free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Sunan Amangkurat I dan Kota Bata Plered: Mimpi yang Dibangun dengan Tangan Besi

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan realis Sunan Amangkurat I, Raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1646–1677. (Foto: JatimTIMES)

JATIMTIMES - Tak lama setelah menerima tampuk pemerintahan dari ayahandanya, Sultan Agung, Sunan Amangkurat I mulai membangun impiannya sendiri: menciptakan sebuah pusat kekuasaan baru yang tak hanya megah secara fisik, tetapi juga menjadi simbol kontrol absolut atas Jawa. Kota Karta, pusat pemerintahan warisan ayahnya, ditinggalkannya. Sebagai gantinya, ia memilih lokasi baru yang dinamakan Plered. Inilah babak awal dari perjalanan sejarah Kota Bata Plered, sebuah kota istana yang dibangun dengan kerja paksa, diplomasi keras, dan tekad seorang raja yang ingin mengukuhkan hegemoni mutlak.

Pemindahan keraton dari Karta ke Plered dimulai pada tahun 1570 Jawa (1648 M), sebagaimana tercatat dalam Babad Momana. Proses ini sudah berlangsung pada saat perutusan Belanda yang dipimpin oleh Van Goens berkunjung pada Juni 1648. Van Goens menyaksikan langsung kemajuan pembangunan, termasuk tembok keliling yang menjulang dan dua pintu gerbang utama di sisi utara dan selatan. Namun, keberadaan alun-alun hanya tercatat di sisi utara karena sisi selatan berbatasan langsung dengan Sungai Opak.

Baca Juga : Stok Daging Kurban Masih Melimpah di Freezer, Amankah Makan Daging Setiap Hari? 

Kota Plered didesain bukan semata sebagai kompleks istana, tetapi sebagai benteng kekuasaan absolut. Tembok-tembok yang mengelilingi keraton, menurut laporan tahun 1659, tingginya lima depa dan tebal dua depa. Rouffaer mencatat bahwa tembok itu seluruhnya dibangun dari batu bata, disisipi batu alam putih, dan permukaannya ditutup segitiga dari batu putih yang dirancang menyerupai bata lebar. Kekokohan arsitektur ini tidak hanya membedakan Plered dari pendahulunya, tetapi juga menunjukkan transisi dari keraton kayu ke keraton batu bata, mencerminkan aspirasi permanensi dan kekuasaan mutlak.

Tak kalah menarik adalah proses pembangunan yang berkepanjangan dan sarat kekerasan. Masjid keraton, yang mulai dibangun pada tahun 1571 J (1649 M), masih belum rampung saat kunjungan pertama Van Goens. Bahkan pada 1655, ketika utusan Belanda Winrick Kieft datang, pembangunan istana utama Prabayeksa masih berlangsung. Dalam laporan Fruin-Mees disebutkan bahwa para pejabat tinggi yang enggan membantu pembangunan dipaksa bekerja di bawah terik matahari, dijemur di paseban. Raja Amangkurat I tidak bisa diganggu, bahkan oleh duta asing, karena sibuk membangun istana bersama para permaisurinya.

Babad Sangkala dan Babad Momana mencatat secara rinci progres pembangunan. Tahun 1572 J (1650 M), bagian bawah Sitinggil dibangun dengan batu. Tahun 1574 J (1651 M), witana di Sitinggil diperbarui, sementara pada 1576 J (1653 M), batu dikumpulkan untuk membangun karadenan, tempat tinggal putra mahkota, yang kemungkinan besar adalah Raden Mas Rahmat. Tahun 1585 J (1662 M), bangsal di Srimenganti selesai dibangun.

Plered bukan sekadar kota istana. Ia adalah proyek totalitarian seorang raja yang hendak memusatkan seluruh tatanan kekuasaan. Dalam audiensi besar yang pertama, Sunan Amangkurat I secara simbolik memerintahkan pembangunan kota baru dari batu bata, sesuai dengan keinginan almarhum ayahnya. Babad Meinsma mencatat perintahnya yang lugas, "Kamu sekalian... harus membuat batu bata, karena saya mau... angkat kaki dari Karta... saya ingin membangun kota di Plered."

