free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Ketika Jipang Runtuh: Jejak Konflik Arya Penangsang vs Pajang dalam Arsip Kolonial

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi pertempuran antara Sutawijaya, putra Ki Ageng Pamanahan, melawan Arya Penangsang, Adipati Jipang yang kontroversial dan pewaris sah Kesultanan Demak. Duel ini menandai akhir dari hegemoni pesisir utara dan menjadi titik awal kebangkitan kekuasaan pedalaman Jawa yang kelak melahirkan Dinasti Mataram Islam. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam khazanah sejarah Jawa, peristiwa konfrontasi antara Kesultanan Pajang dan Adipati Jipang, Arya Penangsang, merupakan titik balik yang monumental, sekaligus pembuka jalan bagi kebangkitan dinasti Mataram Islam di kemudian hari. Namun, sumber-sumber lokal yang mengandalkan babad dan cerita tutur seringkali menampilkan narasi yang penuh dengan muatan simbolik dan dramatisasi, menyulitkan kita dalam membedakan fakta historis dari fiksi kultural. 

Dalam upaya merekonstruksi peristiwa tersebut secara lebih akurat, keberadaan dokumen kolonial Belanda memberikan cahaya baru yang memungkinkan kita menyusun ulang potret sejarah dengan kerangka ilmiah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Baca Juga : Wali Kota Mas Ibin Lepas Ratusan CJH Kota Blitar: Jadilah Duta Bangsa di Tanah Suci

Salah satu dokumen penting adalah laporan dari seorang pejabat istana Jaga Pati kepada Laksamana Cornelis Speelman bertanggal 16 Maret 1677, yang tersimpan dalam arsip Belanda (Koloniaal Archief 1218 f. 1834r). Meskipun ditulis hampir satu abad setelah peristiwa berlangsung, laporan ini memuat rincian yang tidak dijumpai dalam babad Jawa. Tokoh sentral dalam dokumen tersebut adalah sosok yang disebut sebagai 'Kiai Gede Mataram', seorang figur penting dalam lingkaran kekuasaan Sultan Pajang. Berkat jasa serta loyalitasnya yang besar, ia dianugerahi wilayah Mataram—pada masa itu masih berupa sebuah desa kecil. Sosok yang dimaksud dengan 'Kiai Gede Mataram' ini tidak lain adalah Ki Ageng Pamanahan, pejabat tinggi Kesultanan Pajang, putra dari Ki Ageng Henis, seorang ulama terpandang sekaligus guru spiritual Raden Jaka Tingkir, yang kemudian naik takhta sebagai Sultan Hadiwijaya."

Berita tersebut menyebutkan bahwa sebelum memperoleh Mataram, Kiai Gede ini berperan besar dalam ekspedisi militer terhadap kota yang disebut "Soude", yang lokasinya dideskripsikan berada dekat Demak. Nama "Soude" sendiri tidak ditemukan dalam narasi tradisional Jawa, namun dalam kajian toponimi yang dilakukan oleh peneliti Belanda seperti yang tercatat dalam "Schoel Register"—yang memuat sekitar 26.000 nama tempat—ditemukan dua lokasi yang secara fonetik mendekati "Soude", yakni "Sudah" dan "Sudu". Kedua desa tersebut terletak di tepi Bengawan Solo, sekitar 30 kilometer di barat Bojonegoro atau Jipang.

Jika kita mempertimbangkan bahwa Jipang adalah pusat kekuasaan Arya Penangsang, maka keterlibatan wilayah Sudah dan Sudu sebagai medan pertempuran menjadi sangat masuk akal. Letaknya yang strategis di tikungan sungai besar seperti Bengawan Solo memungkinkan posisi defensif yang kuat terhadap pasukan musuh yang datang dari arah barat. Dalam konteks ini, penulis mencatat pentingnya fitur geografis dalam menentukan hasil pertempuran di Nusantara pra-modern, dan tikungan sungai besar sering dijadikan sebagai benteng alami oleh para penguasa lokal.

