free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Sentot Alibasyah Prawirodirdjo: Senopati Diponegoro yang Lahir dari Bara Api Revolusi

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Sentot Alibasah Prawirodirdjo, seorang senopati muda dalam Perang Diponegoro (1825–1830). (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam sejarah perang besar yang melibatkan kolonialisme dan perlawanan Nusantara, nama Sentot Alibasah Abdul Mustopo Prawirodirdjo berdiri sebagai monumen hidup keberanian dan strategi militer. Ia bukan hanya sekadar panglima, tetapi juga seorang anak revolusi yang dibentuk oleh gelombang perlawanan sejak dalam kandungan.

Lahir dengan nama Raden Bagus Sentot di istana Maospati, ia kemudian dikenal sebagai Pangeran Alibasah Abdul Mustopo Prawirodirdjo. Ia adalah putra dari Raden Ronggo Prawirodirdjo III, seorang wedana bupati Madiun yang menjadi salah satu pilar perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. 

Baca Juga : 7 Tanaman Obat untuk Sesak Napas Alami yang Terbukti Efektif

Ibunya, Nyimas Ageng Genosari, adalah seorang selir. Dari jalur ayahnya, darah kebangsawanan bercampur dengan api pemberontakan, menjadikannya takdir hidupnya tak terelakkan: ia harus menjadi pemimpin perang.

Sebagai keturunan bupati yang berkuasa di Mancanegara Timur, Sentot tumbuh dalam lingkungan politik yang keras dan militeristik. Selain itu, ia memiliki hubungan erat dengan Sultan Hamengkubuwono I, karena kakeknya, Raden Ronggo Prawirodirdjo I, adalah wedana bupati Madiun sekaligus panglima kepercayaan sang sultan dalam Perang Suksesi Jawa III. Garis keturunan ini menempatkan Sentot di pusat dinamika politik Yogyakarta dan perjuangan melawan kolonialisme.

Namun, akar keberanian Sentot bukan hanya berasal dari darah biru yang mengalir dalam tubuhnya, tetapi juga dari didikan keras dalam istana Yogyakarta, tempatnya dibesarkan. Istana pada waktu itu bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga kawah candradimuka tempat lahirnya para pemimpin perang yang akan menjadi penggerak utama Perang Jawa (1825–1830).

Asal-Usul Keluarga: Garis Keturunan dan Tradisi Kepemimpinan

Untuk memahami karakter dan militansi Sentot, kita harus menggali lebih dalam akar sejarah keluarganya. Kakek buyut Sentot, Raden Ronggo Prawirodirdjo I, menikahi adik Sultan Hamengkubuwono I, sementara sang sultan sendiri memperistri Roro Juwati, adik Ronggo, yang kemudian bergelar Ratu Ageng Tegalrejo. Selain menjadi pengasuh Pangeran Diponegoro, Ratu Ageng juga ahli dalam ilmu perang dan turut bertempur dalam Perang Suksesi Jawa III.

Di generasi berikutnya, Raden Ronggo Prawirodirdjo II, bupati-wedana Mancanegara Timur, mempererat hubungan dengan Keraton Yogyakarta melalui pernikahannya dengan putri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai penguasa Madiun, ibu kota provinsi Yogyakarta di Jawa Timur, ia memegang kendali atas wilayah strategis yang menjadi pusat pemerintahan dan pertahanan.

Putranya, Raden Ronggo Prawirodirdjo III, yang masih merupakan cucu Sultan Hamengkubuwono I, melanjutkan warisan kepemimpinan keluarganya. Ia menikahi GBRAy Maduretno, putri Sultan Hamengkubuwono II, memperkuat ikatan politik antara keluarganya dengan dinasti Mataram. 

 Ayah Sentot, Raden Ronggo Prawirodirdjo III, merupakan sosok yang lebih revolusioner dibanding para pendahulunya. Sebagai wedana bupati Madiun (1801–1810), ia bukan hanya seorang pejabat administratif, tetapi juga seorang pemimpin perang yang menentang hegemoni pemerintah kolonial. Dalam berbagai catatan sejarah, ia digambarkan sebagai figur yang keras, disiplin, dan tanpa kompromi terhadap pengaruh Belanda.