Perbedaan mendasar antara Karta dan Plered terlihat dari bahan konstruksinya. Bila Karta sebagian besar terdiri dari kayu dan mudah dilalap api, maka Plered dibangun dari batu bata merah, material yang menjanjikan kekokohan. Jan Vos yang berkunjung ke Karta pada 1624 hanya mendapati sisa Srimenganti. Sebaliknya, pada 1826, Keraton Plered masih berdiri kokoh dan digunakan sebagai benteng pertahanan. Bahkan ketika keraton itu diubah menjadi pabrik gula pada masa kolonial, sisa-sisa struktur bangunan masih dapat dikenali oleh Rouffaer pada 1889.

Tak hanya tembok dan istana, Sunan Amangkurat I juga membangun sistem hidraulik yang canggih. Bangunan-bangunan air mulai dibangun bahkan sebelum istana Plered rampung, yaitu sejak tahun 1565 J (1643 M), pada masa akhir pemerintahan Sultan Agung. Babad Sangkala menyebutkan pembangunan bendungan dan kanal sebagai bagian penting dari pembangunan kota. Rafles mencatat bahwa pembangunan ini berlanjut hingga tahun 1566 J (1644 M), menegaskan bahwa proyek-proyek ini bersifat multi-generasional, melibatkan dua masa pemerintahan.

Masjid keraton Plered menjadi elemen penting lainnya. Rouffaer pada tahun 1889 menemukan sisa fondasi masjid tersebut, lengkap dengan ompak-ompok—pondasi batu untuk penyangga tiang kayu—yang tersusun dalam tiga baris, meskipun seharusnya ada enam baris menurut catatan C.A. Lons yang menggambarnya pada tahun 1773. Di sisi barat alun-alun terdapat masjid tersebut, yang menjadi pusat spiritual sekaligus simbol kontrol ideologis sang raja.

Sunan Amangkurat I tidak hanya ingin mengontrol ruang, tetapi juga waktu dan ritus. Penataan ruang keraton disusun secara hierarkis: alun-alun, Srimenganti, Kemandungan, dan terakhir Prabayeksa. Ini bukan sekadar struktur fisik, melainkan pantulan dari stratifikasi kekuasaan dan sakralitas. Istana bukan hanya tempat tinggal raja, tapi juga pusat ritual kenegaraan.

Namun mimpi besar itu tidak tanpa cela. Di balik bata-bata yang disusun rapi, terdapat derita rakyat yang dikerahkan paksa. Catatan Belanda berulang kali menyinggung penderitaan pekerja paksa. Para pejabat yang enggan membantu, tak luput dari hukuman. Tak ayal, pembangunan kota ini menjadi metafora dari kekuasaan absolut Sunan Amangkurat I, yang semakin menjauh dari model kepemimpinan ayahnya, Sultan Agung.

Perlu dicatat pula bahwa keraton ini bukan proyek yang selesai dalam satu dekade. Bahkan setelah kebakaran Prabayeksa pada 1589 J (1666 M), Sunan Amangkurat I tetap berambisi membangun ulang istananya. Menurut Babad Momana, pembangunan kembali langsung dilakukan tak lama setelah insiden itu, menunjukkan tekad raja dalam mempertahankan kemegahan istananya.

Secara historiografis, pembangunan Plered merepresentasikan pergeseran besar dalam politik arsitektur Jawa abad ke-17. Dari keraton kayu yang bersifat temporer ke keraton bata yang monumental, dari kota yang bersifat spiritual ke kota yang dikelola sebagai mesin kekuasaan. Dari model pemerintahan kolegial Sultan Agung ke model monarki absolut Sunan Amangkurat I.

Plered bukan hanya kota dari bata merah. Ia adalah prasasti dari ambisi, trauma, dan kekuasaan. Sejarah mencatat kota ini bukan hanya dari apa yang dibangun, tetapi juga dari apa yang dikorbankan. Dan dalam jejak reruntuhannya, para sejarawan membaca bukan hanya kisah batu, tetapi juga kisah manusia.

Seperti dicatat oleh Van Goens, Kieft, Rouffaer, hingga Fruin-Mees, serta dalam babad-babad Jawa yang kaya narasi, kota ini berdiri sebagai saksi bisu dari seorang raja yang membangun mimpinya dengan tangan besi. Kota Plered adalah kota yang dirancang untuk abadi, meskipun sang raja yang membangunnya akhirnya dikalahkan oleh sejarah yang terus bergerak.

