JATIMTIMES – Dalam kehidupan, derajat seseorang di sisi Allah SWT tidak pernah ditentukan oleh status sosial, pekerjaan, atau penampilan luar. Semua ditakar dari satu hal: amal perbuatan. Dan kisah berikut ini menjadi bukti nyata betapa mulianya sebuah amal yang mungkin terlihat sederhana, namun bernilai luar biasa di hadapan Allah.
Kisah ini berasal dari sebuah riwayat dalam Kitab Durratu an-Nashihin Fi al-Wa'd wa al-Irsyad karya Utsman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir. Cerita ini kembali dipopulerkan dalam buku Lembaran Kisah Mutiara Hikmah karya Dian Erwanto. Tokoh utamanya bukanlah seorang nabi, raja, atau ulama besar, melainkan seorang tukang daging yang sederhana.
Baca Juga : Hari Selasa Menurut Islam: Ternyata Banyak Yang Salah Paham
Suatu ketika, Nabi Musa AS. berdoa kepada Allah, meminta petunjuk: “Ya Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku sahabat karibku kelak di surga nanti.”
Allah pun menjawab dengan satu arahan yang mengejutkan. Nabi Musa diminta pergi ke sebuah negeri dan menuju pasar di sana. Di tempat itu, Allah mengatakan ada seorang tukang daging yang kelak akan menjadi sahabat Nabi Musa di surga.
Tanpa ragu, Nabi Musa pun berangkat. Di pasar yang dimaksud, beliau mengamati seorang tukang potong hewan yang sedang bekerja. Nabi Musa tidak langsung menyapa. Ia menunggu hingga matahari mulai terbenam, lalu melihat laki-laki itu mengambil sepotong daging dan meletakkannya di sebuah keranjang. Ia pun mengikutinya dari kejauhan.
Ketika si tukang daging hendak pulang, Nabi Musa menyapanya dan bertanya, “Apakah engkau bersedia menerima tamu?”
Lelaki itu menjawab dengan ramah, “Ya, kami persilakan."
Nabi Musa pun ikut ke rumah tukang daging tersebut. Di sana, ia menyaksikan hal yang sangat menyentuh hati. Laki-laki itu segera memasak daging yang tadi ia bawa, menyajikannya menjadi makanan berkuah yang harum menggugah selera.
Setelah matang, ia masuk ke sebuah kamar dan menggendong seorang wanita renta keluar. Dengan lembut dan sabar, ia menyuapi sang wanita sedikit demi sedikit hingga kenyang. Tak hanya itu, ia juga memandikannya, mengganti pakaiannya dengan yang bersih, lalu mengembalikannya ke tempat tidur dengan penuh kasih.
Melihat pemandangan tersebut, Nabi Musa terdiam sejenak. Ia memperhatikan wanita tua itu yang meskipun lemah, masih mampu menggerakkan bibirnya. Nabi Musa pun mendekat dan mendengar bisikan doanya:
“Ya Tuhanku, tempatkanlah anakku di samping Nabi Musa kelak di surga-Mu.”
Baca Juga : Prof Muhammad Madyan Resmi Menjabat Rektor Unair Periode 2025-2030
Tersentak oleh doa itu, Nabi Musa pun bertanya, “Siapakah wanita ini?” Tukang daging itu menjawab, “Ia adalah ibuku. Tubuhnya sudah sangat lemah, bahkan untuk duduk pun tak mampu. Maka setiap hari, aku mengurusnya sebaik mungkin.”
Mendengar penjelasan itu, Nabi Musa tersenyum haru. Ia berkata, “Engkau memperoleh kabar gembira. Akulah Musa, dan engkaulah sahabat karibku kelak di surga.”
Tukang daging ini bukan seorang cendekia atau pemimpin umat. Namun karena baktinya yang luar biasa kepada ibunya, Allah mengangkat derajatnya hingga menjadi sahabat nabi di surga. Bakti kepada orang tua, terutama ibu, memang menjadi salah satu amal yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah SAW pun menegaskan hal ini dalam sabdanya, dari Abu Hurairah RA:
“Seseorang datang kepada Rasulullah dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Beliau menjawab, 'Ibumu!' Orang itu bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Rasul menjawab, 'Ibumu.' Orang itu bertanya kembali, 'Kemudian siapa?' Rasul menjawab, 'Ibumu.' Orang itu bertanya kembali, 'Kemudian siapa?' Rasul menjawab, 'Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari dan Muslim).