JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-15, ketika Majapahit mulai menunjukkan gejala disintegrasi kekuasaan dan pusat-pusat wilayah mulai mencari otoritas baru yang lebih sahih secara politik maupun spiritual, muncul seorang tokoh penting yang kelak akan dikenang sebagai pahlawan lokal, penegak ketertiban, dan perintis Islamisasi di pesisir timur Sumatra: Arya Damar, atau yang kemudian dikenal dengan nama Ario Abdillah.
Dalam sumber-sumber historiografi lokal Palembang, nama Ario Abdillah bukan sekadar disebut sebagai Adipati pertama Palembang pasca-kekacauan, tetapi sebagai figur sentral yang menjadi penghubung antara era keemasan Hindu-Buddha Majapahit dengan ekspansi spiritual Islam di Sumatra bagian selatan.
Baca Juga : 15 Kuliner Legendaris Khas Malang yang Wajib Dicoba Saat Liburan
Makamnya yang terletak di Kebun Sahang, KM 4 Palembang, tepat di depan Makam Pahlawan kota itu, menjadi saksi bisu transformasi besar-besaran dalam lanskap politik dan keagamaan Palembang.
Asal-usul dan Latar Majapahit
Menurut Babad Tanah Jawi dan berbagai silsilah istana, Arya Damar atau Ki Dilah adalah putra Sri Maharaja Brawijaya V Majapahit (Sri Kertawijaya atau Wijaya Parakramawardhana, memerintah 1447–1451 M) dari seorang putri denawa bernama Endang Sasmitapura.
Sebagai anak dari hubungan politik-ritual antara raja Majapahit dan penguasa lokal Bhairawa-tantra, kelahiran Ki Dilah menyimpan stigma—ia tidak dilahirkan dalam struktur resmi keraton. Konon, ibunya diusir dari istana sebelum melahirkan, dan Ki Dilah lahir di hutan Wanasalam, wilayah selatan pusat Majapahit.
Pengasuhan Ki Dilah jatuh ke tangan Ki Kumbarawa, seorang pertapa dan pengajar ajaran kesaktian serta Bhairawa-tantra. Sebutan "denawa" dalam Babad Tanah Jawi merujuk kepada penganut Syiwa-Buddha Bhairawa, sebuah sekte esoteris yang dikenal dengan praktik ekstrem dan ritual pancamakara—termasuk penggunaan simbolis (dan kadang literal) unsur darah dan pengorbanan.
Dalam tradisi lisan Bali yang dihimpun oleh C.C. Berg dan Th.G.Th. Pigeaud, tokoh Arya Damar digambarkan sebagai pendekar tak terkalahkan, pahlawan Majapahit yang menumpas pemberontakan Parameswara dan Bhre Daha. Dalam Carita Damarwulan, yang konon ditulis oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, Arya Damar ditugaskan oleh Rani Suhita untuk menumpas makar Bhre Daha—tugas yang berhasil ia jalankan dengan kegemilangan.
Kekacauan yang terjadi di Palembang pasca-perang saudara dan intervensi bajak laut Cina seperti Liang Tau Ming, Cheng Po-ko, Chen Tsui, dan Shi Chin Ching menjadikan kota tua Sungai Musi itu sebagai pusat perompakan dan anarki. Dalam konteks inilah Majapahit mengirim Arya Damar untuk memulihkan ketertiban. Setelah berhasil memukul mundur para bajak laut dan menstabilisasi wilayah tersebut, Arya Damar diangkat sebagai Adipati Palembang.
Namun, pada masa awal pemerintahannya, Arya Damar masih memeluk keyakinan Syiwa-Buddha Bhairawa. Perubahan spiritualnya terjadi ketika Sunan Ampel, dalam perjalanan dari Champa ke Jawa, singgah di Palembang dan berdakwah. Melalui dialog dan proses pemahaman mendalam, Arya Damar akhirnya memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Ario Abdillah.
Transformasi ini tidak hanya simbolik, tetapi juga strategis. Sebagai pemimpin yang paham jiwa masyarakat Buddha-Srivijaya, Ario Abdillah menggunakan pendekatan kultural dan intelektual untuk menyebarkan Islam. Keberhasilannya kontras dengan kegagalan awal Syarif Husin Hidayatullah (alias Rio Minak Usang Sekampung) yang sebelumnya ditolak masyarakat pedalaman karena dianggap sebagai pendakwah asing.
Dakwah Ario Abdillah di Danau Pedamaran berhasil mengislamkan banyak penduduk, termasuk mereka yang sebelumnya menyingkir dari ajakan Syarif Husin Hidayatullah. Keberhasilan inilah yang kemudian membuat wilayah tersebut dikenal dengan nama "Pedamaran".
Jejak Genealogi: Bali, Madura, dan Jawa
Peran Arya Damar tidak berhenti pada tataran politik dan spiritual lokal Palembang. Dalam dokumen historiografi kerajaan Tabanan di Bali, disebutkan bahwa Bhatara Arya Damar adalah leluhur raja-raja Tabanan melalui keturunannya, Arya Yasan. Tradisi penggunaan gelar "Kyai" di lingkungan bangsawan Tabanan—Kyai Nengah, Kyai Gede, Kyai Dangin, dll—adalah indikasi kesinambungan genealogis dari Arya Damar. Hal serupa juga ditemukan dalam prasasti di Komplek Makam Lumenggung Pusponegoro.