Segarayasa: Ketika Sunan Amangkurat I Membangun Istana di Atas Air

Dalam lembaran sejarah Mataram Islam, di antara berbagai pembangunan fisik yang monumental, nama Segarayasa muncul sebagai salah satu proyek ambisius yang bukan hanya mencerminkan visi arsitektural seorang raja, melainkan juga menyingkap tabir psikologis kekuasaan yang kompleks. Sunan Amangkurat I, yang juga dikenal dengan gelar Sunan Tegalwangi, adalah tokoh sentral dalam narasi ini—seorang raja yang memerintah dengan kekuasaan absolut, penuh kecurigaan, dan pada akhirnya terasing dalam dunianya sendiri, yang ia bangun secara literal di atas air.

Bangunan air di sekitar Keraton Plered tidak berdiri sebagai pelengkap semata, melainkan merupakan bagian integral dari strategi kekuasaan dan pertahanan yang dimulai sejak masa Sultan Agung, pendahulu Amangkurat I. Menurut Babad Sangkala, pada tahun 1565 J atau 2 Maret 1643 M, saat Sultan Agung masih berkuasa, pembangunan sebuah bendungan telah dimulai di wilayah yang kelak dikenal sebagai Plered. Fakta ini dikuatkan oleh Chronological Table versi Raffles yang mencatat adanya danau buatan di kawasan itu sebelum tahun 1566 J (10 Maret 1644 M). Nama “Plered” itu sendiri agaknya mengakar pada pembangunan bendungan awal tersebut.

Namun transformasi paling dramatis terjadi di bawah kepemimpinan Sunan Amangkurat I. Pada tahun 1574 J (14 Desember 1651 M), pembangunan dilanjutkan dengan pembangunan bendungan besar di Segarayasa, sebuah kawasan baru di selatan keraton. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan peningkatan intensitas pekerjaan besar-besaran. Pada 1658 M, rakyat dari Karawang didatangkan ke Mataram sebagai tenaga kerja paksa, meninggalkan sawah dan ladang mereka, sebagaimana tercatat dalam Daghregister tanggal 14 Maret 1659. Dampaknya pun signifikan: kelangkaan beras terjadi karena para petani tidak sempat bercocok tanam.

Segarayasa bukan sekadar danau buatan, melainkan proyek geo-politis berskala besar. Pada 7 Juli 1659, Susuhunan bersama permaisurinya tercatat berkunjung ke kolam yang baru digali, yang empat hari kemudian dinamakan Segarayasa. Puncak proyek ini terjadi pada 1661, saat raja memerintahkan pembangunan pulau buatan tempat kediaman keraton berdiri, dengan memobilisasi 300.000 orang. Proyek kolosal ini menyebabkan para penguasa pesisir dilarang meninggalkan wilayah mereka karena dibutuhkan untuk mengawasi jalannya pekerjaan. Babad Sangkala tahun 1683 J (6 September 1660 M) bahkan mencatat pembangunan bendungan baru di daerah yang disebut “Jaha”, dikerjakan oleh penduduk pesisir dan daerah mancanegara, masing-masing diawasi oleh para umbul.

Namun alam tak tunduk pada skema manusia. Musim hujan tahun 1661–1662 menghadirkan bencana: banjir dahsyat menerjang, menghancurkan Bendungan Besar dan merusak Lumbung Agung, mengakibatkan krisis beras di ibukota. Pekerjaan dihentikan, dan baru pada 1663 bangunan air itu dipulihkan. Kala itu, Sunan dilaporkan mulai “pusing kepala” kembali untuk memikirkan aliran air di belakang istana. Catatan Daghregister 5 September 1663 menyebutkan: “Sang raja mulai lagi membuat batang air di belakang istananya”.

Pembangunan Segarayasa rampung pada akhir 1663. Tapi ada yang berubah. Sunan tak lagi bergairah menghibur diri bermain perahu di kolam tersebut. Tidak seperti sebelumnya, ketika ia biasa berpelesir di atas perahu kerajaan, menikmati pemandangan air yang mengelilingi keratonnya. Mungkin kejenuhan, mungkin kemurungan, atau mungkin ia mulai melihat air bukan lagi sebagai cermin kejayaan, melainkan sebagai penjara.

