free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hukum dan Kriminalitas

Kronologi Kasus Korupsi Wilmar Group yang Catatkan Kerugian Negara Rp11,8 Triliun

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Penampakan sebagian dari uang Rp11,8 triliun yang disita Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi Wilmar Group. (Foto: YouTube)

JATIMTIMES - Kasus korupsi minyak goreng tengah menjadi trending dalam penelusuran Google hingga Selasa (17/6/2025) malam. Kasus ini ramai jadi sorotan setelah Kejaksaan Agung menyita Rp11.880.351.802.619, yang merupakan penyerahan dari lima terdakwa korporasi dalam Wilmar Group terkait kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO). 

“Bahwa dalam perkembangan lima terdakwa korporasi tersebut mengembalikan uang kerugian negara yang ditimbulkannya, yaitu Rp 11.880.351.802.619,” ujar Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, Sutikno, dikutip dari Antara, Selasa (17/6/2025). 

Baca Juga : Prof Muhammad Madyan Resmi Menjabat Rektor Unair Periode 2025-2030

Bagaimana sebenarnya kronologi kasus korupsi minyak goreng tersebut? Adapun Kejaksaan Agung mengungkap dugaan praktik suap dalam proses penanganan perkara yang melibatkan sejumlah korporasi besar, termasuk Wilmar Group. 

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menyampaikan bahwa Kejagung telah menetapkan empat tersangka dalam perkara ini, yakni Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG), serta dua pengacara, Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto Arnaldo (AR).

“Penyidik memperoleh alat bukti yang cukup telah terjadi tindak pidana korupsi, suap dan atau gratifikasi,” ujar Abdul Qohar. 

Kasus ini sejatinya bermula dari Muhammad Arif Nuryanta yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat perkara korupsi minyak goreng berlangsung pada awal 2022. Perkara ini melibatkan tiga korporasi besar, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.

Permata Hijau Group terdiri dari beberapa entitas seperti PT Nagamas Palmoil Lestari dan PT Permata Hijau Sawit. Putusan atas perkara ini tercatat dalam Nomor 39/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst, tertanggal 19 Maret 2024.

Wilmar Group juga dikenai putusan melalui perkara Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam grup ini antara lain PT Multimas Nabati Asahan dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

Sementara, Musim Mas Group terdiri dari tujuh entitas, termasuk PT Musim Mas dan PT Mikie Oleo Nabati Industri, dengan putusan Nomor 41/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai ketiga korporasi tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor CPO. Ketiganya dituntut membayar denda masing-masing Rp 1 miliar.

JPU juga menuntut pidana tambahan berupa uang pengganti, yakni Permata Hijau Group sebesar Rp 937,5 miliar, Wilmar Group sebesar Rp 11,88 triliun, dan Musim Mas Group sebesar Rp 4,89 triliun.

Namun, majelis hakim berpendapat lain. “Namun terhadap tuntutan tersebut masing-masing terdakwa korporasi diputus terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging),” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar.

Dalam perkembangannya, Kejagung menetapkan Head of Social Security and License Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY), sebagai tersangka baru. Ia diduga memberikan suap kepada hakim agar putusan lepas dapat dikeluarkan dalam perkara CPO tersebut.

“Menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY, di mana yang bersangkutan sebagai social security legal Wilmar Group berinisial MSY,” kata Qohar.

Menurut Qohar, dugaan suap hakim berawal dari adanya pertemuan pengacara tiga korporasi, Ariyanto Bakri, dengan panitera Wahyu Gunawan. Dalam pertemuan itu, Wahyu menyampaikan bahwa perkara minyak mentah harus diurus jika tidak ingin diputus maksimal.

“Dalam pertemuan tersebut Wahyu Gunawan juga menyampaikan agar Ariyanto yang dalam hal ini selaku kuasa hukum korporasi untuk menyiapkan biaya pengurusannya,” ucap Qohar.

Ariyanto lalu menyampaikan hal ini kepada Marcella Santoso yang kemudian bertemu dengan Muhammad Syafei. Di rumah makan kawasan Jakarta Selatan, Marcella menyampaikan bahwa perkara bisa diurus dan Wahyu siap membantu.

Baca Juga : Komitmen Percepatan Pemanfaatan KKPD, Pemerintah Kota Malang Raih Penghargaan

“Setelah mendapat informasi tersebut Muhammad Syafei menyampaikan bahwa sudah ada tim yang mengurusnya,” lanjut Qohar.

Dua minggu kemudian, Wahyu kembali menghubungi Ariyanto dan meminta agar perkara segera diurus. Permintaan ini kembali diteruskan ke Marcella yang lalu bertemu lagi dengan Muhammad Syafei.

“Saat itu Muhammad Syafei memberitahukan atau mengatakan bahwa biaya yang disediakan oleh pihak korporasi sebesar Rp 20 miliar,” kata Qohar.

Tak lama kemudian, Wahyu, Ariyanto, dan Muhammad Arif Nuryanta bertemu di rumah makan di kawasan Kelapa Gading. Dalam pertemuan itu, Arif menyampaikan bahwa perkara tidak bisa diputus bebas, tetapi bisa dijadikan ontslag. Ia pun meminta uang Rp 60 miliar.

“Selanjutnya, setelah pertemuan tersebut Wahyu Gunawan menyampaikan lagi pada Ariyanto agar segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar,” jelas Qohar.

Marcella yang mendapat info dari Ariyanto, langsung menghubungi Syafei. Syafei menyanggupi permintaan itu dan mengatakan dana akan disiapkan dalam bentuk dolar Amerika Serikat atau Singapura.

Tiga hari kemudian, Syafei menghubungi Marcella untuk menyampaikan bahwa uang Rp 60 miliar sudah siap. Ia lalu meminta nomor Ariyanto untuk penyerahan uang.

“Setelah ada komunikasi antara Ariyanto dengan Muhammad Syafei, kemudian Ariyanto bertemu dengan Muhammad Syafei di parkiran SCBD,” kata Qohar.

Uang tersebut kemudian diantarkan Ariyanto ke rumah Wahyu Gunawan dan diteruskan ke Arif Nuryanta. “Uang tersebut oleh Wahyu Gunawan kemudian diserahkan pada Muhammad Arif Nuryanta dan saat penyerahan tersebut Muhammad Arif Nuryanta memberikan uang kepada Wahyu Gunawan sebanyak 50.000 USD,” ungkap Qohar.

Berdasarkan keterangan saksi dan dokumen yang dikumpulkan, penyidik menyimpulkan telah memiliki dua alat bukti cukup untuk menetapkan MSY sebagai tersangka.

Muhammad Syafei saat ini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung. Ia disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1), Pasal 13, Pasal 18 UU Tipikor, serta Pasal 55 KUHP.

Dengan penetapan MSY, total sudah ada delapan tersangka dalam perkara ini, yaitu:
• Muhammad Arif Nuryanta (MAN)
• Wahyu Gunawan (WG)
• Ariyanto Bakri (AR)
• Marcella Santoso (MS)
• Djuyamto (DJU)
• Agam Syarif Baharuddin (ASB)
• Ali Muhtarom (AM)
• Muhammad Syafei (MSY).