Di Madura, tokoh Arya Damar dianggap sebagai moyang dari para bangsawan dan raja-raja lokal. Dalam silsilah raja-raja Madura, ia menurunkan Arya Menak Sunaya, kakek Kyai Demang Pelakaran dan para pendiri dinasti seperti Cakraningrat dan Ario Adikoro.
Sementara itu, di Jawa, Arya Damar menurunkan Raden Kusen, Adipati Terung, yang merupakan saudara seibu Raden Patah. Keduanya lahir dari ibu yang sama, yakni Siu Ban Ci, seorang putri Tiongkok yang sebelumnya menjadi selir Prabu Kertawijaya (Brawijaya V), kemudian diberikan kepada Arya Damar.
Raden Kusen inilah yang menjadi cikal bakal garis genealogis para bupati pesisir utara Jawa, seperti Gresik, Lamongan, Bangil, dan Pasuruan. Gelar-gelar seperti Kyai Tumenggung Pusponegoro, Joyonegoro, dan Mangunadirjo mencerminkan kesinambungan identitas keulamaan sekaligus aristokratik dari keturunan Arya Damar.
Raden Kusen menikah dengan Nyai Wilis, cucu dari Sunan Ampel, dan dari pernikahan ini lahirlah tokoh-tokoh penting seperti Arya Balitar (Adipati Blitar) dan Arya Terung, yang juga dikenal sebagai Adipati Sengguruh atau Ki Ageng Sengguruh, penguasa wilayah Sengguruh di Malang Selatan.
Salah satu anak Ario Abdillah dari pernikahannya dengan Nyai Sahilan—putri dari Rio Minak Usang Sekampung (Syarif Husin Hidayatullah)—adalah Raden Sahun atau Pangeran Panandarang, yang kemudian menjadi Adipati Semarang. Dari keturunannya inilah muncul tokoh besar penyebar Islam di pedalaman Jawa: Sunan Tembayat.
Sementara Raden Kusen dan Raden Patah—yang besar dalam asuhan Islam di Palembang—kembali ke Jawa dan berguru kepada Sunan Ampel. Keduanya menjadi tokoh sentral dalam dinamika akhir Majapahit dan lahirnya Kesultanan Demak.
Ketika kita menyimak historiografi Nusantara dari Bali, Madura, Palembang hingga Jawa, nama Arya Damar atau Ario Abdillah menjadi simpul penghubung antara dunia lama Majapahit dan dunia baru Islam Nusantara. Ia bukan sekadar adipati, bukan sekadar mualaf, tetapi penggerak zaman: pejuang Bhairawa yang menjadi da’i, penakluk pemberontakan yang menjadi guru ruhani.
Baca Juga : Sunan Amangkurat I dan Kota Bata Plered: Mimpi yang Dibangun dengan Tangan Besi
Transformasi spiritual dan politik Arya Damar mencerminkan transformasi kultural lebih luas di Nusantara menjelang keruntuhan Majapahit dan menjelang kebangkitan kekuasaan Islam lokal. Maka tepat kiranya bila para raja dan bangsawan di Bali, Madura, dan pesisir utara Jawa menyebut nama Arya Damar sebagai moyang agung mereka—tokoh lintas zaman yang mewariskan keberanian, keteguhan, dan keluhuran dalam pusaka sejarah panjang Indonesia.
Darah Arya Damar: Dari Madura ke Mataram, Melahirkan Trunajaya dan Diponegoro
Dalam sejarah panjang dan berliku Nusantara, narasi arus utama kerap terpusat pada kekuasaan Jawa Tengah dan Yogyakarta, melupakan denyut sejarah dari kawasan pesisir dan pinggiran. Namun, jika silsilah ditelusuri dengan cermat, maka terkuaklah satu jalur darah yang tak kalah penting dalam membentuk wajah sejarah Jawa: garis keturunan dari Arya Damar, tokoh Palembang abad ke-15 yang menjadi penghubung antara Majapahit, Islamisasi Nusantara, dan kebangkitan perlawanan terhadap kekuasaan pusat dan kolonial. Melalui jalur ini, lahirlah dua figur besar dalam sejarah perlawanan Jawa: Raden Trunajaya dan Pangeran Diponegoro.
Arya Damar, yang oleh babad dikisahkan sebagai putra Prabu Brawijaya V dari Majapahit, merupakan Adipati Palembang yang turut memainkan peran dalam penyebaran Islam di Sumatra bagian timur dan pantai utara Jawa. Salah satu keturunannya, Arya Menak Sunaya, bermigrasi ke Madura dan mendirikan fondasi aristokrasi lokal Islam. Dari garis keturunan inilah muncul Dinasti Arosbaya di Madura Barat, bermula dari Kiai Demang Plakaran—tokoh berdarah campuran Majapahit dan keturunan spiritual Sunan Giri.