Narasi tentang keraton di atas pulau ini mendapat validasi dari laporan Abraham Verspreet, utusan VOC, yang pada kunjungannya ke istana tanggal 16 Oktober 1668, menyebutkan bahwa untuk mencapai alun-alun ia harus melintasi jembatan di atas parit yang mengelilingi istana. Dengan demikian, keraton Plered benar-benar berdiri di atas pulau buatan, dikelilingi sistem kanal dan kolam. Bentuk pengasingan yang disengaja ini kelak menjadi cetak biru bagi Keraton Kartasura, yang dibangun dengan prinsip serupa: kerajaan sebagai pulau, penguasa sebagai poros tunggal yang terpisah dari rakyatnya.

Proyek air ini tidak hanya tentang arsitektur, melainkan juga tentang politik isolasi, pertahanan teritorial, dan pencitraan absolutisme raja. Sunan Tegalwangi, yang dalam catatan Belanda digambarkan sebagai penguasa yang "tidak suka bergaul", tampaknya ingin menciptakan dunia kecilnya sendiri—sebuah polis eksklusif di mana ia tidak hanya menjadi raja, tetapi juga satu-satunya manusia sejati yang hidup di pusat semesta.

Bangunan monumental terakhir dari Sunan Amangkurat I adalah Antakapura, makam megah untuk Ratu Mas Malang, yang wafat pada 14 Juli 1665 dan dimakamkan di Gunung Kelir, tidak jauh dari Plered. Tiga tahun kemudian, pada 1668, mausoleum tersebut selesai dibangun, menjadi penutup dari jejak-jejak fisik Sunan Amangkurat I dalam lanskap Mataram. Ironisnya, bangunan megah ini kemudian dibiarkan terbengkalai, menjadi simbol bisu dari sebuah kekuasaan yang perlahan-lahan kehilangan denyutnya.

Segarayasa, hari ini, mungkin hanya tinggal nama dalam manuskrip dan catatan kolonial yang berdebu. Tetapi di balik bendungan yang jebol, kolam yang surut, dan mausoleum yang sunyi, terdapat kisah seorang raja yang ingin menguasai alam dengan air, tapi akhirnya justru tenggelam dalam kesepian di pulau yang ia bangun sendiri.

PRABHU AMANGKURAT AGUNG: ASAL USUL DAN RIWAYAT SINGKAT DALAM HISTORIOGRAFI DOKUMENTER

Prabhu Amangkurat Agung, dikenal pula sebagai Sunan Amangkurat I, adalah sosok yang mewarisi tahta Kesultanan Mataram dari ayahandanya, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Terlahir pada tanggal 24 Juni 1619 di Keraton Kotagede, ia diberi nama Gusti Raden Mas Sayidin. Ibunya adalah Ratu Mas Batang, dan ia merupakan cucu dari tokoh ulama dan penasehat kerajaan, Ki Ageng Juru Mertani. Dalam tradisi Mataram, silsilah menjadi bagian penting yang memperkuat legitimasi kekuasaan, dan Raden Mas Sayidin mewarisi garis trah religius dan aristokratik.

Masa kecil Raden Mas Sayidin dibentuk dalam lingkungan spiritual dan intelektual yang kuat. Diasuh oleh eyang putri Ratu Mas Hadi—Garwa Panembahan Hadi Hanyakrawati—pendidikan Raden Sayidin tidak hanya terbatas pada pelatihan di dalam keraton, melainkan diperluas ke berbagai wilayah Nusantara dan bahkan mancanegara. Sejak usia 4 tahun ia telah belajar di pesantren anak-anak Nglandoh Kayen Pati, lalu melanjutkan studi ke Besuki, Pasuruan, dan Padepokan Joyoboyo di Kediri. Tahun 1628, ia belajar kepada Syekh Syamsuddin (Ki Lembah Manah) di Tegal, dan di Kadilangu, Demak, mendalami ajaran Sunan Kalijaga. Ia juga mempelajari sejarah lokal bersama Ki Ageng Tarub dan Ki Ageng Selo di Grobogan (1630).

Dalam era di mana kerajaan Mataram tengah membangun kekuatan maritim dan agrarisnya, Raden Sayidin meluaskan wawasannya. Ia menimba ilmu demografi di Tamasek (Singapura, 1632), sosiologi di Istanbul (1634) dengan izin Sultan Murad IV, hingga tata kota di Paris (1636) melalui beasiswa Raja Louis IV. Tahun 1638, ia melaksanakan ibadah haji ke Mekkah bersama rombongan alim ulama dari Madura.

