free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Pertarungan Pajang vs Jipang: Politik, Legenda, dan Lahirnya Mataram Islam

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi pertempuran heroik antara Sutawijaya dan Arya Panangsang di tepian Bengawan Sore. Momen penentu dalam sejarah Jawa yang mengakhiri kekuasaan Jipang dan membuka jalan bagi lahirnya Kesultanan Mataram. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Nusantara pada paruh kedua abad ke-16 menyaksikan pergolakan sengit di antara pewaris tahta pasca-kejatuhan Kesultanan Demak. Panggung utama konflik ini adalah dua kekuatan besar: Pajang dan Jipang. Pajang, di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), berhadapan dengan Aria Panangsang dari Jipang, yang mewarisi klaim atas warisan Demak. Pertempuran antara keduanya tidak sekadar perebutan supremasi politik, melainkan juga benturan strategi, taktik, dan legenda yang melingkupinya.

Kisah ini telah dituturkan dalam berbagai naskah klasik seperti Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, yang menggambarkan bagaimana siasat cerdik, keberanian, serta elemen supranatural turut membentuk jalannya pertempuran yang menentukan nasib kedua belah pihak. Dari perang tanding di tepian Bengawan Sore hingga kejatuhan Aria Panangsang di ujung tombak Kiai Plered, kemenangan Pajang atas Jipang menjadi tonggak penting dalam dinamika politik Jawa.

Latar Belakang Konflik: Warisan Berdarah Kesultanan Demak

Baca Juga : Wamendagri Bima Arya Dilaporkan Warga Blitar, Wali Kota Pilih Fokus Kerja

Setelah wafatnya Sultan Trenggana pada 1546, Demak mengalami perebutan kekuasaan di antara para pewarisnya. Aria Panangsang, sebagai putra Pangeran Sekar Seda Lepen yang terbunuh oleh Sunan Prawata, memiliki alasan kuat untuk menuntut takhta. Namun, kekuasaan telah bergeser ke tangan Sultan Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana, yang memilih Pajang sebagai pusat pemerintahan baru.

Dendam Aria Panangsang kepada keturunan Sultan Trenggana membawanya pada tindakan drastis: ia membunuh Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri dari Jepara. Langkah ini menandai dimulainya perseteruan terbuka antara Jipang dan Pajang.

Hadiwijaya, yang pada awalnya bersikap hati-hati, kemudian menyadari bahwa ancaman Panangsang terhadap stabilitas politik Jawa tidak bisa dibiarkan. Dengan mengumumkan hadiah tanah Mataram dan Pati bagi siapa pun yang mampu menumbangkan Aria Panangsang, Hadiwijaya memancing munculnya para tokoh yang kelak akan menentukan arah sejarah Jawa: Kiai Gede Pamanahan, Ki Panjawi, dan Sutawijaya.

Strategi Jipang dan Pajang: Politik dan Militer dalam Konfrontasi

Aria Panangsang dikenal sebagai prajurit tangguh dan ahli dalam olah kanuragan. Ia memiliki pusaka sakti, keris Kyai Setan Kober, yang konon mampu menebas lawan dalam sekali ayunan. Selain itu, ia memiliki kuda jantan perkasa bernama Gagak Rimang, yang menjadi simbol kegagahan dan keberanian penguasa Jipang.

Namun, keunggulan personal ini tidak cukup untuk menandingi kecerdikan strategi yang diterapkan oleh pihak Pajang. Peran kunci dalam penyusunan siasat ini dimainkan oleh Kiai Juru Martani, seorang penasihat ulung yang memahami bahwa melawan Aria Panangsang secara langsung hanya akan berujung pada kegagalan.

Ki Juru Martani mengajukan siasat provokatif. Sebuah surat tantangan bernada ejekan dikirimkan ke istana Jipang melalui seorang perumput istana yang telinganya telah diiris sebagai tanda penghinaan. Aria Panangsang, yang dikenal cepat tersulut emosi, segera terperangkap dalam jebakan psikologis ini. Ia, tanpa mempertimbangkan strategi lebih lanjut, langsung menerjang musuhnya dengan kemarahan membara.

Pertempuran di Bengawan Sore: Saat Takdir Berpihak

Pertempuran puncak terjadi di tepian Bengawan Sore. Saat Aria Panangsang menyeberang, sebuah kutukan kuno yang dipercayai oleh banyak orang—bahwa siapa pun yang pertama kali menyeberangi sungai akan mengalami kekalahan—seakan menjadi kenyataan.

