free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Pemerintahan

Kritisi DPRD Kota Malang Soal Pajak 10% Usaha Omzet Rp15 juta, Roy Shakti: Bantu Rakyat Makin Menderita 

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi pajak. (Foto: Shutterstock)

JATIMTIMES - Peraturan Daerah (Perda) soal pajak UMKM yang baru saja disahkan DPRD Kota Malang menuai reaksi keras dari berbagai pihak. Salah satu yang paling vokal adalah Roy Shakti, tokoh asal Malang yang dikenal sebagai konsultan keuangan dan pelaku usaha kuliner.

Lewat akun TikTok-nya @royshakti, Roy menyentil DPRD Kota Malang dengan nada sarkas. Ia mengkritik kebijakan yang menetapkan pajak 10 persen bagi UMKM dengan omzet minimal Rp 15 juta per bulan.

Baca Juga : Inisiasi Program GoodDrop, Djoko Prihatin Ajak Warga Tukar Minyak Jelantah dapat Sayur

“DPR Kota Malang itu adalah DPR terbaik se-Indonesia, disaat DPR yang lain lagi ketiduran, mereka (DPRD Kota Malang) bekerja dan Apa hasilnya? Perda pajak untuk pengusaha UMKM dengan omzet di atas 15 juta dikenakan pajak 10%,” ungkap Roy, dikutip Selasa (17/6/2025). 

Roy mengaku heran dengan logika disahkan-nya perda tersebut. Ia menilai kebijakan itu memberatkan pelaku usaha kecil. Ia bahkan menyebut DPRD Kota Malang “jos” dalam membuat rakyat makin susah.

“UMKM omzet bukan profit, 15 juta kena pajak 10%. 15 juta mbok pikir pedagang-pedagang ini lonte, kalau punya omzet 15 juta paling modal kondom doang gitu. Ini kita melihat pedagang-pedagang kecil, omzet 15 juta kalau kita ngomong profitnya 10% tuh cuma 1,5 juta, jauh di bawah UMR, ini masih disuruh kena pajak daerah 10%. Ini memang DPR Malang jos,” lanjutnya.

“Warga Malang Anda patut berbangga ya, semoga warga Malang sukses. Saya sebagai warga Malang, saya bangga punya DPR yang paling wadidawaw di Indonesia, DPR Kota Malang kerjanya jos, membantu rakyat untuk semakin menderita. Salam satu jiwa,” tambah Roy.

Unggahan Roy menuai beragam komentar dari warganet. Mayoritas ikut menyayangkan perda tersebut yang dinilai tidak berpihak pada pelaku UMKM.

“Padahal Dirjen Pajak pusat batasi UMKM yg kena pajak itu yg omsetnya di atas 500 juta, kena tarif juga hanya 0,5% ini Pemda Malang studi banding di mana yaak? 15 juta itu kecil loh  mana tarif 10% lagi,” tulis akun @Tik Toker****. 

“Omset 15 jt nyari untung 1 jt aja sdh ngos-ngosan,, ini dipalak 1,5 sm pemerintah, otak mana otak.” @fa**

Ada juga yang mempertanyakan logika perda tersebut, mengingat yang dikenai pajak adalah omzet, bukan keuntungan bersih. “Kalo profit sih oke ini omset loh, transaksi doang. Misal transaksi lo 15 jt tp untungnya cuma 500rb (ya tetap) kena pajak,” kata akun @し****.

“Kantor DPR obong ae mas,,gak ono gunane kanggo rakyate.” @pruduk ga***.

“Omset 15jt pajak 10% jadi 1,5jt. Nah profitnya klo dpt 15jt itu saya 6jt. 6jt dikurangi gaji karyawan, listrik dll jadi 3jt. 3jt dikurangi lagi 1,5jt buat pajak. Mending turuo ae timbang gae aturan gendeng.” @Mbak Ge****. 

Baca Juga : Komisi D DPRD Surabaya Dukung Penertiban Parkir Liar

Sebelumnya, Perda soal pajak dan retribusi daerah ini disahkan DPRD Kota Malang dalam rapat paripurna, Kamis (12/6/2025). Namun, pembahasan sempat berjalan alot. Fraksi PKB sempat menyampaikan keberatan dan meminta agar batas omzet minimal dinaikkan menjadi Rp 25 juta.

Anggota Fraksi PKB, Arif, menyoroti bahwa perda tersebut seharusnya memberi perlindungan pada pelaku usaha kecil, termasuk PKL. Namun, ia menyayangkan karena tidak ada satu pun pasal yang secara tegas menyebutkan perlindungan terhadap pedagang kecil.

“Harusnya perda ini melindungi PKL, tapi tidak ada satu kata pun yang menyebutkan PKL atau tenda bongkar pasang. Yang ada hanya kata-kata restoran,” kata Arif.

Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menjelaskan bahwa batasan omzet yang ditetapkan dalam perda adalah hasil kompromi bersama.

“Dari batasan omzet awalnya sebesar Rp 5 juta naik menjadi Rp 15 juta sudah menjadi hal luar biasa,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa proses penyusunan perda butuh evaluasi dan harus dikawal pelaksanaannya. Salah satunya adalah melalui peraturan turunan, seperti Peraturan Wali Kota.

“Namanya membuat Perda itu memang membutuhkan sebuah evaluasi. Kalau kemudian sudah di-dok, pelaksanaannya ya harus kita kawal, termasuk Perwali,” jelas Amithya.