JATIMTIMES - Setelah bara Perang Jawa (1825–1830) padam, Yogyakarta tidak serta-merta menemukan kestabilannya. Sebaliknya, kota kraton itu justru memasuki fase baru yang lebih kompleks: masa pemerintahan "bayangan" di balik takhta seorang sultan kecil. Hamengkubuwana V, yang ketika itu belum genap berusia dua tahun saat diangkat sebagai Sultan, tidak berada dalam posisi mengendalikan kerajaan. Yang mengemuka bukanlah pribadi sang raja, melainkan sistem kekuasaan pengampu yang melingkupinya. Dalam konteks ini, Yogyakarta menjadi laboratorium politik kolonial, tempat kekuasaan tradisional Jawa direkonstruksi, dijinakkan, dan dimodifikasi dalam bingkai pengawasan kolonial Belanda.
Sebuah manuskrip langka dalam bahasa Jawa, berasal dari koleksi Taco Roorda dan kini tersimpan di Universitas Leiden, memberikan gambaran terperinci mengenai dinamika internal Kraton Yogyakarta dari 1832 hingga 1834. Manuskrip tersebut memuat tiga puluh satu notula Dewan Kerajaan, lembaga pemerintahan yang dalam praktiknya berfungsi sebagai pengendali utama administrasi dan kebijakan istana selama sang sultan masih di bawah umur.
Baca Juga : Mengenal Sosok Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran yang Ditarget Israel
Dewan ini terdiri dari para pengampu Sultan: Panembahan Mangkurat, Pangeran Mlangkubumi, dan Pangeran Adiwinata, didampingi oleh Patih Danureja IV, Residen Belanda, serta Asisten Residen. Mereka bukan sekadar penasihat, melainkan pemegang kekuasaan de facto, mengatur jalannya pemerintahan dengan legitimasi yang dibingkai dalam sistem hukum dan administratif kolonial. Sejak 13 November 1830, sepuluh hari setelah perjanjian damai dengan Yogyakarta ditandatangani, peran para pengampu dikuatkan melalui dekret resmi. Mereka diwajibkan menyelenggarakan sidang setidaknya seminggu sekali, dengan protokol kegiatan yang harus dicatat secara tertib.
Notula-notula ini memperlihatkan pertarungan kepentingan, tarik-menarik pengaruh, dan cara bagaimana kolonialisme mengintervensi kekuasaan lokal. Dari catatan yang tersisa, terlihat bahwa di tahun 1832 hanya tiga bulan pertama yang terdokumentasi, tahun 1833 menyimpan empat belas pertemuan, dan tahun 1834 tercatat sepuluh sidang. Meskipun tidak lengkap, dokumen-dokumen ini menyuguhkan potret mikroskopik tentang bagaimana Yogyakarta dikelola dalam situasi pasca-konflik.
Penting untuk dicatat bahwa konflik antar pengampu, yang semula turut menjadi sebab pecahnya Perang Jawa, belum sepenuhnya diredam. Justru, ketegangan itu terlanjut ke periode pasca-perang dan menjadi salah satu alasan mengapa sistem pengampu diperketat oleh Belanda. Dengan cara ini, kolonial berusaha mengatur ulang dinamika kekuasaan lokal demi memastikan kestabilan politik dan kelancaran administrasi kolonial.
Pengaruh Belanda terlihat jelas dalam relasi kuasa di Kraton. Tidak hanya melalui pengawasan langsung lewat residen dan asistennya, tetapi juga melalui pembatasan hubungan eksternal kraton. Sepanjang 1830 hingga 1834, hanya sedikit interaksi diplomatik yang tercatat. Kraton tidak memiliki hubungan terbuka dengan kerajaan lain di Nusantara, kecuali Surakarta. Bahkan itu pun sangat terbatas, kemungkinan besar dilakukan secara diam-diam agar tidak melanggar batasan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial.
