JATIMTIMES - Perang pesisir Jawa pada tahun 1674–1676 merupakan salah satu episode paling kompleks dalam sejarah perlawanan terhadap hegemoni Kompeni Belanda di Nusantara. Terjadi tidak lama setelah kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar (1666–1669), peristiwa ini menjadi ajang konsolidasi kekuatan diaspora Makassar di pesisir utara Jawa.
Dipimpin oleh tokoh karismatik Karaeng Galesong dan beberapa bangsawan Makassar seperti Karaeng Bonto Marannu dan anak Karaeng Tenetiye, gelombang perlawanan ini memperlihatkan perpaduan kekuatan militer, niat balas dendam, dan aliansi politik antara eksil Makassar dengan bangsawan dan pejabat lokal Jawa yang sedang mengalami krisis internal.
Kerja Sama Jawa-Makassar: Menyerang Kota-kota Pantai
Baca Juga : Doa Terakhir dari Imogiri: Detik-Detik Pengasingan Raja Surakarta Pakubuwana VI
Setelah kekalahan dalam Perang Makassar, banyak bangsawan dan pejuang Gowa melarikan diri ke berbagai wilayah, salah satunya pesisir utara Jawa. Mereka tidak datang sebagai pengungsi semata, tetapi sebagai armada gerilya yang tetap mempertahankan struktur komando, perlengkapan perang, dan idealisme perlawanan terhadap Kompeni. Kelompok Karaeng Galesong, Karaeng Bonto Marannu, dan Karaeng Tenetiye muncul sebagai pemimpin utama.
Pada akhir tahun 1674, gerakan Makassar mulai menunjukkan tajinya. Dari Demung, mereka mulai menyerang kota-kota pantai, dimulai dengan penaklukan Gerongan, pelabuhan beras vital di Delta Brantas yang berperan besar bagi suplai pangan Kompeni. Dengan armada lengkap, mereka menebar ancaman yang nyata. Daghregister VOC tanggal 7 Maret 1675 mencatat keluhan keras dari pejabat Belanda atas terbunuhnya awak perahu Batavia Struys oleh kelompok Makassar.
Yang mengejutkan pihak Kompeni adalah sikap ambigu, bahkan cenderung bersahabat, dari beberapa pejabat Jawa terhadap kelompok Makassar. Di Semarang, Demak, dan Jepara, perampasan oleh Makassar tidak direspons secara represif. Bahkan Putra Mahkota Mataram disebut telah memerintahkan agar orang-orang Makassar tidak diganggu. Sebaliknya, beberapa bupati seperti dari Gresik dan Surabaya yang berani menolak instruksi ini, justru kemudian dibunuh atas perintah Sunan Amangkurat I.
Di Jepara, Syahbandar Kartisedana – seorang Benggala yang loyal pada putra mahkota – disinyalir memiliki jaringan dengan perompak Makassar. Ia dituduh sering menerima barang rampasan, namun berhasil meyakinkan Kepala Daerah Wiraatmaka dengan argumentasi yang rapi. Kekuasaan Kartisedana pun makin menguat dan menimbulkan keluhan pedagang asing, termasuk Belanda.
Perang di Pesisir: Serangan Gresik, Surabaya, dan Jepara
Pada April 1675, armada Karaeng Galesong dan putra Karaeng Tenetiye muncul di perairan Gresik dengan 25 perahu bersenjata lengkap, membawa 500 prajurit berbaju zirah dan bersenjata tajam. Blompot, Rat van Avonture, dan Hengelaer – kapal Belanda kecil – menghalau mereka dengan ancaman kekerasan. Meskipun sempat mengibarkan bendera putih, kelompok Makassar disebut akan kembali menyerang setelah kapal Belanda pergi.
Ironisnya, Belanda justru dikabarkan menyerahkan 15 peti mesiu dan 300 peluru senapan kepada kelompok ini. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa terjadi perundingan tersembunyi, atau bahkan sabotase dari dalam tubuh VOC. Setelah insiden itu, armada Makassar mundur ke Demung, namun dikabarkan mendapat cercaan dari Karaeng Bonto Marannu karena dianggap pengecut.
