free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Rehabilitasi Hutan Indonesia Dinilai Belum Efektif, Pakar Kehutanan: Perlu Pendekatan yang Lebih Tepat

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi (ist)

JATIMTIMES - Upaya rehabilitasi hutan di Indonesia saat ini dianggap belum efektif dalam mengatasi kerusakan ekosistem yang semakin parah. Menurut Dr. Tatag Muttaqin, S.Hut., M.Sc., seorang dosen kehutanan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), masalah utama yang dihadapi adalah ketidaksesuaian antara pendekatan yang digunakan dan kebutuhan rehabilitasi itu sendiri. 

Alih-alih memfokuskan pada kualitas pemulihan ekosistem, selama ini banyak upaya yang lebih menitikberatkan pada kuantitas pohon yang ditanam.

Baca Juga : Peduli Lingkungan, Karantina Jatim Tanam Ratusan Pohon dan Gelar Pasar Murah

ā€œPendekatan yang ada saat ini sering kali terjebak pada jumlah pohon yang ditanam, bukan pada tingkat kelangsungan hidupnya. Rehabilitasi hutan tidak bisa hanya sebatas ritual atau kegiatan sesaat. Dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai ekosistem dan sejarah tanah tersebut. Tanpa ini, penanaman pohon malah dapat memperburuk kerusakan yang ada,ā€ jelas Tatag, (23/5/2025).

Menurutnya, salah satu kunci dari reboisasi yang efektif adalah dengan mengenali jenis tanaman yang secara alami berkembang di area tersebut. Setiap kawasan memiliki karakteristik yang unik, dan pemilihan bibit yang tepat sangat bergantung pada pemahaman tersebut. Sebagai contoh, di kawasan Batu, jenis tanaman yang sesuai adalah pinus dan eukaliptus, bukan sembarang pohon yang ditanam tanpa mempertimbangkan kondisi alam sekitar.

Tatag juga mengungkapkan bahwa proses reboisasi yang berhasil tidak cukup hanya dengan menanam pohon, melainkan juga melibatkan beberapa tahapan yang harus dilalui. Lima langkah utama yang harus diperhatikan, antara lain identifikasi kondisi lahan dan vegetasi lokal, pemilihan bibit yang sesuai, penentuan waktu tanam yang ideal (terutama saat musim hujan), penanaman, serta perawatan yang berkelanjutan setidaknya selama lima tahun. 

"Banyak orang berhenti setelah menanam pohon, namun tanpa pemeliharaan, tingkat kematian pohon sangat tinggi," katanya.

Dalam memilih bibit, Tatag menekankan pentingnya kesesuaian antara bibit dengan iklim, jenis tanah, dan topografi daerah. Sebab, kesalahan dalam pemilihan bibit akan memengaruhi keberhasilan seluruh proses rehabilitasi. "Jumlah pohon yang ditanam bukan masalah utama, tetapi apakah bibit tersebut dapat berkembang dengan baik sesuai dengan kondisi alamnya," tambahnya.

Kerusakan hutan yang semakin parah juga mulai terasa dampaknya, salah satunya terlihat dari penurunan jumlah mata air di kawasan hulu Sungai Brantas. Dulu, terdapat lebih dari 700 mata air, namun kini jumlahnya tinggal sekitar 500. "Jika area hulu rusak, hilirnya juga akan terdampak. Dampaknya akan langsung dirasakan oleh sektor pertanian dan kehidupan masyarakat sekitar," ujar Tatag.

Lebih jauh, konversi hutan lindung menjadi lahan pertanian turut mengancam keberagaman hayati. Banyak flora dan fauna endemik yang kehilangan habitatnya, beberapa di antaranya bahkan sudah terancam punah. Tatag menekankan bahwa rehabilitasi hutan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau lembaga-lembaga besar. 

Baca Juga : 600 Dosis Vaksin Disuntikkan, Ternak di Kota Malang Dipastikan Bebas PMK jelang Idul Adha

Masyarakat, terutama kalangan muda, harus turut berperan aktif dalam menjaga kelestarian alam. "Misalnya dengan menanam satu pohon sepanjang hidup, itu sudah menjadi kontribusi yang berarti," ujarnya.

Tatag juga menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan adalah kunci utama keberhasilan rehabilitasi. "Jika masyarakat sejahtera, mereka akan menjaga hutan. Sebaliknya, jika mereka merasa terpinggirkan dan tidak memiliki alternatif penghidupan, mereka justru akan merambah hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," tambahnya.

Rehabilitasi hutan harus dilihat sebagai langkah perlindungan yang tidak hanya menyasar lingkungan, tetapi juga kehidupan manusia. Kerusakan hutan dapat memicu bencana alam, memperburuk kondisi kemiskinan, dan bahkan menambah potensi konflik sosial. Oleh karena itu, menurut Tatag, rehabilitasi hutan harus segera dilakukan, bukan hanya sebagai pilihan, tetapi sebagai kewajiban yang tak bisa ditunda lebih lama lagi.

Untuk memastikan keberlanjutan ekosistem, rehabilitasi hutan Indonesia perlu didorong dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan berbasis pada pemahaman mendalam mengenai kondisi alam. Tentunya, hal ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, serta memfokuskan perhatian pada kualitas daripada sekadar kuantitas pohon yang ditanam.