Setelah wafatnya Sultan Agung, Raden Sayidin naik tahta secara resmi pada tahun 1646 dengan gelar lengkap: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Ia kemudian memindahkan ibukota dari Karta ke Pleret pada 1647. Pembangunan kota Pleret mencerminkan visi militernya: terlindung oleh Kali Opak dan Kali Gajah serta Segara Yasa, dan difasilitasi oleh istana, masjid, sumur gumuling, dan Krapyak untuk perburuan.

Baca Juga : RSU Wajak Husada Libatkan Dokter Gigi di Program School to School, Tingkatkan Kesadaran Kesehatan di SD

Pemerintahan Amangkurat I juga dikenal karena proyek-proyek pembangunan nasional. Ia mendirikan pabrik trasi di Lasem (1639), industri logam di Kudus (1661), dan pengembangan pertanian seperti kopi (Ungaran, 1659), garam yodium (Pamekasan, 1668), hingga bendungan Serayu (Purbalingga, 1656). Ia juga mencanangkan visi maritim: sekolah pelayaran di Tegal (1640), pelabuhan di Surabaya, Lamongan, dan Semarang.

Sisi sosial pemerintahannya tampak dalam pendirian yayasan pendidikan (Kulonprogo), rumah sakit (Salatiga, 1674), serta rumah sosial (Banjarnegara, 1676). Namun di balik pencapaian itu, kraton Pleret dipenuhi intrik. Pembunuhan Pangeran Alit, kisah Rara Hoyi dan Raden Rahmat, hingga pembunuhan Pangeran Pekik mewarnai era kekuasaan ini.

Tragedi terbesar datang saat Raden Rahmat, putranya, tidak jadi diangkat sebagai putra mahkota. Ia menggandeng Trunajaya untuk memberontak. Pleret diserang dan dikuasai pada 28 Juni 1677. Amangkurat I melarikan diri ke arah barat, singgah di makam ayahnya di Imogiri, kemudian ke Panjer Roma. Di sana ia disambut oleh Ki Gedhe Panjer III, yang memberi minuman air kelapa tua hingga memulihkan kesehatannya. Sebagai balas jasa, Ki Gedhe Panjer III diangkat menjadi Tumenggung Kolopaking I dan menikah dengan putri Amangkurat I.

Perjalanan dilanjutkan hingga Wanayasa, di mana Amangkurat I wafat pada 13 Juli 1677. Ia dimakamkan di Tegalwangi, di dekat makam gurunya Ki Ageng Lembah Manah. Gelar anumerta "Susuhunan Prabhu Amangkurat Agung" diberikan oleh putranya, Amangkurat II.

Ia menikah dengan Ratu Pembayun (putri Pangeran Pekik), yang melahirkan Raden Rahmat (Amangkurat II), dan Ratu Kencono dari Kajoran yang melahirkan Raden Drajat (kelak Pakubuwana I). Putra-putri lainnya di antaranya: Pangeran Arya Mataram, Pangeran Arya Singasari, Pangeran Martasana, Pangeran Puger, hingga Ratu Ayunan (menikah dengan Panembahan Madura) dan Kleting Abang (menikah dengan Kolopaking I).

Prabhu Amangkurat Agung adalah raja yang kompleks: negarawan, cendekiawan, pembangun, namun juga simbol tragedi. Ia mengukir sejarah Mataram sebagai pemimpin yang mendekatkan istana dengan dunia luar, namun akhirnya tumbang oleh intrik internal dan amarah bangsanya sendiri.

Sunan Amangkurat I: Membangun Mataram, Meruntuhkan Mataram

Pada tanggal 24 Juni 1619, di jantung Kesultanan Mataram, tepatnya di Keraton Kotagede, lahir seorang bayi laki-laki yang kelak mengguncang sejarah Jawa. Bayi itu dinamai Gusti Raden Mas Sayidin, putra mahkota dari pasangan Sultan Agung Hanyokrokusumo dan permaisuri Ratu Mas Batang, cucu dari Ki Ageng Juru Mertani—penasehat spiritual, patih pertama, sekaligus intelektual utama dalam fondasi awal Kerajaan Mataram.