Sementara itu, pada malam 16–17 April 1675, rumor menyebar di Jepara bahwa Gresik telah dikuasai total dan perompak Makassar akan menyerbu Teluk Jepara. Gong dipukul, api unggun dinyalakan, dan rakyat dikumpulkan ke Danareja. Wiraatmaka meminta bantuan kapal Belanda dari Demak, namun Couper, pemimpin VOC di sana, menolak bertindak malam hari.
Ketegangan militer di pantai menyulut ketegangan politik di dalam negeri. Putra Mahkota Mataram dituduh ingin merebut kekuasaan dari ayahnya. Akibatnya, ia dimusuhi dan hak atas Gresik-Surabaya dicabut. Wilayah ini sempat hendak diserahkan kepada Pangeran Mas Giri – seorang ulama kharismatik – namun ia menolak karena menolak terlibat dalam kekuasaan duniawi.
Pada April 1675, sang putra mahkota diampuni dan berdamai secara formal dengan adiknya, Pangeran Singasari. Namun hubungan keduanya tetap panas. Keduanya disebut mempersiapkan tombak, senapan, dan senjata api secara terpisah. Sunan Amangkurat I merasa terancam bahwa setelah wafatnya kelak, dua pangeran ini akan bertarung memperebutkan kekuasaan.
Respons Kerajaan dan Kompeni: Usaha Menjinakkan Makassar
Serangan Makassar memaksa Mataram dan Kompeni melakukan respons sistemik. Pada Juni 1675, Juwana diperintahkan mencari mesiu sebanyak mungkin. Sebulan kemudian, perintah jelas dikeluarkan: Raja akan menghajar dan mengusir kelompok Makassar. Di sisi lain, Makassar yang bermukim di kota-kota pesisir diperintahkan memakai pakaian Jawa agar tidak membedakan diri.
Namun, strategi ini tidak membuahkan hasil signifikan. Di Jepara, Makassar menyanggupi perintah, tetapi tetap beroperasi di bawah tanah. Kegagalan integrasi ini menunjukkan bahwa identitas etnis dan loyalitas politik kelompok Makassar tidak mudah disamarkan oleh kebijakan kultural semu.
Perang pesisir Jawa 1674–1676 menjadi simbol perlawanan diaspora Makassar terhadap kolonialisme, namun juga memperlihatkan betapa rapuhnya tatanan politik Mataram pasca-Amangkurat I. Karaeng Galesong, lebih dari sekadar pejuang eksil, tampil sebagai representasi mobilitas kekuatan lintas etnis yang mampu mengisi kekosongan kuasa di daerah pesisir.
Bagi penulis, peristiwa ini penting karena mengungkap aspek mikro-historis: hubungan informal antar elite lokal dan asing, keberadaan kekuasaan-bawah (subaltern), serta kaburnya batas antara perlawanan, perompakan, dan politik patronase. Ketegangan antara pusat (Sunan) dan daerah (pesisir) memperlihatkan bahwa Jawa abad ke-17 bukanlah sistem feodal tunggal yang stabil, tetapi arena dinamis bagi kontestasi kuasa antara pusat, bangsawan, dan kekuatan asing.
Karaeng Galesong dan para pemimpin Makassar lainnya tidak hanya menjadi aktor militer, tetapi agen sejarah yang membuka bab baru dalam pertarungan antara tradisi Nusantara dan kapitalisme kolonial. Perang pesisir ini adalah cermin dari sejarah gelap, penuh intrik, penuh darah, tetapi juga penuh keberanian dan perjuangan lintas identitas.