Tahun 1810 menjadi titik balik bagi keluarga Prawirodirdjo. Saat itu, Raden Ronggo Prawirodirdjo III berselisih dengan Herman Willem Daendels dan memilih memberontak terhadap kolonialisme, terutama setelah Belanda mulai mencampuri urusan internal pemerintahan Yogyakarta. Dari Istana Maospati, ia mengobarkan perang, membakar desa-desa, dan mengerahkan para pengikutnya untuk menggulingkan kekuasaan kolonial. Namun, pemberontakan ini berakhir tragis. Pada Desember 1810, ia tewas dalam pertempuran di Desa Sekaran, Kertosono, dan jasadnya kemudian diarak ke Yogyakarta sebagai simbol kekalahan.

Pada penghujung tahun 1810, takdir membawa Raden Ronggo Prawirodirjo III ke ambang kematian yang tragis. Perlawanan terbuka yang ia kobarkan dari Maospati telah membuatnya menjadi musuh utama pemerintah kolonial dan bahkan menciptakan ketegangan dengan Keraton Yogyakarta. Di mata Sultan Hamengkubuwono II, Ronggo bukan sekadar seorang bupati wedana yang membangkang, tetapi juga ancaman bagi stabilitas kekuasaan kerajaan yang semakin tunduk pada tekanan Belanda.

Dalam Babad Tanah Jawi, kematiannya digambarkan secara halus dan sarat simbolisme. Sang Sultan mengeluarkan titah: Ronggo harus ditangkap, hidup atau mati. Perintah ini diserahkan kepada Pangeran Dipokusumo, seorang bangsawan Yogyakarta keturunan Sunan Amangkurat III, yang ditugasi menangani perkara pengkhianatan tersebut. Namun, dalam versi babad, eksekusi terhadap Ronggo tidak digambarkan sebagai penangkapan brutal semata.

Dikisahkan bahwa Ronggo meminta untuk mati sebagai seorang ksatria. Ia tidak ingin ditangkap hidup-hidup dan dipermalukan di hadapan kolonial. Maka, dalam sebuah perkelahian pura-pura, ia berhadapan satu lawan satu dengan Pangeran Dipokusumo. Dalam duel yang sengaja diatur ini, tombak pusaka Kyai Blabar menjadi saksi. Senjata itu menusuk tubuh Ronggo, merenggut nyawanya dengan cara yang lebih terhormat dibanding eksekusi biasa.

Jasadnya kemudian dimakamkan di Banyusumurup, dekat kompleks Makam Imogiri. Namun, makam itu memiliki stigma tersendiri: ia menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang dianggap pemberontak oleh raja-raja Mataram. Di sana pula Pangeran Pekik dan istrinya, yang dihukum gantung oleh Amangkurat I, beristirahat dalam keheningan sejarah. Stigma ini menjadikan pemakaman Ronggo di Banyusumurup sebagai simbol kekalahan bagi mereka yang menolak tunduk pada kekuasaan kerajaan.

Namun, sejarah selalu menempatkan setiap tokoh pada posisinya. Pada Februari 1957, Sultan Hamengkubuwono IX mengambil keputusan besar: memindahkan jenazah Ronggo ke Gunung Bancak, Magetan.Di sanalah ia akhirnya dimakamkan kembali, di sisi istrinya, Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, sebagai penghormatan atas jasanya. Keputusan ini juga memenuhi pesan terakhir Ronggo—untuk tetap dekat dengan pendamping hidupnya, bahkan dalam kematian.

Sepeninggal Ronggo Prawirodirjo III, Madiun jatuh ke tangan Pangeran Dipokusumo. Pemerintahan Maospati tetap berdiri, tetapi bukan sebagai pusat pemberontakan, melainkan sebagai wilayah yang tetap setia kepada Yogyakarta. Meski menjabat sementara, Dipokusumo tetap mempertahankan politik anti-kolonial seperti yang diterapkan Ronggo sebelumnya. Ia berkuasa dari 1810 hingga 1822, menunggu saat di mana pewaris sah Ronggo, Raden Mas Prawirodiningrat, cukup dewasa untuk mengambil alih kepemimpinan.

Sejarah mencatat Ronggo Prawirodirjo III bukan sekadar pemberontak, tetapi seorang pemimpin yang berani menentang dominasi asing. Kematian dan pemakamannya mungkin sempat dijadikan simbol kekalahan, tetapi pada akhirnya, sejarah menempatkannya di jalur yang lebih terhormat—seorang bangsawan, seorang pejuang, dan seorang yang memilih mati di medan kehormatan.

Kematian ayahnya menjadi pelajaran pahit bagi Sentot yang saat itu masih anak-anak. Namun, di balik tragedi itu, ada warisan yang tak ternilai: semangat perlawanan yang tertanam kuat dalam dirinya. Ia tidak hanya mewarisi nama besar keluarganya, tetapi juga dendam dan semangat revolusi yang terus membakar.

Mewarisi Api Revolusi: Dari Sejarah Keluarga Menuju Perang Jawa

Setelah kematian ayahnya, keluarga besar Prawirodirdjo mengalami tekanan politik yang hebat. Banyak anggotanya dipenjara atau diasingkan, sementara Sentot dan saudara-saudaranya dibawa ke dalam lingkungan istana Yogyakarta untuk diawasi langsung oleh sultan.

Namun, alih-alih menjadi alat politik Belanda, lingkungan ini justru menempa Sentot menjadi seorang revolusioner. Di Keraton Yogyakarta, ia mendapat pendidikan militer yang keras. Ia belajar tentang strategi perang, taktik gerilya, dan ilmu kepemimpinan dari para senopati senior. Tidak hanya itu, ia juga melihat langsung bagaimana kolonialisme merampas hak-hak bangsanya, bagaimana para adipati dan bupati dipaksa tunduk pada kebijakan pemerintah Hindia Belanda.

Baca Juga : 7 Ramuan Herbal untuk Batuk Berdahak Parah yang Ampuh dan Teruji Secara Ilmiah

Di dalam keraton, ia tumbuh bersama seorang putra sultan yang kelak menjadi pemimpin utama Perang Jawa: Pangeran Diponegoro. Keduanya memiliki banyak kesamaan—lahir dari keluarga bangsawan, mewarisi dendam terhadap Belanda, dan bertekad menegakkan keadilan.

Diponegoro menikahi saudara perempuan Sentot, Raden Ayu Maduretno, lalu membawanya ke Tegalrejo. Hubungan ini kelak menjadi faktor penentu dalam perang melawan kolonialisme. Sentot bukan sekadar pengikut Diponegoro, tetapi salah satu senopati terkuat yang memimpin pasukan pribumi dalam perlawanan besar terhadap Belanda.

Sejarah menunjukkan bahwa individu-individu yang lahir dalam lingkungan penuh konflik dan ketidakadilan cenderung tumbuh menjadi pemimpin perlawanan. Sentot adalah contoh nyata dari teori ini.

Ayahnya gugur dalam perang, kakeknya adalah seorang panglima besar, dan lingkungannya penuh dengan ketidakadilan yang harus diperangi. Semua faktor ini membentuk mentalitasnya menjadi seorang pejuang.

Kita tidak bisa memahami keputusan-keputusan militer Sentot tanpa memahami latar belakang keluarganya. Ia adalah produk dari garis keturunan yang berulang kali menolak tunduk pada kekuasaan asing. Ia tumbuh dalam suasana revolusioner, melihat sendiri bagaimana kolonialisme mencengkeram tanah kelahirannya, dan pada akhirnya, ia memilih jalan yang telah digariskan oleh darah dan sejarahnya: perlawanan.

Ketika Perang Jawa meletus pada 1825, Sentot telah siap. Ia tidak lagi menjadi anak kecil yang menyaksikan kematian ayahnya, melainkan seorang senopati muda yang siap mengobarkan perlawanan besar.

Sentot meneruskan perjuangan leluhurnya. Dendam itu bukan sekadar bara—ia adalah api yang menyala dalam darahnya, mengingatkan pada ayahnya yang gugur sebagai seorang ksatria. Dalam Perang Jawa, ia bukan sekadar panglima, tetapi badai yang mengguncang militer kolonial. Namun, setiap perjuangan memiliki takdirnya sendiri. Pada akhirnya, ia dihadapkan pada pilihan getir: mati di tanah kelahiran atau tersingkir jauh ke pengasingan. Takdir memilih untuk merenggutnya di Bengkulu, jauh dari Maospati, tempat ia pertama kali membuka mata pada dunia yang kelak akan mengujinya.

Sebagai pemuda berdarah biru yang melihat bagaimana kakek dan ayahnya berkonfrontasi dengan pemerintah kolonial, Sentot menginternalisasi sikap revolusioner. Tak mengherankan bila kelak ketika Perang Jawa pecah pada tahun 1825, ia tampil bukan hanya sebagai sekutu militer Diponegoro, melainkan juga sebagai perpanjangan dari dinasti perlawanan yang sudah lama bersitegang dengan pemerintah kolonial.

Senopati Diponegoro – Antara Politik, Persaudaraan, dan Strategi

Ketika Perang Jawa meletus, Sentot tidak hanya berperan sebagai komandan militer; ia juga merupakan bagian dari lingkaran dalam Pangeran Diponegoro. Sejarah secara tegas mencatat bahwa saudara perempuannya, Raden Ayu Maduretno, diperistri oleh Diponegoro—suatu ikatan yang menjadikan mereka bukan hanya rekan seperjuangan, tetapi juga ipar. Hubungan kekerabatan ini turut memperkuat kohesi internal pasukan Diponegoro di tengah sengitnya perang gerilya melawan kekuatan kolonial.

Sentot dikenal sebagai pemimpin karismatik dan ahli strategi perang lapangan. Dalam banyak catatan Belanda, termasuk dalam arsip Poensen dan catatan militernya, ia digambarkan sebagai lawan yang tangguh, "een der verbitterdste vijanden van het Gouvernement" — salah satu musuh paling keras pemerintahan kolonial. Ia memimpin berbagai serangan gerilya yang memporak-porandakan logistik dan moral pasukan Belanda, terutama di daerah Mataraman.

Tapi hubungan antara Sentot dan Diponegoro tidak selalu tanpa gesekan. Perbedaan pandangan strategi, persoalan kedisiplinan, hingga perbedaan tingkat keagamaan menjadi sumber ketegangan. Dalam beberapa catatan Belanda disebutkan bahwa Sentot dianggap terlalu pragmatis dan kurang konservatif dalam pendekatan religius, berbanding terbalik dengan visi Diponegoro yang sangat spiritual dan millenaristik. Perbedaan ini kelak menjadi titik kritis dalam relasi mereka, terutama ketika posisi militer Jawa kian terdesak menjelang akhir perang.

Tahun-tahun terakhir perang menjadi babak sulit bagi Sentot. Dalam upaya menyelamatkan pasukan dan menegosiasikan ruang gerak, ia memutuskan membuka komunikasi dengan pihak Belanda. Langkah ini ditafsirkan sebagian pihak sebagai pengkhianatan. Namun, dalam perspektif historiografi modern, tindakan Sentot lebih tepat dibaca sebagai pilihan diplomasi dalam kondisi yang sangat terbatas. Ia bahkan sempat ditawan, lalu digunakan oleh Belanda dalam operasi kontra-Diponegoro, walau dengan pengawasan ketat.

Setelah perang berakhir, Sentot  diasingkan ke Bengkulu oleh pemerintah kolonial. Dalam pengasingan itu, ia tetap menjaga integritas sebagai bangsawan Jawa. Ia tidak kembali tunduk sepenuhnya kepada kolonial, melainkan memelihara jaringan dan pengaruh di kalangan elite lokal serta para ulama. Ia wafat pada usia muda, tetapi warisannya tetap dikenang sebagai figur yang menggabungkan darah bangsawan, keberanian militer, dan semangat perlawanan.

Kisah hidup Sentot Prawirodirdjo tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah panjang Jawa abad ke-18 hingga ke-19. Ia adalah manifestasi dari konflik dinasti, ideologi, dan kolonialisme. Dalam historiografi Indonesia modern, posisinya masih sering tertinggal dalam bayang tokoh-tokoh besar seperti Diponegoro, padahal riwayat hidupnya memuat simpul-simpul penting sejarah Jawa: tentang bagaimana kekuasaan lokal membangun resistensi terhadap dominasi asing, dan bagaimana darah bangsawan bisa berubah menjadi bara perjuangan.

Melalui jalur ayahnya, Sentot adalah cucu dan cicit para bupati revolusioner yang menolak tunduk pada otoritas kolonial. Melalui pendidikannya di keraton, ia menyerap semangat kejawen yang berpadu dengan doktrin jihad. Dan melalui kiprahnya dalam perang, ia memperlihatkan bahwa sejarah tidak dibentuk oleh narasi tunggal, melainkan oleh pusaran darah, dendam politik, dan keteguhan pribadi.

Sentot Alibasyah Prawirodirdjo bukan sekadar senopati perang. Ia adalah simpul sejarah antara keraton dan rakyat, antara darah dan medan laga, antara revolusi dan pengkhianatan. Namanya tak hanya hidup dalam catatan militer, tetapi juga dalam memori kolektif sebagai simbol bahwa keberanian lahir dari silsilah dan dibentuk oleh zaman.