Satu elemen yang menguatkan asumsi bahwa Sudah atau Sudu merupakan arena pertempuran besar antara pasukan Pajang dan Jipang adalah keberadaan sebuah bukit yang disebut "Bukit Kadaton" di utara Sudah. Nama "Kadaton" mengisyaratkan fungsi pertahanan atau tempat tinggal penguasa. Bila dihubungkan dengan data geografis dan strategi perang tradisional, maka posisi ini sangat ideal sebagai pos komando Arya Penangsang atau salah satu bentengnya.

Meski demikian, dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa Soude terletak dekat Demak. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai akurasi geografis sumber kolonial. Apakah ini kesalahan pencatatan, kekeliruan transkripsi, atau sekadar ketidaktahuan penulis laporan terhadap realitas geografis Jawa? Ketidakcocokan ini harus ditanggapi dengan kritisisme historis yang tajam. Kita tahu bahwa dalam banyak dokumen kolonial abad ke-17, pemahaman para penulis Belanda tentang geografi lokal kerap kabur dan bergantung pada narasi lisan dari informan Jawa yang mereka tidak selalu pahami dengan baik.

Namun demikian, jika diambil secara sintetik, keberadaan nama "Soude" dalam arsip kolonial yang merujuk pada suatu pertempuran penting, lalu dihubungkan dengan posisi geografis Sudah dan Sudu, serta peran Kiai Gede Mataram, maka dapat dikonstruksi suatu narasi bahwa wilayah ini adalah medan tempur penting dalam konflik antara Pajang dan Jipang. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa pasca-perang, tokoh yang berjasa langsung dianugerahi Mataram, dan dari wilayah ini kemudian bangkit kekuasaan baru yang kelak mendominasi Jawa.

Rekonstruksi ini, meski bersifat spekulatif dalam beberapa bagiannya, dapat membantu kita mengisi kekosongan historiografi antara narasi babad dan catatan kolonial. Dalam catatan Coen ("Coe Bescheiden" jilid 22), disebutkan bahwa ia telah mendengar sesuatu tentang Mataram dan Pajang. Hal ini menunjukkan bahwa isu seputar konflik Pajang-Jipang dan munculnya Mataram telah beredar luas bahkan di kalangan pejabat tinggi VOC sejak awal abad ke-17.

Konflik antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dari Pajang, jika ditarik ke ranah politik, merupakan ekspresi lanjutan dari ketegangan warisan pasca-Demak. Arya Penangsang, cucu Raden Patah dan pewaris takhta Jipang, merasa memiliki legitimasi kuat atas takhta Demak yang kemudian direbut Pajang pasca wafatnya Sultan Trenggana. Di sisi lain, Hadiwijaya mengonsolidasikan kekuatan dengan menggandeng tokoh-tokoh kuat dari wilayah pedalaman seperti Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi. Pertempuran ini pada dasarnya adalah benturan dua poros kekuasaan: pesisir utara yang diwakili Jipang-Demak, dan pedalaman selatan yang mulai tumbuh sebagai pusat baru.

Dalam konteks historiografi Jawa, peristiwa ini biasanya diceritakan dengan balutan legenda dan kisah moralitas seperti dalam "Babad Tanah Jawi", yang menyebut kematian tragis Panangsang karena kerisnya sendiri dalam duel melawan Sutawijaya. Namun dari kacamata sejarah dokumen, seperti laporan kepada Speelman ini, tampak bahwa yang terjadi adalah sebuah ekspedisi militer yang lebih kompleks dan terstruktur, dengan elemen logistik, strategi medan, dan imbalan politik yang sangat nyata.

Kesimpulannya, dokumen kolonial Belanda yang selama ini terabaikan memberikan perspektif baru dalam memahami peristiwa penting dalam sejarah politik Jawa abad ke-16. Pertempuran Pajang vs Penangsang tidak sekadar duel heroik antara dua tokoh besar, melainkan juga perang yang melibatkan taktik geopolitik, pemanfaatan bentang alam strategis, dan pembentukan aliansi yang menjadi cikal bakal dari kekuasaan dinasti Mataram. Kajian semacam ini memperkaya pemahaman kita terhadap transisi kekuasaan di Jawa dan menempatkan peran aktor-aktor lokal dalam konteks yang lebih luas dari sekadar narasi moralistik babad.

