JATIMTIMES - Dalam lembaran sejarah Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa, sosok Sunan Ampel senantiasa berdiri sebagai tokoh sentral dalam gelombang awal dakwah Islam abad ke-15. Ia bukan sekadar mubalig, melainkan juga arsitek kebudayaan yang memainkan peran krusial dalam mentransformasikan lanskap sosio-religius masyarakat Majapahit. Asal-usulnya yang bersambung ke tanah Champa – sebuah kerajaan tua yang kini masuk wilayah Vietnam Tengah – menjadi jendela penting untuk memahami akar dari berbagai praktik keagamaan Islam tradisional Jawa yang kita warisi hari ini, seperti kenduri, talqin, bubur Syuro, dan tradisi haul.
Jejak Champa dalam Langkah Dakwah Sunan Ampel
Historiografi tradisional dan manuskrip Jawa kuno banyak mencatat bahwa Raden Rahmat – nama asli Sunan Ampel – berasal dari negeri Champa. Ibundanya disebut sebagai putri bangsawan Champa, sementara ayahnya, Ibrahim as-Samarkandi, adalah seorang ulama perantau dari Asia Tengah. Pertautan darah ini bukan saja menunjukkan koneksi transregional Islam Nusantara, tetapi juga menjadi bukti awal bahwa tradisi Islam di Jawa memiliki pengaruh kuat dari Islam Champa yang kala itu berkembang pesat.
Baca Juga : Catat, Ini Jadwal Pulang Jemaah Haji 2025 Gelombang I dan II
Kerajaan Champa sendiri, sebagaimana tercatat dalam risalah École française d’Extrême-Orient (EFEO, 1981), telah mengenal Islam jauh sebelum Islam menancap kukuh di Nusantara. Komunitas muslim di Champa terbiasa memperingati kematian pada hari ke-3, ke-7, ke-10, ke-30, ke-40, ke-100, dan ke-1000, serta menjalankan tradisi talqin, haul, dan pembuatan bubur Asyuro setiap tanggal 10 Muharam. Praktik ini kemudian disebarluaskan oleh Sunan Ampel dan murid-muridnya ke wilayah pesisir utara Jawa.
Transformasi Tradisi Majapahit
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Majapahit mempraktikkan ritual sroddha, yakni upacara ruwatan arwah yang dilakukan dua belas tahun setelah seseorang meninggal. Upacara ini bertujuan menyucikan roh agar mencapai alam kelanggengan. Sunan Ampel, yang mulai berdakwah di Surabaya dan sekitarnya sejak pertengahan abad ke-15, tidak serta-merta menghapus praktik tersebut. Ia memilih jalur moderat: mengubah dan menyesuaikan tradisi sroddha ke dalam bentuk baru yang berlandaskan nilai Islam, yakni kenduri dan haul.
Dari sinilah lahir praktik tahlilan dan kenduri kematian yang dilaksanakan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 setelah kematian. Ritual ini bukan hanya bentuk pengislaman budaya lokal, tetapi juga sarana memperkuat jaringan sosial masyarakat, sebagai tempat berdoa bersama, membaca Yasin dan tahlil, serta mempererat solidaritas antar warga.
Menurut S.Q. Fatimy dalam Islam Comes to Malaysia (1963), komunitas muslim Champa menganut mazhab Syiah, khususnya aliran Zaidiyah. Meskipun kini banyak dari mereka telah kehilangan kesadaran akan akar ke-Syiah-an mereka, jejaknya masih nyata dalam tradisi yang mereka bawa ke Jawa. Misalnya, talqin – pembacaan kalimat syahadat di telinga mayat – merupakan bagian dari ritual kematian yang juga ditemukan dalam ajaran Syiah.
Demikian pula dengan peringatan 1 dan 10 Muharam, yang di Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro. Bubur ini bukan sekadar makanan simbolis, tetapi juga representasi kisah tragis Karbala, tempat terbunuhnya cucu Nabi, Husain bin Ali. Masyarakat muslim tradisional Jawa, terutama yang tinggal di pesisir utara seperti Tuban, Lamongan, dan Gresik, masih mempertahankan tradisi ini hingga kini.