Karaeng Galesong: Kesatria Gowa di Jantung Pemberontakan Jawa
Baca Juga : BMKG Peringatkan Adanya Banjir Rob di Pesisir Jatim hingga 30 Mei, Ini Wilayah yang Terdampak
Pada dekade 1670-an, tanah Jawa kembali bergolak. Di tengah keretakan internal Kesultanan Mataram dan pengaruh kolonial yang kian mencengkeram melalui tangan VOC, sejarah Nusantara mencatat sebuah aliansi revolusioner yang menjungkirbalikkan konstelasi kekuasaan: persekutuan antara bangsawan Madura Raden Trunajaya dan eksil Makassar Karaeng Galesong. Di balik barisan prajurit dan gelegar senjata, berdiri satu figur kunci yang membawa bara perlawanan lintas pulau dan menjadikannya titik temu sejarah Makassar dan Jawa: Karaeng Galesong, putra bangsawan Gowa, ahli strategi laut, dan simbol dari dendam yang belum tuntas terhadap penjajahan Belanda.
Nama aslinya adalah I Manindori, namun dalam lembaran sejarah ia lebih dikenal dengan gelar Karaeng Galesong Karaeng Tojeng. Gelar ini tak sekadar panggilan kehormatan, melainkan representasi dari status elite bangsawan sekaligus penguasaan wilayah penting di selatan Kerajaan Gowa: Galesong, lumbung padi kerajaan dan pangkalan strategis militer. Lahir dari garis keturunan langsung permaisuri I Lo'mo Tobo, Galesong tumbuh dalam tradisi kepemimpinan militer, dan sejak muda telah turun dalam ekspedisi penaklukan ke wilayah taklukan Gowa.
Namun babak gelap menimpa Makassar. Pada 1669, setelah perang panjang melawan koalisi VOC dan Raja Bone Arung Palakka, Kerajaan Gowa dipaksa tunduk melalui Perjanjian Bongaya. Di bawah tangan dingin Gubernur Jenderal Cornelis Speelman, perjanjian itu memaksa Sultan Hasanuddin menyerahkan benteng-benteng strategis dan menerima dominasi Belanda atas jalur niaga dan politik Gowa. Tapi Karaeng Galesong tidak sudi hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan penjajah.
Empat tahun setelah kekalahan Gowa, pada 1671, Karaeng Galesong mengangkat sauh. Ia membawa serta keluarga, pengikut, dan barisan prajurit pelaut setia meninggalkan Makassar. Tujuannya bukan pengasingan, melainkan reuni dengan sejarah: menyusun kekuatan perlawanan baru di luar kendali VOC. Ia mendarat di pelabuhan Banten, tempat Sultan Ageng Tirtayasa masih tegak berdiri sebagai penguasa merdeka. Di bawah panji-panji Tirtayasa, Karaeng Galesong mengabdikan pasukannya untuk melawan VOC, yang dari Batavia tengah memperluas pengaruhnya ke arah barat.
Namun tak lama berselang, gelombang sejarah menariknya lebih dalam ke jantung Jawa. Di penghujung tahun itu, datang utusan Raden Kajoran – bangsawan Mataram yang juga tokoh karismatik spiritual. Ia membawa pesan dari Raden Trunajaya, menantunya sekaligus bangsawan Madura yang merencanakan pemberontakan terhadap kekuasaan Amangkurat I dan VOC.
Tawaran persekutuan tidak datang tanpa syarat. Trunajaya memahami bahwa kehadiran pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong akan menjadi kartu truf yang mengguncang dominasi militer Mataram dan VOC di Jawa pesisir. Untuk mengikat persekutuan, Trunajaya memberikan keponakannya, seorang putri bangsawan Madura, kepada Galesong sebagai istri. Pernikahan ini bukan hanya peristiwa keluarga, melainkan transaksi politik—dan lebih dari itu, kontrak militer. Galesong harus menyerang Gresik dan Surabaya, dua kota pelabuhan penting yang menjadi nadi perdagangan kerajaan dan basis kekuatan kolonial.