Penerusnya, Panembahan Lemah Duwur, merupakan sosok visioner yang memindahkan pusat kekuasaan ke Lemah Duwur, simbol perubahan dari kerajaan agraris ke kekuatan maritim dagang. Di bawah kepemimpinannya, Arosbaya menjelma menjadi simpul strategis antara Madura, pesisir Jawa Timur, dan kekuasaan baru di Pajang, dengan mengikat aliansi melalui perkawinan.
Namun masa jaya ini runtuh saat Sultan Agung dari Mataram melancarkan ekspedisi ke Madura tahun 1624. Kerajaan Arosbaya dihancurkan, dan hanya Raden Prasena—putra Pangeran Tengah—yang selamat, dibawa ke Mataram dan dijadikan menantu Sultan.
Diangkat sebagai Cakraningrat I, ia menjadi awal mula dinasti Madura dalam struktur feodal Mataram. Dari garis keturunan Raden Prasena inilah lahir Demang Malayakusuma, bangsawan Madura yang dikenal gigih dan berwatak keras, yang kelak menjadi ayah kandung Raden Trunajaya—sang pemberontak legendaris yang mengguncang takhta Mataram pada paruh akhir abad ke-17.
Raden Trunajaya, cucu Cakraningrat I, tumbuh dalam bayang-bayang tragedi Arosbaya dan subordinasi Madura di bawah kekuasaan Jawa. Pada dekade 1670-an, ia memimpin pemberontakan yang menjungkirbalikkan tatanan kekuasaan Mataram dan membuat VOC kalang kabut. Pemberontakannya bukan sekadar upaya militer, melainkan ekspresi dari trauma sejarah dan panggilan darah leluhur.
Didukung oleh Karaeng Galesong dari Gowa dan spiritualis anti-Mataram seperti Raden Kajoran, Trunajaya merebut Keraton Plered, memaksa Amangkurat I melarikan diri, dan mengguncang sendi kerajaan agraris yang didirikan Panembahan Senapati. Dalam dirinya, menyatu warisan pesisir, darah bangsawan Arosbaya, dan semangat Islam yang membara. Ia adalah arketipe pejuang dari timur yang menolak tunduk pada narasi kekuasaan pusat.
Meski akhirnya ditangkap dan dieksekusi pada Januari 1680, Trunajaya tercatat sebagai pelopor perlawanan militer pertama dari Jawa Timur terhadap dominasi kolonial Belanda. Ia membuka jalan bagi generasi perlawanan berikutnya, termasuk tokoh yang akan mewarisi semangatnya di awal abad ke-19.
Silsilah kepahlawanan itu tidak berhenti pada Trunajaya. Dalam Sadjarah Pangeran Dipanegara, disebutkan bahwa darah Panembahan Lemah Duwur—dan dengan itu garis Arya Damar—mengalir pula dalam diri Pangeran Diponegoro. Jejak genealogi ini melewati jalur pernikahan elite: dari Arya Damar ke Arya Pojok di Sampang, lalu ke Ki Demung Palakaran, hingga ke Panembahan Lemah Duwur.
Dari garis inilah lahir Arya Purwonegoro dan Tumenggung Sosrowinoto, leluhur Adipati Purwodiningrat (Magetan), yang putrinya menikah dengan Sultan Hamengkubuwono II dan melahirkan Sultan HB III, ayah Diponegoro.
Dengan demikian, Diponegoro merupakan sintesis dari dua dunia: darah Mataram di satu sisi dan darah aristokrasi maritim Madura yang mengakar hingga Majapahit di sisi lain. Dalam perang Jawa (1825–1830), ia menghidupkan kembali tradisi perlawanan pesisir yang telah diawali oleh Trunajaya.
Gerakan Diponegoro melibatkan jaringan ulama, kiai, dan spiritualis yang merepresentasikan semangat Islam garis keras yang juga pernah menopang Trunajaya. Pilihan Diponegoro untuk tidak tinggal di keraton, menempuh hidup zuhud, dan menolak kooptasi kekuasaan kolonial menunjukkan pengaruh warisan spiritual dan politik dari leluhurnya di Madura.
Narasi ini menantang konstruksi historiografi Jawa yang memusatkan peristiwa sejarah hanya pada lingkar kekuasaan Yogyakarta dan Surakarta. Madura, yang selama ini dianggap pinggiran, justru menjadi simpul penting dalam pertemuan antara kekuasaan lokal, Islamisasi, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Trunajaya dan Diponegoro bukan kebetulan sejarah, melainkan dua mata rantai dari satu jalur darah yang menyimpan luka lama, semangat resistensi, dan hasrat akan kebebasan.
Kini, saat historiografi semakin membuka ruang bagi perspektif alternatif, sudah waktunya mengakui bahwa sejarah Nusantara bukan hanya tentang pusat, tetapi juga tentang mereka yang di pinggiran—yang dalam sunyi dan perlawanan, justru membentuk denyut sejarah yang sesungguhnya. Dalam nadi Trunajaya dan Diponegoro, mengalir darah Panembahan Lemah Duwur. Dan di dalamnya, bersemayam semangat Arya Damar, anak Majapahit yang tak pernah mati.