariskan kepada sang janggan dan keturunannya. Nama Wikramawarddhana dicantumkan dalam bentuk gelar keagamaannya: Bhatara Hyang Wisesa. Hal ini mencerminkan praktik umum penguasa Majapahit dalam menggabungkan otoritas politik dan spiritual.

Bila merujuk pada Babad ing Gresik, ulama yang dimaksud dalam prasasti ini tidak lain adalah Maulana Malik Ibrahim. Ia datang ke Gresik pada tahun 1371 M bersama Maulana Mahpur dan Sayyid Yusuf Mahrabi, membawa serta 40 pengikut dari wilayah Kesultanan Gedah. Setelah berdakwah di desa Sembalo dekat Leran—dekat makam Fatimah binti Maimun yang legendaris—Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik dan mulai membangun basis dakwah yang tangguh, termasuk pasar dan masjid.

Pengakuan raja Majapahit terhadap Maulana Malik Ibrahim semakin kuat ketika ia diterima secara baik di istana pusat Majapahit. Meskipun raja belum berkenan memeluk Islam, ia menghormati kehadiran sang ulama dan bahkan menghadiahkan sebidang tanah di pinggir kota Gresik. Di sinilah berdiri desa Gapura—pusat dakwah dan pendidikan Islam yang pertama di tanah Jawa, yang melahirkan para pemimpin umat seperti Sunan Giri.

Desa Gapura bukan hanya hadiah simbolik. Ia adalah pernyataan sikap politik dan spiritual: pengakuan bahwa Islam telah menjadi bagian dari sistem sosial Majapahit. Dalam suasana pasca Perang Paregreg yang memecah belah kekuasaan Majapahit, kehadiran tokoh-tokoh Islam seperti Maulana Malik Ibrahim menghadirkan alternatif moral dan spiritual di tengah kemerosotan elite Hindu-Buddha.

Menariknya, pada masa yang sama, muncul karya sastra Kidung Sudamala, yang menggambarkan kisah Sembadra yang berhasil menyucikan Bhairawi Durga dan membebaskan Semar. Dalam tafsir para sejarawan, kisah ini merupakan alegori dari bangkitnya Kapitayan dan kekuatan keagamaan rakyat dalam menghadapi kemerosotan moral elite istana.

Sastra ini sekaligus menandai pergeseran corak spiritual kerajaan Majapahit ke arah sinkretisme yang kian akomodatif terhadap ajaran Islam. Anak-anak Wikramawarddhana—Maharani Suhita dan Sri Kertawijaya—bahkan dikenal sebagai penguasa yang membangun candi-candi bercorak berbeda seperti Candi Sukuh dan Candi Cetho yang lebih terbuka terhadap ragam ajaran spiritual non-Sywa-Buddha.

Dari garis keturunan Kertawijaya inilah muncul tokoh-tokoh Muslim seperti Raden Patah (Demak), Arya Damar (Palembang), Bathara Katong (Ponorogo), dan Ratu Adi Rani (Pengging). Mereka adalah keturunan langsung raja Majapahit yang sudah sejak awal membuka diri pada Islam. Ini menunjukkan bahwa transformasi dari Majapahit Hindu-Buddha menuju kerajaan-kerajaan Islam di Jawa bukanlah revolusi, melainkan evolusi sosial dan kultural yang berlangsung secara damai dan gradual.

Prasasti Patapan bukan sekadar artefak tembaga. Ia adalah penanda zaman, bukti historis bahwa dialog antara agama dan kekuasaan di Jawa telah berlangsung sejak abad ke-14 dengan intensitas yang mencengangkan. Lewat dokumen ini, kita melihat bahwa Islam di Jawa bukanlah agama pendatang yang merebut tahta, tetapi warisan yang diterima secara sah dan damai dari tangan raja Majapahit sendiri.

Dalam keheningan Patapan yang kini menjadi bagian dari lanskap sejarah Gresik, gema suara Maulana Malik Ibrahim masih terasa. Ia bukan hanya pendakwah, tapi peletak batu pertama sebuah peradaban besar—peradaban Islam Jawa—yang dibangun tidak dengan pedang, melainkan dengan dakwah, perdagangan, dan penghormatan terhadap tatanan lama. Itulah warisan sejati Patapan: bukan sekadar tanah, melainkan semangat toleransi dan transformasi.