Menurut catatan VOC (Daghregister, 20 April 1675), serangan pertama Galesong dan pasukan eksil Makassar ke Gresik dan Surabaya sempat gagal. Namun itu tak menghentikan langkah mereka. Persekutuan dengan Trunajaya justru semakin solid. Dari pernikahan ini, lahirlah seorang anak pada Januari 1677. Maka dapat disimpulkan bahwa ikatan ini telah terjalin sejak akhir 1675, menandai tahap awal dari konspirasi militer-politik yang matang.
Tahun 1676 menjadi momentum klimaks aliansi Trunajaya-Galesong. Galesong dengan pasukan Makassarnya menjadi ujung tombak serangan terhadap wilayah pesisir utara Jawa. Mereka memukul Gresik, menghancurkan garnisun Surabaya, dan mengobarkan pemberontakan besar-besaran. Koalisi Trunajaya, didukung oleh elemen anti-Amangkurat di Mataram, mulai menggulung pasukan kerajaan dari pesisir menuju pedalaman.
VOC, dalam Daghregister, mencatat kehancuran menyeluruh kota-kota pelabuhan, eksodus warga, dan kekacauan jalur dagang. Surabaya, pusat niaga utama Mataram, kosong ditinggalkan penduduknya. Dalam waktu singkat, kekuatan maritim Trunajaya-Galesong berhasil melumpuhkan ekonomi kerajaan.
Puncaknya terjadi pada Juni 1677 ketika Plered, pusat pemerintahan Mataram, jatuh. Amangkurat I melarikan diri dan wafat dalam pengasingan di Tegal Arum. Jatuhnya ibu kota ini adalah simbol keruntuhan politik Mataram dan kekalahan telak bagi kekuasaan tradisional Jawa.
Setelah merebut Plered, Trunajaya seharusnya memimpin kemenangan besar bagi pemberontakan. Namun, di balik kejayaan itu muncul perpecahan. Trunajaya menolak memberikan posisi penting kepada Karaeng Galesong, pemimpin pasukan Makassar yang ikut berjasa dalam penaklukan tersebut. Merasa dikhianati, Galesong membentuk kekuatan sendiri di Kakaper, pesisir timur Jawa.
Perpecahan antara Raden Trunajaya dan Karaeng Galesong tercatat dalam dokumen VOC, seperti Daghregister Batavia dan laporan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman. Setelah pendudukan Plered, Galesong merasa diperlakukan sebagai bawahan, bukan mitra, sehingga mulai menjauh dan membuka komunikasi dengan VOC. Arsip VOC dan catatan perwira Jan van der Heiden menunjukkan bahwa pada akhir 1677, hubungan mereka memburuk, dan Galesong membentuk basis sendiri di pesisir utara Jawa. Konflik internal ini melemahkan pemberontakan dan memberi kesempatan bagi VOC dan Mataram untuk bangkit kembali.
Pada Oktober 1679, pasukan VOC dibantu milisi Bugis menyerbu Kakaper. Galesong melarikan diri dan berlindung di basis Trunajaya di Kediri. Tapi tidak lama berselang, pada 21 November 1679, ia meninggal secara misterius. Catatan VOC menyebut ia sakit, tetapi sumber-sumber lokal menyiratkan kemungkinan pembunuhan dalam skema perebutan kuasa.
Galesong meninggal di tanah asing, jauh dari Gowa yang ia bela. Namun jejaknya tertanam dalam sejarah sebagai simbol eksil yang memilih perlawanan hingga akhir hayat.
Tanpa Galesong, kekuatan militer Trunajaya melemah. Pada 25 Desember 1679, ia ditangkap oleh koalisi VOC-Mataram dalam pengepungan Pegunungan Kediri. Dua minggu kemudian, ia dieksekusi di hadapan langsung Amangkurat II—ritual politik yang dimaksudkan untuk mengukuhkan kembali legitimasi kekuasaan monarki.
Namun, sejarah mencatat kekalahan ini bukan penutup, melainkan awal dari fase baru: keterlibatan VOC dalam urusan dalam negeri kerajaan Jawa secara permanen. Pemberontakan Trunajaya-Galesong menjadi pembuka jalan bagi kolonisasi struktural.