Hubungan resmi Kraton Yogyakarta diarahkan ke Batavia dan Negeri Belanda. Salah satu bentuk pengendalian hubungan eksternal ini tampak dalam tradisi tukar-menukar hadiah. Meskipun kelihatan bersifat simbolik, praktik ini sarat makna politik. Pada Juli 1834, misalnya, Dewan Kerajaan menyetujui pembelian lima ekor kuda untuk dijadikan hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C. Baud yang akan berkunjung ke Yogyakarta. Hadiah-hadiah ini, dalam konteks politik patron-klien, menjadi cara untuk merawat hubungan baik, sekaligus menegaskan hierarki kekuasaan antara raja Jawa dan otoritas kolonial.
Belanda, dalam hal ini, menerapkan logika timbal balik yang terukur. Nilai setiap hadiah dihitung dan ditakar agar bisa dibalas dengan barang setara. Apabila barang balasan tidak sesuai selera atau tidak laku, maka akan dikirim ke Museum Masyarakat Batavia sebagai artefak. Namun bagi raja-raja Jawa, seperti halnya Hamengkubuwana V dan Pakubuwana VII di Surakarta, pemberian hadiah semacam ini bukan sekadar bentuk keramahtamahan. Ini adalah strategi diplomatik untuk mempertahankan relevansi, kekuasaan simbolik, dan pengaruh di tengah sistem kekuasaan kolonial yang membatasi ruang gerak mereka.
Pada 1851, Sunan Pakubuwana VII mengirim sebilah keris emas dan dua tombak berhias permata untuk Raja Belanda, yang dibalas dengan sebilah pedang mewah. Tak mau kalah dalam permainan simbolik ini, Kraton Yogyakarta segera mengirim hadiah serupa melalui Residen J. Hasselman menjelang masa pensiunnya. Ini menunjukkan betapa persaingan antarkeraton tetap berlangsung di balik bayang-bayang kolonialisme, dengan simbol-simbol budaya sebagai alat diplomasi yang sarat makna.
Seluruh dinamika ini berlangsung di bawah permukaan kekuasaan formal Hamengkubuwana V. Meskipun secara sah ia adalah raja, faktanya roda pemerintahan dijalankan oleh para bayangannya: pengampu, patih, residen. Sistem pengampu ini akhirnya dibubarkan pada 1836, ketika Hamengkubuwana V dianggap cukup dewasa untuk memegang kendali secara langsung. Namun, warisan dari masa pemerintahan bayangan itu terus membentuk wajah politik internal Yogyakarta, terutama dalam hal ketergantungan pada struktur kolonial dan kecenderungan internalisasi sistem administrasi Belanda.
Masa pengampu pasca-Perang Jawa bukanlah sekadar transisi. Ia adalah fase restrukturisasi politik, di mana kekuasaan tradisional Jawa tidak lagi otonom sepenuhnya, melainkan menjadi bagian dari sistem kolonial yang lebih besar. Dengan menjadikan pengampu sebagai pengendali utama, Belanda berhasil menjaga stabilitas sambil mengurangi potensi pemberontakan. Tapi di balik kestabilan itu, terbentang dilema besar: hilangnya kedaulatan raja, lemahnya inisiatif politik lokal, dan berubahnya kraton menjadi birokrasi simbolik dalam bayang-bayang kolonialisme.
Kajian dokumenter ini menunjukkan bahwa memahami sejarah Yogyakarta pasca-1830 bukan hanya soal membaca nama-nama raja atau tanggal pengangkatan. Yang lebih penting adalah membedah jaringan kuasa, dokumen administratif, serta rekaman pertemuan resmi yang memberi gambaran lebih jernih tentang bagaimana politik kolonial bekerja dalam struktur kekuasaan tradisional Jawa. Dengan menghidupkan kembali dokumen Jawa yang selama ini tersimpan di Leiden, kita tak hanya merestorasi arsip sejarah, tapi juga menyibak wajah kolonialisme yang beroperasi secara halus namun sistemik dalam relung terdalam kekuasaan lokal.
Hamengkubuwana V: Raja Anak-Anak dalam Pusaran Kolonialisme dan Diplomasi Kebudayaan
Di tengah gelombang kolonialisme yang mengguncang Jawa pada paruh pertama abad ke-19, sejarah mencatat munculnya seorang penguasa muda dari jantung Kesultanan Yogyakarta: Sri Sultan Hamengkubuwana V. Lahir sebagai Gusti Raden Mas Gatot Menol pada 20 Januari 1821, ia menjadi simbol dari transisi kekuasaan yang genting, ketika pengaruh politik Belanda semakin mencengkeram istana Jawa, dan kekuasaan pribumi tengah berada dalam ancaman sistemik.