Pasukan Pajang yang dipimpin oleh Sutawijaya telah siap dengan strategi mereka. Dengan cerdik, Kiai Juru Martani melepaskan seekor kuda betina ke medan pertempuran. Gagak Rimang, kuda jantan Panangsang, menjadi liar dan sulit dikendalikan, membuat tuannya kehilangan keseimbangan.

Sutawijaya kemudian melancarkan serangan dengan tombak sakti Kyai Plered. Senjata itu melukai perut Aria Panangsang, membuat ususnya terburai. Namun, dalam kegigihan luar biasa, Panangsang tetap bertarung dengan gagah berani, bahkan menggunakan ususnya sendiri untuk menahan luka dan tetap menggenggam keris Setan Kober.

Di tengah kekacauan itu, Sutawijaya dengan cekatan melancarkan serangan terakhir yang mengakhiri perlawanan Aria Panangsang. Jipang pun akhirnya runtuh, dan pasukannya menyerah tanpa perlawanan lebih lanjut.

Dampak Kemenangan Pajang: Lahirnya Mataram Islam

Baca Juga : Jepara dan Daerah Pedalaman: Jejak Politik dan Peran Ratu Kalinyamat dalam Konstelasi Jawa Abad ke-16

Kemenangan Pajang atas Jipang bukan sekadar akhir dari satu babak perang saudara, tetapi juga awal dari era baru dalam sejarah Jawa. Seperti yang dijanjikan, Hadiwijaya menghadiahkan Mataram kepada Kiai Gede Pamanahan dan Pati kepada Ki Panjawi.

Pemberian Mataram kepada Kiai Gede Pamanahan memiliki implikasi jangka panjang yang sangat besar. Putranya, Sutawijaya, kelak mendirikan Kesultanan Mataram yang menjadi kekuatan dominan di Jawa pada abad ke-17. Dalam perspektif historiografi, kemenangan ini bukan hanya mengamankan posisi Pajang, tetapi juga menyiapkan panggung bagi munculnya Mataram Islam sebagai pusat kekuasaan yang lebih besar daripada pendahulunya.

Reinterpretasi Sejarah: Mitos dan Fakta dalam Narasi Jawa

Kisah kemenangan Pajang atas Jipang dalam Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha mengandung elemen-elemen naratif yang kuat, termasuk tokoh-tokoh heroik, pusaka sakti, dan strategi militer yang cerdik. Namun, sebagaimana lazim dalam historiografi Jawa, mitos dan fakta sering kali saling berkelindan.

Salah satu aspek menarik dalam narasi ini adalah bagaimana sosok Aria Panangsang digambarkan dengan konotasi negatif, hampir menyerupai seorang raksasa dalam epos pewayangan. Penggambaran emosionalnya yang meledak-ledak, serta adegan di mana ia menghancurkan piring nasi karena amarah, menciptakan citra seorang pemimpin yang dikuasai amarah, bukannya kebijaksanaan.

Sebaliknya, kemenangan Sutawijaya dengan tombak Kiai Plered dan siasat licik yang dirancang Kiai Juru Martani memberi kesan bahwa kemenangan ini bukan sekadar keberuntungan, tetapi bagian dari sebuah skenario besar yang sudah dirancang jauh sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sejarah yang dituliskan dalam babad bukan sekadar rekaman peristiwa, melainkan juga alat legitimasi politik bagi Mataram yang kelak berdiri.

Dari Pajang ke Mataram, Sebuah Warisan Sejarah

Pertempuran antara Pajang dan Jipang merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Jawa yang menandai pergeseran kekuatan dari Demak ke Pajang, dan kemudian ke Mataram. Kemenangan ini tidak hanya mengakhiri dominasi Aria Panangsang, tetapi juga membuka jalan bagi munculnya Dinasti Mataram yang akan menguasai Jawa selama berabad-abad.

Sebagaimana yang terlihat dalam berbagai naskah sejarah, kemenangan ini juga menjadi dasar bagi pembentukan narasi legitimasi kekuasaan. Sutawijaya, sebagai aktor kunci dalam pertempuran ini, kelak mendirikan kerajaan besar, sementara nama Aria Panangsang dikenang sebagai sosok tragis yang jatuh dalam pertarungan yang penuh intrik.

Dengan demikian, pertempuran ini bukan sekadar kisah peperangan, tetapi juga simbol dari pergulatan kekuasaan, strategi politik, dan konstruksi sejarah yang terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa.