JATIMTIMES - Pada malam yang lengang tanggal 15 Oktober 1885, di Desa Patik, wilayah Pulung, Kabupaten Ponorogo, sebuah konspirasi besar lahir dari perasaan getir terhadap kekuasaan kolonial. Adalah Martodimejo, seorang tokoh lokal yang menggagas sebuah rencana pemberontakan yang berani: merebut kota Ponorogo dan membantai semua orang Eropa di sana.
Martodimejo tak sendiri. Ia dibantu oleh putra dan keponakannya, bersama tujuh kerabat lainnya dari Patik. Namun, sejak awal, tanda-tanda kegagalan telah mengintai. Malam itu, para peserta yang dijadwalkan berkumpul di rumah Martodimejo justru terlambat datang, beberapa bahkan absen.
Baca Juga : Mau Tampil Glowing di Acara Spesial, Dokter Zie Rekomendasikan Tiga Perawatan Ini
Rencana awal pun kandas sebelum bergerak. Melihat situasi, mereka sepakat untuk menunda aksi ke 28 Oktober 1885, memilih malam Jumat Legi—hari yang menurut kepercayaan Jawa membawa keberuntungan. Di balik keputusan ini berdiri seorang tokoh penting, Sim Ju Hin, seorang petani kaya keturunan Cina, yang tak hanya menyediakan pembiayaan melalui uang candu, tetapi juga menjanjikan dukungan seorang Letnan Cina.
Selama dua pekan, antara 15 hingga 28 Oktober, sebanyak 15 orang pemberontak bersembunyi di rumah Martodirejo. Di sana, mereka menyiapkan atribut perlawanan: celana panjang biru tua dan ikat leher putih, disediakan oleh tuan rumah. Di balik kesederhanaan pakaian itu, tersimpan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial yang menyelimuti Pulung dan sekitarnya.
Namun ketika malam 28 Oktober tiba, bantuan yang dijanjikan tak kunjung datang. Para pemberontak kembali menemui kegagalan koordinasi. Mereka tercerai-berai. Martorejo dan kelompoknya akhirnya pulang ke Patik, bersenjata seadanya: keris dan tombak. Dalam kondisi ini, lahir keputusan baru: pemberontakan akan dimulai dari Pulung, bertumpu pada kekuatan lokal, sebelum menggulung Ponorogo dan jika berhasil merambat ke Madiun dan seantero Jawa.
Namun, lagi-lagi, eksekusi berjalan timpang.Martorejo berharap akan menerima bantuan dari Desa Doplang, namun Kepala Desa Doplang gentar dan mundur. Opas Wedana Jebang yang ditugaskan merekrut massa juga gagal, terhambat masalah biaya dan kekacauan informasi soal tanggal pergerakan. Berkali-kali perubahan rencana hanya memperburuk koordinasi, memperlihatkan lemahnya organisasi pemberontakan ini.
Di sisi lain, pilihan markas di Kampung Brotonegaran, Ponorogo, yang dihuni oleh banyak pengungsi dari Solo dan kelompok-kelompok marginal, sesungguhnya memperlihatkan adanya strategi politis. Brotonegaran adalah lingkungan padat yang relatif anti-pemerintah, tempat ideal untuk menyusun kekuatan. Rencana besar mereka mencakup pembebasan tahanan, penawanan pejabat kolonial seperti asisten residen, dan perampokan kas pajak untuk mendanai perjuangan. Bahkan, ada ambisi yang lebih jauh: mengibarkan bara pemberontakan ke seluruh Jawa, menantang dominasi kolonial Belanda.
Namun, sekali lagi, semua ini tetaplah harapan tanpa eksekusi yang matang.Pada malam 2 November 1885, tepat pukul delapan malam, sekitar 50 orang berkumpul di rumah Kepala Desa Patik. Belum sepenuhnya memahami arah gerakan, mereka tahu satu hal: bahwa malam itu mereka akan menyuarakan kemarahan terhadap pajak tanah yang mencekik. Pajak ini menjadi momok besar sejak awal 1880-an, ketika kebijakan tanam paksa merosot, dan pemerintah kolonial beralih memperberat beban rakyat dengan pungutan lahan.
Dalam simbolisme Jawa yang sarat makna, seekor kuda putih bernama Semar dihadirkan. Kuda ini, diberi pelana mewah, menjadi kendaraan bagi Carik tua Patik yang kemudian dianugerahi gelar Pangeran Mangku Lelono. Martorejo dan para pemimpin lainnya juga diangkat menjadi "pangeran". Gestur ini bukan sekadar seremoni; ia adalah deklarasi perang simbolis terhadap kekuasaan kolonial, menggemakan romantisme pemberontakan Diponegoro setengah abad sebelumnya.
Setelah seremoni singkat, gerombolan bergerak menuju kediaman Wedana Pulung. Sang wedana, yang tengah menjamu tamu dengan gamelan, menolak membuka pintu. Para pemberontak kemudian menyita dua pucuk senapan dari pendapa, memukul gong upacara, dan menembakkan senjata ke udara—tindakan teatrikal untuk menggugah semangat rakyat.
Gerombolan kemudian bergerak menuju rumah sang kontrolir Belanda, yang kebetulan sedang tidak di tempat. Mereka mengobrak-abrik perabotan dan mencoba membakar rumah itu, namun secara mencolok tidak membawa hasil rampasan berarti. Ini menunjukkan bahwa motif utama gerakan ini bukanlah perampokan, melainkan ekspresi kemarahan dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Kemenangan kecil ini segera berubah menjadi bencana.Tiba di Desa Caper sekitar pukul tiga pagi, para pemberontak—lelah, lapar, dan bingung—mencari makan. Kepala Desa Caper, berpura-pura bersimpati, menyajikan kopi yang telah diberi campuran obat tidur. Tanpa curiga, para pemberontak meneguk minuman itu. Tidak lama kemudian, satu per satu mereka tumbang dalam kantuk di Pemakaman Dowo, di pinggiran desa.
Sementara itu, berita tentang pemberontakan ini telah lebih dulu sampai ke telinga para pejabat kolonial di Ponorogo. Seorang guru, mungkin merasa ngeri akan kekacauan yang sedang terjadi, melaporkannya pukul 3.30 pagi kepada asisten residen, bupati, dan pensiunan Bupati Tjokronegoro.
Dalam tempo cepat, pasukan darurat disusun. Lurah dari desa perdikan Tegalsari dan Karanggebang, yang memiliki hubungan erat dengan keluarga bupati, dimobilisasi. Mereka bergerak menuju Pulung, memecah pasukan untuk menghadang para pemberontak yang dikabarkan menuju hutan jati Ponorogo.
Baca Juga : Catat! Ini Daftar 44 Pecahan Uang Rupiah yang Tak Berlaku, Ada yang Masih Bisa Ditukar
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan sasaran.Bupati, bersama ayahnya dan aparat kolonial, menemukan kelompok utama pemberontak—22 orang, terlelap di Pemakaman Dowo. Tanpa perlawanan berarti, mereka semua ditangkap. Dengan runtuhnya kekuatan inti ini, penangkapan lanjutan terhadap pemberontak lainnya berlangsung cepat dan nyaris tanpa insiden.
Dalam atmosfir campur aduk antara ketegangan dan kelegaan, pensiunan Bupati Tjokronegoro, seorang muslim taat, menerima segelas anggur dari tangan asisten residen Belanda—sebuah momen kecil yang melambangkan kegembiraan atas berhasilnya pemadaman pemberontakan.
Pemberontakan Pulung berakhir dengan kekalahan telak, bahkan sebelum benar-benar sempat membakar api perlawanan. Namun dalam historiografi perlawanan petani di Jawa, peristiwa ini menandai satu bab penting: perlawanan spontan rakyat kecil terhadap ketidakadilan struktural yang dibangun oleh kolonialisme.
Secara historis, kegagalan Pemberontakan Pulung berakar pada lemahnya koordinasi, buruknya logistik, serta absennya kepemimpinan karismatik yang mampu menyatukan gerakan. Namun ia juga mengungkap sesuatu yang lebih dalam: akumulasi kekecewaan, amarah, dan ketidakpuasan yang mengakar di kalangan rakyat desa terhadap tekanan pajak dan ketidakpedulian penguasa kolonial.
Pulung 1885, dalam catatan historiografi, bukan hanya tentang kegagalan sebuah pemberontakan. Ia adalah cermin dari situasi sosial-ekonomi masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19, sebuah masyarakat yang tercekik oleh sistem kolonial dan terus-menerus mencari celah untuk mengungkapkan aspirasi kebebasan mereka—sekalipun sering kali dengan jalan berliku dan penuh pengorbanan.
Akhir Pemberontakan Pulung 1885
Pemberontakan Pulung yang meletus di Ponorogo tahun 1885 merupakan salah satu manifestasi keresahan sosial akibat kebijakan pajak kolonial yang mencekik rakyat pedesaan. Gerakan ini dipimpin oleh Raden Martodimejo dan putranya, Raden Martodipuro, dua bangsawan lokal keturunan Bupati pertama Ponorogo yang kecewa terhadap ketidakadilan ekonomi kolonial. Berangkat dari mitos mesianis Ratu Adil, mereka menggalang simpati petani di Distrik Pulung dan berencana menggulingkan pemerintahan kolonial.
Setelah beberapa kali rencana gagal karena minimnya dukungan, pemberontakan akhirnya dimulai pada malam 2 November 1885. Sekitar 50 orang menyerang rumah Wedana Pudak dan kediaman Kontrolir Belanda. Meski berhasil menjarah dan merusak, mereka gagal memicu gerakan rakyat yang lebih luas. Tanpa logistik dan tenaga yang cukup, rombongan melanjutkan perjalanan ke Desa Caper dan menerima makanan dari kepala desa, tanpa sadar telah dicampur obat tidur.
Dalam keadaan terlelap di pemakaman Dowo, para pemberontak dikepung dan ditangkap oleh pasukan kolonial tanpa perlawanan berarti. Penangkapan ini menandai berakhirnya pemberontakan. Pemerintah kolonial menutup kasus dengan menyalahkan elite lokal, termasuk mantan Bupati Tjokronegoro dan Residen Madiun Mr. Oudeman, yang dianggap lalai dan akhirnya diberhentikan.
Secara historiografis, pemberontakan ini termasuk dalam kategori gerakan mesianis seperti yang dikaji Sartono Kartodirdjo—gerakan berbasis mitos Ratu Adil yang muncul dari frustrasi sosial-ekonomi. Namun, minimnya infrastruktur komunikasi dan lemahnya jaringan membuat gerakan ini cepat padam.
Meski kecil dan berumur pendek, Pemberontakan Pulung mencerminkan denyut awal kesadaran perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Ia adalah suara keras dari pedalaman Jawa yang, meski dibungkam, tak pernah benar-benar padam dalam ingatan sejarah.