Ayahandanya, Sultan Hamengkubuwana IV, wafat secara mendadak pada usia muda pada tahun 1823, meninggalkan tahta kepada seorang putra berusia tiga tahun. Dalam sistem kerajaan yang menganut kekuasaan turun-temurun, pengangkatan seorang balita sebagai raja bukan hanya soal legitimasi dinasti, melainkan juga membuka celah bagi intervensi kekuatan luar. Situasi ini melahirkan sebuah sistem kekuasaan baru yang dikenal sebagai "Rezim Pengampu": sebuah dewan wali yang secara formal mengelola urusan kerajaan sembari menunggu sang raja dewasa.
Dewan ini bukan sembarang kumpulan bangsawan. Di dalamnya duduk tokoh-tokoh penting seperti Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana III), Ratu Kencono (ibu sultan muda), Pangeran Mangkubumi (putra Hamengkubuwana II), dan Pangeran Diponegoro, tokoh karismatik yang kelak menjadi musuh utama pemerintah kolonial. Meskipun mereka memegang gelar dan nama besar, kekuasaan praktis tetap berada di tangan Patih Danurejo III yang bekerja di bawah komando Residen Belanda. Sejak itulah, benih-benih dominasi kolonial Belanda terhadap struktur internal Keraton Yogyakarta semakin kuat berakar.
Periode ini berlangsung dalam bayang-bayang ketegangan dan pemberontakan. Pangeran Diponegoro, yang semula menjadi bagian dari sistem pengampu, merasa tidak puas terhadap intervensi kolonial, khususnya terkait penyewaan tanah dan pelanggaran nilai-nilai adat. Pada tahun 1825, ia mengangkat senjata dan memulai sebuah perang gerilya besar-besaran yang dikenal sebagai Perang Jawa. Konflik yang berlangsung selama lima tahun ini bukan hanya membakar wilayah Mataram, tetapi juga mengoyak fondasi kekuasaan tradisional dan mempercepat militerisasi sistem pemerintahan.
Baca Juga : Berkelahi di Hajatan, Dua Orang 'Jagoan' Damai di Depan Polisi
Selama perang tersebut, peran raja muda dalam praktiknya diambil alih oleh Sultan Hamengkubuwana II—kakek buyutnya yang pernah dibuang ke Ambon dan kemudian dikembalikan oleh Belanda demi menjaga stabilitas. Ia kembali memerintah dari tahun 1826 hingga 1828 sebelum wafat. Kepergiannya membuka jalan bagi Gatot Menol untuk melanjutkan takhta secara simbolik, meskipun kekuasaan riil masih dikontrol oleh para pengampu dan pejabat kolonial.
Baru pada tahun 1836, ketika Gatot Menol berusia 16 tahun, ia dinyatakan dewasa secara politik dan resmi dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penobatannya menandai babak baru dalam sejarah Yogyakarta: sebuah kerajaan yang baru saja bangkit dari trauma Perang Jawa, dipenuhi luka, dan dihantui ketidakpastian.
Namun, alih-alih mengikuti jejak konfrontatif Pangeran Diponegoro atau gaya keras Hamengkubuwana II, Hamengkubuwana V mengambil jalur berbeda. Ia menolak konfrontasi terbuka terhadap Belanda dan memilih jalur diplomatik serta kebudayaan sebagai basis kekuasaannya. Pendekatannya ini mengundang banyak kritik, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat. Di mata sebagian tokoh tradisional, Hamengkubuwana V dianggap terlalu akomodatif terhadap kekuasaan kolonial, bahkan lemah dalam memimpin.