Dalam semangat penulisan sejarah modern yang menggabungkan kritik sumber dan penelaahan intertekstual, kita diajak untuk tidak lagi membaca sejarah hanya dari satu sisi, melainkan menempatkannya dalam dialektika antara teks, konteks, dan kekuasaan. Demikianlah, dari fragmen sebuah surat kolonial, terbuka kemungkinan besar untuk membingkai ulang salah satu titik balik penting dalam sejarah Nusantara.

Arya Panangsang: Pewaris Sah di Persimpangan Takhta Demak

Dalam mozaik sejarah Jawa abad ke-16, nama Arya Penangsang menjulang sebagai salah satu figur paling kompleks dan kontroversial. Di tengah pusaran konflik dinasti, intrik kekuasaan, dan benturan nilai-nilai spiritualitas Islam awal dengan ambisi duniawi, tokoh ini muncul bukan hanya sebagai pewaris sah dari Kesultanan Demak, tetapi juga sebagai simbol dari sebuah zaman yang tengah bertransisi: dari kejayaan Demak menuju kemunculan Pajang dan kelak Mataram. Narasi tentang Arya Panangsang tidak semata-mata soal pembalasan dendam atas kematian ayahnya, melainkan menyangkut sejarah panjang silsilah, warisan keulamaan, hingga benturan kekuatan militer dan politik pada masa yang penuh gejolak.

Arya Penangsang lahir pada sekitar tahun 1505 di Lasem, sebuah kawasan pesisir yang sejak abad ke-15 telah menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan dan penyebaran Islam di pesisir utara Jawa. Kota ini dikenal sebagai salah satu basis awal Islamisasi Jawa, dan memiliki keterkaitan erat dengan jaringan ulama Walisongo. Lasem bukan hanya tempat kelahiran tokoh-tokoh penting Kesultanan Demak, tetapi juga pusat kekuatan lokal yang memadukan nilai-nilai tradisional Majapahit dengan kebudayaan Islam yang sedang bertumbuh pesat.

Pada 1521, setelah Pati Unus gugur dalam ekspedisi melawan Portugis di Malaka, kursi kekuasaan Demak menjadi rebutan antara dua calon kuat: Pangeran Trenggana, adik Pati Unus, dan Raden Kikin, anak Raden Patah yang lain. Persaingan berujung pada pembunuhan Raden Kikin oleh Raden Mukmin (putra Trenggana) dengan keris pusaka Kyai Setan Kober di tepi Sungai Lasem sepulang salat Jumat—sebuah peristiwa yang membuat Raden Kikin dikenang sebagai "Sekar Seda ing Lepen", atau bunga yang gugur di sungai.

Setelah kematian ayahnya, Arya Penangsang—yang saat itu baru berusia 16 tahun—diangkat sebagai Adipati Jipang. Pemerintahannya didampingi oleh Patih Mat Ahun atau Mentaun. Baru pada usia 20 tahun, ia dinobatkan secara resmi sebagai penguasa Jipang, sebagaimana dicatat dalam Kitab Kapunggawan Jipang pada tahun 1525.

Sultan Trenggana memimpin Demak hingga gugur dalam ekspedisi militer ke Panarukan, Situbondo, pada tahun 1546. Penerusnya adalah putranya, Raden Mukmin alias Sunan Prawoto, yang memindahkan ibu kota kerajaan ke Prawoto, dan menjadikan periode itu dikenal sebagai Demak Prawoto (1546–1549).

Namun dendam Arya Penangsang tak pernah padam. Pada tahun 1549, ia mengirim seorang suruhan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto. Misi itu berhasil, meskipun Rangkud sendiri tewas dalam perkelahian berdarah dengan korban. Dengan kematian Sunan Prawoto, Arya Penangsang naik takhta sebagai Sultan Demak ke-5. Ia memindahkan pusat kerajaan ke Jipang, menandai periode Demak Jipang (1549–1554).

