JATIMTIMES - Dalam sejarah pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Kabupaten Magetan menampilkan satu fragmen istimewa yang membedakan dirinya dari banyak wilayah lain di Pulau Jawa: kesinambungan dinasti lokal yang nyaris tak terputus, berpadu dengan pusaran skandal kolonial yang mengguncang tatanan kekuasaan priyayi.
Artikel ini menelaah secara mendalam dinamika kekuasaan, loyalitas keluarga, dan intrik kolonial melalui lensa peristiwa yang berpusat pada keluarga bupati Magetan dari pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Baca Juga : Malam Jumat dan Dunia Gaib Orang Jawa: Antara Sesaji, Danyang, dan Dewi Sri
Sejak tahun 1837, Kabupaten Magetan berada di bawah kendali sebuah dinasti priyayi yang nyaris tak terputus—sebuah keluarga bangsawan yang mengklaim diri sebagai keturunan Bathoro Katong, putra Raja Majapahit Brawijaya V dan pendiri Ponorogo. Raden Mas Adipati (RMA) Kertonagoro, sebelumnya bupati Ngawi dan Purwadadi, diangkat sebagai bupati Magetan pada 1852. Ia digantikan oleh menantunya, bagian dari aliansi keluarga besar dengan bupati Ponorogo. Pada tahun 1887, jabatan berpindah kepada RMA Kerto Adinegoro, juga seorang menantu dari garis keturunan yang sama. Ia memegang jabatan hingga tahun 1912. Dalam kurun waktu itu, Magetan tidak hanya menjadi pusat kekuasaan keluarga, tetapi juga ladang berbagai intrik politik dan ekonomi.
Sistem dinasti ini menegaskan berlakunya prinsip keturunan dalam jabatan pemerintahan lokal, bahkan setelah diberlakukannya Regeringsreglement tahun 1854. Di saat Batavia hendak membentuk birokrasi kolonial yang netral dan meritokratis, praktik lokal di Magetan tetap mengakar pada warisan keluarga dan jejaring sosial priyayi.
Namun, di balik kemilau garis keturunan itu tersembunyi intrik dan skandal yang mengancam reputasi para elite lokal. Salah satunya adalah kasus penyelundupan candu di Magetan pada 1890, yang menyeret nama Bupati R.M.A. Kerto Adinegoro. Tuduhan ini tidak hanya mencoreng nama baik keluarga bupati, melainkan juga menguji batas kekuasaan residen dan hubungan antar etnis dalam dunia kolonial.
Bupati Kerto Adinegoro, menantu dari pendahulunya, menjabat sejak 1887 hingga 1912. Ia adalah tokoh yang tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian keluarga besarnya sendiri. Saudara tirinya, yang menjabat sebagai asisten jaksa kepala di Magetan, menganggap dirinya lebih layak menjadi bupati dan melaporkan adanya dugaan keterlibatan sang bupati dalam penyelundupan candu.
Konflik internal ini menjadi pemicu skandal. Pada 1890, tuduhan serius dilayangkan terhadap Bupati Magetan. Saudara tirinya mengadu kepada Jaksa Kepala di Madiun, menyampaikan kecurigaan bahwa sang bupati terlibat dalam penyelundupan candu. Tuduhan ini melibatkan koneksi yang sensitif: keterkaitan bupati dengan Letnan Cina, pemegang kontrak penjualan candu resmi di wilayah itu.
Bagi otoritas Belanda, relasi erat antara priyayi Jawa dan tokoh Cina—apalagi dalam konteks perdagangan candu—selalu mencurigakan. Dalam pandangan kolonial, pertemanan antara dua unsur ini lebih sering dilandasi motif ekonomi gelap: perjudian, peminjaman uang, dan terutama penyelundupan.
Residen Madiun saat itu, Donker Curtius, adalah seorang pejabat veteran dengan 27 tahun pengalaman di Hindia. Ia mendengar desas-desus seputar jaringan candu di Magetan bahkan sebelum ia menjabat. Karena itu, begitu mendapatkan laporan resmi dari Jaksa Kepala Madiun, ia segera menindaklanjuti dengan penyelidikan intensif.
Jaksa Kepala pun mengenalkan belasan informan, termasuk keponakan sang bupati sendiri—seorang pengurus kandang kuda yang hidup dalam kekurangan. Para informan mengungkap bahwa candu-candu selundupan dikirim dari pesisir utara, seperti Tuban dan Surabaya, dan disalurkan ke Magetan hingga Solo dengan restu atau pengaturan dari bupati. Bahkan disebutkan bahwa beberapa pejabat istana Solo ikut terlibat dalam distribusi tersebut.
Dengan informasi ini, Donker Curtius merasa punya cukup dasar untuk bertindak. Ketika keponakan sang bupati mengabarkan bahwa kiriman candu berikutnya telah tiba, ia memerintahkan penggeledahan mendadak ke kompleks kediaman bupati. Namun, operasi ini gagal total. Tak ditemukan barang bukti apa pun. Malah, insiden ini menimbulkan kemarahan besar.