Tetapi dalam kacamata historiografi, strategi Hamengkubuwana V memperlihatkan kecerdasan politis seorang pemuda yang tumbuh dalam pusaran dominasi asing. Ia menyadari bahwa kekuatan militer keraton sudah tak lagi mampu melawan kekuatan kolonial yang terstruktur dan modern. Maka ia membangun jaringan kekuasaan berbasis simbol dan budaya. Dalam masa pemerintahannya, Hamengkubuwana V aktif mengembangkan kesenian keraton, memperkuat pelestarian naskah-naskah klasik Jawa, dan mendorong pengrajin keris untuk menciptakan pusaka baru sebagai simbol kekuasaan spiritual dan kultural keraton.
Salah satu aspek penting dalam masa kekuasaannya adalah mekanisme pemerintahan yang dibentuk bersama Residen dan Dewan Kerajaan. Antara 1830 hingga 1836, keraton Yogyakarta diperintah melalui Dewan Kerajaan yang terdiri atas tiga pengampu utama: Panembahan Mangkurat, Pangeran Mlangkubumi, dan Pangeran Adiwinata. Bersama dengan Patih dan pejabat kolonial (Residen dan Asisten Residen), mereka menyelenggarakan musyawarah mingguan dalam bentuk sidang Dewan Kerajaan. Catatan notula pertemuan ini, yang ditemukan dalam manuskrip Jawa koleksi Taco Roorda dan tersimpan di Universitas Leiden, memberikan gambaran rinci tentang dinamika birokrasi keraton pasca-Perang Jawa.
Dalam notula-notula tersebut, terlihat bahwa Sultan muda seringkali masih berada dalam posisi pasif. Banyak keputusan penting diambil oleh para pengampu, sementara Sultan hanya menjadi simbol. Baru setelah 1836, setelah dinyatakan dewasa, barulah Sultan mengambil alih roda pemerintahan secara penuh.
Namun perjalanan Hamengkubuwana V tidak hanya tentang manuver politik resmi. Di balik dinding keraton, Sultan membentuk jaringan informal berupa “Klub Rahasia”, sebuah kelompok elit yang terdiri dari bangsawan dan pejabat muda. Didirikan sekitar tahun 1845, klub ini menjadi ruang diskusi, konspirasi, bahkan perlawanan terselubung terhadap elite-elite lama keraton dan pengaruh kolonial. Di sinilah Hamengkubuwana V menunjukkan sisi revolusionernya yang tersembunyi: ia tidak sekadar penguasa boneka, melainkan pemikir politik yang cerdas dan adaptif dalam medan kekuasaan yang telah berubah.
Namun masa pemerintahannya tak berlangsung lama. Pada 5 Juni 1855, Hamengkubuwana V wafat secara mendadak dan misterius. Kematian ini menimbulkan berbagai spekulasi, termasuk kemungkinan adanya konflik internal istana yang berujung pada pembunuhan. Ia dimakamkan di Pajimatan Imogiri, tempat persemayaman para raja Mataram.
Wafatnya Sultan Hamengkubuwana V menimbulkan kekosongan suksesi. Istri pertamanya, GKR Kencono, tidak memiliki keturunan, sementara istri keduanya, GKR Sekar Kedhaton, sedang hamil. Karena keturunan HB V belum lahir dan belum bisa menuntut tahta, maka takhta diserahkan kepada adiknya, Raden Mas Mustojo, yang kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana VI.
Dalam retrospeksi historiografis, Hamengkubuwana V adalah sultan yang hidup di tengah dilema sejarah: antara warisan feodal, tekanan kolonial, dan modernisasi budaya. Ia bukan sultan besar dalam arti militeristik, tetapi pemimpin transisional yang memperjuangkan kelangsungan identitas keraton dalam bentuk yang halus namun signifikan. Kepemimpinannya mencerminkan pergeseran orientasi kekuasaan Jawa dari kekuatan fisik ke kekuatan simbolik, dari perang terbuka ke diplomasi senyap.
Ia adalah raja yang dibentuk oleh luka masa lalu, namun tetap mencoba menulis masa depan bagi kerajaannya — bukan dengan pedang, melainkan dengan pena, naskah, seni, dan kesabaran politik. Dalam sejarah panjang Kesultanan Yogyakarta, namanya mungkin tak selalu berada di barisan atas, tetapi jejaknya tetap abadi sebagai pengemban tradisi di masa genting dan penjaga martabat budaya di tengah gempuran kolonialisme.