Dakwah Sunan Ampel dan jaringan keluarganya juga membawa perubahan dalam bahasa sehari-hari masyarakat. Sebutan “mak” untuk ibu yang umum di Surabaya, Mojokerto, Jombang, hingga ke pesisir utara Jawa, merupakan warisan bahasa orang Champa. Sebutan ini menggantikan kosakata lama seperti “ina”, “ibu”, atau “ra-ina” yang umum digunakan di era Majapahit.
Begitu juga dengan istilah “kak” atau “kang” untuk saudara tua, dan “adhy” untuk adik, menggantikan istilah Majapahit seperti “raka” dan “rayi”. Pengaruh linguistik ini menguatkan tesis bahwa misi dakwah Sunan Ampel tidak hanya berdimensi teologis, tetapi juga sosial dan kultural.
Di bidang spiritualitas dan kepercayaan terhadap makhluk halus, Champa dan Jawa memiliki kesamaan pandangan. Kepercayaan terhadap hantu pohon, arwah penasaran, hingga tokek sebagai penanda mistik adalah praktik yang telah ada dalam budaya Champa dan menemukan resonansinya di tanah Jawa pasca-Majapahit. Sunan Ampel dan para penerusnya menggunakan pendekatan sufistik untuk menyelaraskan keyakinan ini dengan nilai-nilai Islam, tanpa secara frontal menafikannya.
Sebagaimana dicatat oleh arkeolog Edi Sedyawati, kepercayaan masyarakat Majapahit terhadap makhluk-makhluk seperti yaksha, gandharwa, dan pretasura, perlahan digantikan dengan keyakinan terhadap jin, tuyul, kuntilanak, dan pocong dalam imajinasi Islamisasi Jawa. Proses ini berlangsung melalui asimilasi budaya yang dilakukan oleh para Wali.
Dakwah sebagai Formulasi Sosial dan Budaya
Pendekatan dakwah Sunan Ampel bukanlah pendekatan konfrontatif. Ia tidak membangun peradaban Islam dari nol, melainkan memformulasi ulang budaya lama menjadi Islami melalui pendekatan sufistik dan kultural. Hal ini tampak dalam penerimaan masyarakat terhadap bacaan kasidah, puji-pujian kepada Nabi dan ahlul bait, serta wirid dan zikir harian yang menjadi amalan umat Islam tradisional di Jawa hingga kini.
Istilah “kenduri” sendiri berasal dari bahasa Persia “kandur”, yakni upacara makan bersama untuk memperingati Nabi Muhammad Saw atau keluarganya. Penggunaan istilah ini di Jawa menunjukkan betapa dalamnya pengaruh peradaban Islam Iran dan Asia Tenggara dalam membentuk ritual Islam lokal.
Keberhasilan dakwah Sunan Ampel tidak bisa dilepaskan dari peran besar putra, menantu, keponakan, dan murid-muridnya. Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, hingga Raden Patah di Demak adalah penerus semangat dakwahnya. Jaringan dakwah ini menjangkau hampir seluruh wilayah pesisir utara Jawa dan menjadi kekuatan utama dalam transformasi sosio-religius masyarakat Jawa menjelang keruntuhan Majapahit.
Dalam konteks ini, Champa bukan hanya asal-usul biologis Sunan Ampel, tetapi juga sumber inspirasi spiritual, intelektual, dan budaya dalam membentuk wajah Islam Nusantara. Islam yang dibawa oleh Sunan Ampel bukanlah Islam formalistik yang kaku, melainkan Islam yang hidup, menyatu dengan budaya, dan mampu beradaptasi secara kreatif dengan lingkungan sosial tempatnya tumbuh.
Sekalipun tidak banyak catatan tertulis yang mengabadikan biografi Sunan Ampel secara kronologis seperti tokoh-tokoh sejarah lain, namun jejak dakwahnya tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa. Tradisi kenduri, haul, talqin, pembacaan kasidah, pembuatan bubur Syuro, hingga penggunaan istilah “mak” dalam keluarga, semuanya menjadi artefak budaya yang tidak bisa dihapus dari sejarah Islam di tanah Jawa.
Sunan Ampel, dalam konteks ini, bukan hanya penyebar Islam, tetapi juga peletak dasar kosmologi budaya Islam Nusantara – sebuah Islam yang mengakar, tidak memberangus tradisi lokal, namun menyuntikkan ruh tauhid ke dalamnya. Dari tanah Champa, melalui pelabuhan Surabaya, hingga ke jantung budaya Jawa, warisan dakwahnya menjelma menjadi nadi kehidupan umat Islam di Jawa hingga hari ini.
Dan mungkin, sebagaimana gumam lirih para sesepuh di tengah kenduri malam Jumat itu, “Warisan Sunan Ampel bukan sekadar syariat, tapi juga adat, bukan sekadar ajaran, tapi juga kebudayaan.”
Jejak Sunan Ampel: Dari Champa ke Majapahit, Menyebar Islam Lewat Pesantren dan Perkawinan
Baca Juga : Disparta Catat Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Sidomulyo Kalahkan Jatim Park Grup
Dalam rentang sejarah peralihan Jawa dari pengaruh Hindu-Buddha menuju era Islam, figur Sunan Ampel, atau Raden Rahmat, berdiri sebagai sosok sentral dalam jaringan dakwah, pendidikan, dan diplomasi kekerabatan. Nama beliau harum dalam narasi Wali Songo, bukan hanya sebagai ulama penyebar Islam, melainkan sebagai arsitek awal dari jaringan intelektual dan kultural yang menumbuhkan Islam sebagai kekuatan sosial-politik di Nusantara. Historiografi yang mengkaji jejak beliau mengungkap dinamika spiritual, geopolitik, dan budaya yang saling bertaut pada abad ke-15 M.
Sunan Ampel lahir sebagai Raden Rahmat, putra dari Syekh Ibrahim As-Samarkandi, seorang ulama dari Asia Tengah yang konon menetap di Kerajaan Champa—sebuah kerajaan Islam di wilayah yang kini menjadi bagian dari Vietnam. Ibunya bernama Dewi Candrawulan dan berasal dari kalangan bangsawan Champa.Sebuah penuturan penting dalam “Hikayat Hasanuddin” (dikutip oleh J. Edel, 1938) menyebutkan bahwa saat Champa dihancurkan oleh Kerajaan Koci pada 1446, Raden Rahmat telah menetap di Jawa. Hal ini memberi indikasi kuat bahwa kedatangan beliau ke Jawa mendahului kehancuran tersebut, memperkirakan waktu migrasi dakwahnya pada awal dasawarsa keempat abad ke-15.
Dari Champa, ia tak serta-merta menuju pusat Jawa. Seperti dicatat oleh Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1977), Raden Rahmat sempat singgah di Palembang dan menjadi tamu Arya Damar selama dua bulan. Meski Arya Damar nyaris menyatakan keislaman secara terbuka, tekanan masyarakat membuatnya mengurungkan niat. Namun, kisah lokal mengabadikan bahwa setelah menjadi Muslim, ia menggunakan nama Ario Abdillah.
Perjalanan Raden Rahmat akhirnya membawanya mendarat di Tuban, pelabuhan utama di pesisir utara Jawa Timur. Di sini ia bermukim sementara sebelum ayahandanya wafat. Selanjutnya, ia pergi ke Majapahit untuk menemui bibinya, Dewi Dwarawati, istri Prabu Brawijaya V (Sri Prabu Kertawijaya). Dewi Dwarawati adalah saudara Dewi Candrawulan, ibu Sunan Ampel. Menurut Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri (1975), ia tidak datang seorang diri, melainkan didampingi saudaranya, Ali Murtadho, dan kawannya, Abu Hurairah, yang juga berasal dari Champa. Bersama mereka, misi penyebaran Islam mulai dijalankan secara sistematis.
Penempatan Raden Rahmat di Surabaya bukan suatu kebetulan. Menurut Serat Walisana, Raja Majapahit kala itu tidak langsung mengangkatnya sebagai pemuka agama, tetapi terlebih dahulu menyerahkannya kepada Arya Lembusura, Adipati Surabaya yang telah memeluk Islam. Melalui Arya Lembusura inilah strategi penyebaran Islam berbasis pesantren dan perkawinan politik mulai diterapkan.
Di Surabaya, tepatnya di kawasan Ampeldenta, Raden Rahmat menetap dan membangun basis dakwah. Penempatan ini juga disertai legitimasi politik. Menurut De Graaf & Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (1986), pengangkatan Raden Rahmat sebagai Imam Masjid Surabaya dilakukan oleh pejabat Pecat Tandha di Terung bernama Arya Sena. Bahkan keluarga-keluarga tertentu yang dipercaya Majapahit diserahkan untuk dibimbing olehnya.