Kebetulan, Hakim Kepala Keresidenan tengah berada di Magetan saat penggeledahan terjadi. Ia menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran tata krama kolonial dan penghinaan terhadap jabatan bupati. Ia protes keras dan menganggap bahwa tempat tinggal bupati tidak bisa diperlakukan seperti rumah penduduk biasa. Kekesalan ini membuat Donker Curtius semakin terkucil.
Namun, Donker Curtius tidak menyerah. Ia mengumpulkan lebih banyak saksi. Total 22 orang akhirnya menjadi informan resmi dan memberikan pengakuan tertulis yang kemudian dikirim ke Batavia. Di antaranya, kembali muncul nama-nama keluarga dekat bupati. Tekanan bertambah besar.
Sementara itu, RMA Kerto Adinegoro tetap memilih diam. Namun ia juga memainkan strategi balik. Ia mengirim telegram langsung kepada gubernur jenderal dan direktur jawatan sipil, menyampaikan protes terhadap perlakuan residen. Batavia, yang selama ini cukup bersimpati kepada elite priyayi loyal seperti Kerto Adinegoro, bereaksi dingin terhadap Donker Curtius.
Baca Juga : Penyerahan SK Pengangkatan CPNS dan PPPK, Mas Dhito: Jangan Terjebak di Zona Nyaman
Pusat kekuasaan di Batavia terkejut dengan langkah gegabah residen. Mereka menganggap tindakan itu terburu-buru, sembrono, dan mencederai martabat institusi bupati yang—betapapun—masih dipandang sebagai pilar penting dalam sistem pemerintahan tidak langsung Hindia Belanda. Residen dituduh gagal menunjukkan bukti konkret yang mengukuhkan tuduhannya.
Untuk menenangkan suasana, Batavia mengambil alih penyelidikan. Bupati Magetan, letnan Cina, kerabat-kerabat terdekat, dan pihak-pihak yang terkait dengan perdagangan candu dikirim ke Batavia. Di sana, mereka dimintai keterangan langsung. Batavia juga menunjuk H.L. Ch. ter Mechelen, Inspektur Candu dari pusat, untuk menyelidiki kasus ini secara independen.
Donker Curtius didepak dari penyelidikan. Wewenangnya dicabut, dan ia dilarang ikut campur. Skandal yang awalnya tampak sebagai momen gemilang bagi karier seorang residen akhirnya menjadi batu sandungan yang mempermalukan dirinya sendiri. Ia tidak hanya gagal membuktikan dakwaan, tetapi juga mempermalukan institusi pemerintah kolonial dengan menyerang seorang bupati tanpa landasan hukum yang kokoh.
Hasil akhir penyelidikan Batavia menunjukkan bahwa tidak cukup bukti untuk memvonis RMA Kerto Adinegoro. Tidak ada pengakuan dari tokoh utama, tidak ada barang bukti yang mendukung, dan saksi-saksi utama berasal dari kalangan keluarga yang memiliki motif politis dan personal.
Skandal candu ini memperlihatkan bagaimana jabatan bupati telah berubah menjadi medan konflik antara legitimasi tradisional dan otoritas kolonial. Dalam narasi kolonial resmi, bupati seperti Kerto Adinegoro adalah pegawai negara biasa yang harus tunduk pada aturan administratif. Namun dalam praktik, mereka tetap memerankan peran ganda: sebagai penguasa lokal dengan legitimasi turun-temurun dan sekaligus sebagai agen pemerintahan.
Kisah ini juga mencerminkan betapa kompleksnya relasi antara elite Jawa, pejabat kolonial, dan komunitas Tionghoa. Persekutuan antara priyayi dan pengusaha Cina seringkali dipandang sebagai ancaman terselubung terhadap kontrol kolonial atas ekonomi lokal, khususnya dalam sektor-sektor yang diatur secara monopolistik seperti perdagangan candu.
Secara historiografis, kasus ini mencerminkan pergeseran struktur kekuasaan di tingkat lokal. Dari bupati sebagai pewaris kultural dan spiritual, menjadi bupati sebagai birokrat yang harus bertanggung jawab kepada administrasi kolonial. Namun dalam praktik, garis keturunan tetap menjadi alat konsolidasi kekuasaan yang dominan.
RMA Kerto Adinegoro tetap menjabat hingga 1912. Skandal candu yang nyaris menjatuhkannya justru memperkuat posisinya sebagai bagian dari struktur kekuasaan kolonial yang kompleks dan berlapis. Ia menjadi contoh nyata bagaimana seorang pejabat lokal dapat bertahan dari badai politik dan tuduhan kriminal, selama ia memiliki jaringan kekuasaan yang tepat, termasuk di Batavia.
Magetan sendiri terus dipimpin oleh dinasti yang sama hingga zaman kemerdekaan, ketika menantu dari generasi terakhir, Raden Tumenggung Soerjo, kelak menjadi Gubernur pertama Jawa Timur pada masa Republik. Dengan begitu, kisah bupati dan candu di Magetan bukan sekadar catatan kriminal, melainkan potret mendalam tentang tarik-menarik antara moralitas, kekuasaan, dan kolonialisme di tanah Jawa yang belum sepenuhnya dijinakkan oleh pemerintahan kolonial.