Sejak usia dini, Raden Sayidin tumbuh dalam asuhan dan kasih sayang Ratu Mas Hadi, istri Panembahan Hadi Hanyakrawati. Di bawah didikan istana dan lingkungan pesantren, Raden Sayidin memperlihatkan pribadi yang cerdas, terampil, dan berbudi luhur. Sultan Agung sendiri sangat mencermati pendidikan putranya. Bahkan, pada usia 4 tahun, Raden Sayidin telah dikirim menimba ilmu agama di pesantren Nglandoh, Kayen Pati.

Pendidikan spiritual dan intelektualnya terus berlanjut secara konsisten. Tahun 1625, ia belajar di Pesantren Besuki, Pasuruan. Tahun 1627, ia mendalami filsafat dan ilmu kejawen di Padepokan Joyoboyo, Kediri. Pada tahun-tahun berikutnya, Raden Sayidin belajar kepada para ulama besar dan cendekiawan Nusantara, seperti Syekh Syamsuddin al-Barosi, yang dikenal juga sebagai Ki Lembah Manah di Padepokan Pekuncen, Tegal. Ia juga menimba ilmu sejarah kepada para ahli di Grobogan, belajar demografi di Tamasek (Singapura), dan sosiologi di Universitas Teknik Istanbul dengan izin Sultan Murad IV. Tak hanya itu,juga mendapat beasiswa ke Paris untuk mempelajari tata kota dari Raja Louis XIV, dan menunaikan ibadah haji ke Mekah bersama rombongan ulama Madura.

Perjalanan intelektual ini menjadikan Raden Sayidin sebagai calon pemimpin yang tidak hanya religius tetapi juga kosmopolitan. Maka ketika Sultan Agung wafat, ia pun dinobatkan sebagai Raja Mataram tahun 1646 dengan gelar megah:

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I.

Hanya setahun pasca-penobatannya, Sunan Amangkurat I memindahkan pusat kekuasaan dari Karta ke Plered pada 1647. Dengan visi politik dan pertahanan, ia memilih lokasi Plered yang strategis—diapit dua sungai besar, Kali Opak dan Kali Gajah. Ia bersabda:

“Segenap rakyatku, buatlah batu bata. Karena saya tidak mau tinggal di bekas kediaman Ayahanda. Saya akan membangun Kota Plered.”

Istana Plered dibangun megah di atas tanah seluas 35 hektar, dikelilingi benteng, parit pertahanan, dan danau buatan Segara Yasa yang diperluas sebagai tempat latihan armada dan kebutuhan rakyat. Di dalamnya berdiri Masjid Agung Plered, Krapyak untuk berburu, Sumur Gumuling, dan berbagai fasilitas istana yang mencerminkan kemajuan teknologi arsitektur Mataram masa itu.

Amangkurat I tidak semata-mata mengandalkan simbol-simbol kekuasaan untuk mengukuhkan legitimasinya sebagai Raja Mataram, tetapi juga membangun fondasi pemerintahan yang bertumpu pada penguatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Dalam masa pemerintahannya, ia mendirikan sejumlah industri penting di berbagai wilayah kerajaan. Di pesisir utara Jawa, ia merintis pabrik trasi di Lasem pada tahun 1639, dan mengembangkan produksi brem di Madiun sebagai bagian dari ekonomi lokal berbasis pangan. Di sektor metalurgi, ia membangun industri logam di Kudus pada tahun 1661, yang kemudian disusul oleh pendirian industri serupa di Sidoarjo pada tahun 1673. Kesadaran akan potensi agrikultur juga membawanya mengembangkan agrobisnis tanaman kopi di dataran tinggi Ungaran dan wilayah Bangkalan Madura, memperluas komoditas perdagangan kerajaan. Sementara itu, di Pamekasan, ia mendorong produksi garam yodium sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat pada tahun 1668. Ia juga membuka pasar lelang ikan di Sampang pada tahun 1669, menjadikannya sebagai pusat distribusi hasil laut Madura. Tak hanya itu, pembangunan infrastruktur juga menjadi perhatian, seperti terlihat dari pembangunan Bendungan Serayu di Purbalingga pada tahun 1656 yang berfungsi untuk irigasi lahan pertanian, serta pendirian pabrik gula merah di wilayah Kebumen pada tahun 1672 sebagai bentuk dukungan terhadap industri rakyat. Semua inisiatif ini mencerminkan visi Amangkurat I dalam membentuk Mataram sebagai negara agraris-maritim yang mandiri dan berdaya saing.

Ia juga bertekad menjadikan Mataram sebagai Nagari Bahari dengan mendirikan Sekolah Pelayaran Tegal (1640) serta pelabuhan-pelabuhan utama seperti Tanjung Perak (1648), Tanjung Kodok (1654), dan Tanjung Emas (1658).

Berbeda dari citra keras dan kejam yang kerap muncul dalam sejumlah babad Jawa, sumber-sumber sejarah sosial justru memperlihatkan sisi lain dari Amangkurat I—yakni kepeduliannya terhadap nasib masyarakat miskin dan kelompok rentan. Salah satu langkah pentingnya adalah mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi anak-anak dari keluarga miskin, yang digagas sejak awal pemerintahannya dan mulai beroperasi pada pertengahan abad ke-17. Di Ajibarang, ia merintis pendirian panti yatim sebagai tempat perlindungan dan pembinaan bagi anak-anak yang kehilangan orang tua. Kepeduliannya terhadap kesehatan masyarakat juga tercermin dalam pendirian Rumah Sakit Umum di Salatiga, yang mulai melayani masyarakat pada masa akhir kekuasaannya. Selain itu, ia juga membuka rumah sosial di Banjarnegara sebagai tempat singgah bagi para tunawisma dan orang-orang terlantar, serta mendirikan kantor pelayanan masyarakat miskin di wilayah Kebumen. Semua inisiatif ini menandai usaha Amangkurat I dalam membangun sistem kesejahteraan yang bersifat inklusif—sebuah aspek penting yang sering luput dari narasi politik dan militer yang mendominasi kisahnya.

Namun langit Plered tak selamanya cerah. Kraton itu menyimpan cerita kelam: pembunuhan Pangeran Alit, kisah cinta segitiga Rara Hoyi, kematian Pangeran Pekik, hingga tragedi Ratu Malang. Intrik istana ini mencapai puncaknya ketika Raden Mas Rahmat, putra mahkota, dipecat dan menyerahkan diri pada Panembahan Rama dari Kajoran untuk mencari kekuatan yang bisa menundukkan ayahnya.

Maka, Trunajaya pun datang. Pada 28 Juni 1677, ia menyerbu Pleret, menguasai keraton, dan memaksa Amangkurat I melarikan diri bersama keluarga. Dalam pelarian, ia sempat ziarah ke makam Sultan Agung di Imogiri, kemudian melanjutkan perjalanan ke barat.

Tanggal 30 Juni 1677, Amangkurat I tiba di Panjer Roma (Rowo Ambal) dan jatuh sakit. Ki Gedhe Panjer III, tuan rumah, memberinya air kelapa tua (aking) yang menyembuhkannya. Sebagai balas jasa, ia diangkat menjadi Tumenggung Kalapa Aking I dan dinikahkan dengan Putri Mulat, anak Amangkurat I. Dari sinilah trah Kolopaking berasal.

Tiga hari kemudian, rombongan bergerak ke Ajibarang. Di sanalah, Amangkurat I menyerahkan pusaka kerajaan kepada Raden Mas Rahmat dan menunjuknya sebagai raja baru: Sunan Amangkurat II.

Namun sang raja tak sempat menyaksikan kejayaan putranya. Di Desa Pasiraman, Winduaji, pada tanggal 13 Juli 1677, Amangkurat I wafat. Sesuai wasiat, jasadnya dimakamkan di Tegalwangi (Tegalarum) dekat guru spiritualnya Ki Ageng Lembah Manah. Makamnya tidak dikubur, melainkan disarekan di atas bukit kecil, hingga akhirnya ditutup tanah tahun 1960-an.

Amangkurat I memiliki banyak istri dan keturunan. Di antara anak-anaknya: Raden Mas Rahmat (Amangkurat II), Raden Mas Drajat (Pakubuwana I), dan Raden Mas Pandonga. Dari garis perempuannya, pernikahan dengan elite Madura, Pajang, dan Banyumas, menjadikan trah Amangkurat menyebar ke seluruh Jawa.

Sebagai penghargaan atas jasanya, pada tahun 1678, Sunan Amangkurat II menganugerahkan gelar kepada ayahnya: Susuhunan Prabhu Amangkurat Agung

Kini, makamnya di Tegalwangi menjadi tempat ziarah sunyi. Dan sejarah mencatatnya sebagai raja yang membangun, mengubah wajah Mataram, tapi jatuh oleh gelombang sejarah yang digerakkan oleh anak dan murid spiritualnya sendiri.