Kekuasaan Arya Penangsang diwarnai oleh dominasi militer dan aura angkara murka. Meski ia memiliki legitimasi darah bangsawan dan dukungan beberapa tokoh penting, pemerintahannya ditentang oleh sejumlah elite bangsawan, termasuk Hadiwijaya, Adipati Pajang (yang lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir), menantu dari Trenggana sendiri.

Kebangkitan Arya Penangsang sebagai penguasa Demak mengancam posisi para adipati besar, termasuk Pajang. Hadiwijaya, yang cermat dalam membaca peluang politik, menolak tunduk pada kekuasaan Penangsang. Dalam narasi Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa Penangsang menantang Pajang dan mengirim ancaman terbuka. Ini memicu persiapan militer dari pihak Pajang.

Pada tahun 1554, pertempuran puncak antara Pajang dan Jipang tak terelakkan. Hadiwijaya tidak memimpin langsung pasukannya, melainkan mengutus dua tokoh penting: Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi. Mereka menghadapi Arya Penangsang di medan perang, dan dalam duel legendaris, Arya Penangsang akhirnya tewas oleh serangan balik dari Ki Ageng Pemanahan. Ia dikisahkan terluka oleh keris pusakanya sendiri, Kyai Setan Kober, yang menusuk perutnya dalam kondisi bertarung.

Baca Juga : Mangkunegara IV dan Pabrik Gula: Ketika Jawa Pimpin Restorasi Asia

Dengan kematian Arya Penangsang, berakhirlah riwayat Kesultanan Demak yang berdiri sejak awal abad ke-16 sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Kekosongan kekuasaan dimanfaatkan oleh Hadiwijaya untuk mendirikan Kerajaan Pajang, menjadikan dirinya sebagai raja pertama. Inilah awal dari perpindahan pusat kekuasaan Islam Jawa dari pesisir utara (Demak dan Jipang) ke pedalaman (Pajang), yang kelak berlanjut ke Mataram.

Akhir hidup Arya Penangsang menggambarkan konflik panjang antara darah, takhta, dan dendam dalam historiografi Jawa klasik. Ia adalah simbol dari masa peralihan antara dua dinasti besar: Demak yang berbasis maritim dan Pajang yang mulai membangun kekuatan di tanah pedalaman.

Dalam sejarah lisan dan teks tradisional seperti Babad Tanah Jawi, Arya Penangsang kadang digambarkan sebagai sosok keras dan kejam, namun juga sebagai pemimpin sah yang menjadi korban intrik politik bangsawan. Terlepas dari narasi yang berkembang, ia tetap menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah transformasi politik Islam di Tanah Jawa.

Jatuhnya Jipang: Rekonstruksi Historiografi dan Penanggalan Kematian Arya Penangsang

Jipang, pusat kekuasaan yang pernah menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi Pajang, mengalami kejatuhan yang dramatis dalam sejarah Jawa abad ke-16. Arya Penangsang, penguasa Jipang yang dikenal dengan keberanian sekaligus temperamennya yang meledak-ledak, akhirnya tersingkir dalam peristiwa yang melibatkan jaringan politik luas dan kekuatan militer yang terorganisir. Namun, kapan tepatnya kejatuhan Jipang dan kematian Arya Panangsang terjadi masih menjadi perdebatan dalam historiografi Jawa.

Berbagai sumber tradisional seperti Babad Tanah Jawi, Babad Sangkala, dan laporan kolonial Belanda memberikan petunjuk mengenai waktu dan kronologi peristiwa ini. Meskipun catatan tertulis sering kali bercampur dengan unsur mitos, kajian terhadap angka tahun dan prasasti terkait menunjukkan bahwa kejatuhan Jipang dapat direkonstruksi dengan tingkat kepastian yang lebih tinggi.

Salah satu sumber utama mengenai jatuhnya Jipang adalah Babad Sangkala, yang menyebut tahun 1480 Jawa atau 1558 Masehi sebagai saat kematian seorang caraka atau pesuruh. Jika ditafsirkan lebih lanjut, caraka ini merujuk pada penyabit rumput yang dihukum mati oleh Arya Penangsang setelah mengantarkan surat tantangan perang dari Hadiwijaya, penguasa Pajang.