Raden Rahmat kemudian dikenal sebagai Sunan Ampeldenta atau Sunan Ampel, dan kediamannya menjadi pusat intelektual dan spiritual yang paling berpengaruh di masa-masa transisi Majapahit. Ia menikahi Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja, Bupati Tuban, yang juga cucu Arya Lembusura. Perkawinan ini menyatukan jaringan dakwah dengan kekuatan lokal dan membentuk sistem “perkawinan dakwah” yang menjadi ciri khas metode Islamisasi era itu.
Di bawah bimbingan Sunan Ampel, berdirilah Pesantren Ampeldenta—yang menjadi pusat pembentukan kader-kader ulama dan pemimpin Islam masa depan. Dari pesantren ini lahir tokoh-tokoh monumental seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Raden Patah, hingga Raden Kusen. Pesantren Ampel bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga menjadi ruang konsolidasi gerakan kultural dan sosial-politik Islam yang kelak menggoyang struktur lama Majapahit.
Sunan Ampel menerapkan metode dakwah yang tidak konfrontatif. Alih-alih memerangi kekuasaan lama, ia memilih jalur integratif: mendidik generasi muda, membangun jaringan kekerabatan, dan mendirikan masjid sebagai pusat peradaban baru. Di sisi lain, ia memperluas jaringan dakwah hingga ke Gresik, Tuban, Lamongan, bahkan sampai ke Sukadana di Kalimantan. Jaringan ini dibentuk melalui murid-muridnya yang kemudian menikah dengan tokoh lokal, membentuk garis silsilah keulamaan dan kekuasaan yang berpengaruh.
Strategi dakwah Sunan Ampel bukan hanya berbasis ilmu, tetapi juga berbasis relasi sosial. Ia memahami bahwa transformasi budaya tidak dapat berlangsung dalam kekosongan institusional. Oleh karena itu, ia secara aktif menjodohkan para juru dakwah dengan putri-putri penguasa lokal. Dengan cara ini, Islam bukan saja menjadi agama spiritual, tetapi juga menjadi fondasi dari jaringan sosial baru yang lebih luas.
Salah satu contoh penting adalah pernikahan dirinya sendiri dengan Nyai Ageng Manila yang menghubungkannya dengan kekuatan elite lokal. Murid-muridnya pun menempuh jalan serupa. Raden Patah yang kelak menjadi Sultan Demak, adalah salah satu anak didik Sunan Ampel yang menggunakan kekuatan politik untuk memperluas pengaruh Islam. Sunan Giri menjadi pemimpin spiritual dan penguasa di Gresik yang disegani, dengan jejaring sampai ke Nusa Tenggara dan Kalimantan.
Sunan Ampel, dalam kerangka historiografi, bukan sekadar satu dari sembilan wali. Ia adalah penggerak utama dalam orkestrasi Islamisasi Nusantara yang cerdas dan terstruktur. Ia tidak datang membawa pedang, melainkan membawa pena, keluarga, dan masjid. Ia tidak mengguncang Majapahit dari luar, tetapi menggoyangnya dari dalam melalui pembentukan generasi baru yang Islami dan berpengaruh.
Jejaknya yang membentang dari Champa hingga ke pesisir Jawa Timur, dari Palembang hingga Kalimantan, menunjukkan luasnya jaringan yang dibangun melalui pendekatan integratif. Seperti dicatat penulis, model dakwah yang ia terapkan membentuk pola baru dalam penyebaran Islam di Nusantara: berbasis pesantren, mengandalkan pendidikan, dan mengakar melalui pernikahan politik.
Penulis berpendapat, pendekatan semacam ini menunjukkan bagaimana Islamisasi di Jawa tidak sekadar ekspansi religius, tetapi juga transformasi sosial, politik, dan kultural yang sangat kompleks. Dalam diri Sunan Ampel, kita melihat bukan hanya ulama, tetapi negarawan spiritual yang menyusun ulang fondasi masyarakat Jawa menuju era baru yang Islami, dinamis, dan bersatu dalam simpul-simpul dakwah dan kekerabatan.
Jejak Sunan Ampel adalah jejak perubahan—bukan sekadar mengislamkan masyarakat, tetapi membentuk masyarakat baru yang Islami, melalui ilmu, cinta, dan visi peradaban.