Kematian caraka ini merupakan titik awal dari konflik terbuka yang akhirnya berujung pada kematian Arya Penangsang sendiri. Dengan demikian, jika pesan tantangan dikirim pada tahun 1558, maka kemungkinan besar pertempuran penentuan antara Jipang dan Pajang terjadi pada tahun yang sama atau paling lambat setahun setelahnya.

Catatan ini sejalan dengan kronik lain yang menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-16, Pajang sedang dalam ekspansi besar-besaran untuk menundukkan kekuatan-kekuatan lama yang masih setia pada Dinasti Demak. Arya Penangsang, yang masih mengklaim tahta Demak sebagai haknya, menjadi ancaman utama bagi Pajang dan harus disingkirkan untuk memastikan stabilitas politik di wilayah itu.

Sumber lain yang menarik perhatian adalah keberadaan Makam Mantingan, tempat di mana Pangeran Kalinyamat—tokoh yang terbunuh atas perintah Arya Penangsang—dimakamkan. Dalam laporan arkeologis kolonial Oudheidkundig Verslag, disebutkan bahwa terdapat inskripsi pada makam tersebut yang bertanggal 1559 Masehi.

Angka ini sangat dekat dengan tahun 1558 yang disebut dalam Babad Sangkala sebagai tahun kematian Arya Penangsang. Jika ditelaah lebih lanjut, ini memberi indikasi bahwa pembangunan makam untuk Pangeran Kalinyamat baru dimulai setelah kematian Arya Penangsang.

Secara logika, Ratu Kalinyamat, istri Pangeran Kalinyamat, tidak mungkin membangun makam megah bagi suaminya sebelum pembunuhnya tersingkir. Dengan kata lain, jika pembangunan makam itu selesai pada 1559, maka Arya Penangsang pasti telah tewas sebelumnya—paling lambat pada akhir tahun 1558 atau awal 1559.

Jatuhnya Jipang bukan hanya sekadar kejatuhan seorang penguasa, tetapi juga merupakan titik balik dalam sejarah politik Jawa. Sejak saat itu, Pajang di bawah kepemimpinan Hadiwijaya semakin mengokohkan pengaruhnya sebagai penerus sah Kesultanan Demak.

Namun, penanggalan ini juga menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam. Jika benar bahwa Arya Penangsang terbunuh pada tahun 1558 dan pembangunan makam Kalinyamat selesai pada 1559, maka ini menandai periode yang sangat singkat antara kemenangan Pajang dan konsolidasi kekuasaannya.

Peristiwa ini juga menjadi dasar bagi munculnya Mataram sebagai kekuatan baru. Setelah Pajang berhasil mengalahkan Jipang, sejumlah wilayah diberikan kepada tokoh-tokoh penting, termasuk Ki Ageng Pamanahan yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Mataram. Dengan demikian, tahun 1558 bukan hanya tahun jatuhnya Jipang, tetapi juga awal dari transisi kekuasaan yang kelak membentuk tatanan politik Jawa hingga berabad-abad kemudian.

Berdasarkan berbagai sumber historiografi, tahun 1558 Masehi dapat dipastikan sebagai momen jatuhnya Jipang dan kematian Arya Panangsang. Babad Sangkala, inskripsi di Makam Mantingan, serta kronik ekspansi Pajang menunjukkan keterkaitan yang erat antara peristiwa-peristiwa ini.

Meski demikian, masih ada pertanyaan yang terbuka, terutama mengenai detail peristiwa di medan pertempuran dan bagaimana tepatnya Arya Panangsang menemui ajalnya. Sumber-sumber Jawa lebih banyak menekankan aspek simbolik dan moral dari kejatuhannya, sementara sumber Belanda lebih tertarik pada dampak politiknya terhadap keseimbangan kekuatan di Jawa.

Namun, satu hal yang pasti: jatuhnya Jipang menandai berakhirnya era persaingan antara pewaris Demak dan munculnya sistem politik baru yang kelak membawa Mataram ke panggung utama sejarah Nusantara.