JATIMTIMES - Dalam historiografi klasik Jawa, terutama melalui Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, keberadaan tokoh perempuan sering kali disisihkan dalam narasi militeristik dan politik maskulin. Namun, episode penaklukan Giri Kedaton oleh Mataram pada tahun 1636 membuka lembaran baru dalam telaah sejarah perempuan dalam kekuasaan, spiritualitas, dan perang. Di tengah kerasnya konflik antara kekuatan kerajaan dan otoritas keagamaan yang membangkang, muncullah sosok Ratu Pandan Sari, istri dari Pangeran Pekik, yang tampil sebagai tokoh sentral dalam keberhasilan ekspedisi militer ke pusat spiritual Islam pesisir timur Jawa. Narasi ini bukan sekadar romansa perang, tetapi penyingkapan struktur kuasa simbolik antara dinasti Mataram dan para wali penerus Sunan Giri.
Giri Kedaton, yang didirikan oleh Sunan Giri, merupakan pusat spiritual dan pendidikan Islam yang berpengaruh di Jawa Timur. Sebagai keturunan Wali Songo, penguasa Giri memiliki otoritas spiritual yang sering kali menyaingi kekuasaan politik Kesultanan Mataram. Sultan Agung, penguasa Mataram, berambisi menyatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaannya, termasuk Giri Kedaton. Namun, otoritas spiritual Giri membuatnya sulit untuk ditaklukkan.
Baca Juga : Tarlan Meninggal Usai Menari di Karawitan Bersih Desa Segawe
Penaklukan Giri Kedaton bukan hanya soal perluasan wilayah. Sultan Agung menghadapi kendala besar dalam integrasi kekuasaan spiritual Islam yang masih otonom dari pengaruh keraton. Giri Kedaton, yang dipimpin oleh keturunan Sunan Giri yang keras kepala, menjadi simbol kekuatan keagamaan yang enggan tunduk pada Mataram. Ketegangan ini bersifat psiko-politis. Dalam keadaan sakit dan tertekan secara batin karena kegagalannya menundukkan Giri, Sultan Agung memanggil adiknya, Ratu Pandan Sari, dan meminta bantuan suaminya, Pangeran Pekik, bangsawan Surabaya keturunan Sunan Ampel.
Historiografi Meinsma (1874:139) mencatat bahwa hanya Pangeran Pekik yang dinilai memiliki kekuatan spiritual setara untuk menghadapi Panembahan Giri. Bahkan, dalam argumentasi simbolik, kekuatan rohaniah Pangeran Pekik lebih tinggi karena leluhurnya adalah guru dari nenek moyang pemimpin Giri.
Keputusan untuk mengirim Pangeran Pekik ke Giri bukanlah hasil dari intrik istana biasa, melainkan dimediasi langsung oleh Ratu Pandan Sari. Narasi babad menyebut bahwa persetujuan Pekik baru diberikan setelah melalui dialog batin yang mendalam, bahkan diselipi unsur erotik sebagai bentuk kebebasan puitik sang penulis: Ratu Pandan Sari digambarkan menggoda Pangeran Pekik dengan hubungan seksual terlebih dahulu, demi menaklukkan hatinya agar bersedia memimpin penyerangan ke Giri.Namun, lebih dari itu, Ratu Pandan Sari tampil sebagai penjamin moral dan spiritual ekspedisi ini. Ia bukan hanya pasangan biologis, tetapi pasangan politik dalam makna substantif.
Serat Kandha menyebutkan bahwa Ratu Pandan Sari turut serta dalam ekspedisi militer ini. Ia bahkan ditunjuk sebagai pengganti bila Pangeran Pekik gugur. Bekal perjalanan yang melimpah—10.000 rial, emas, perak, kain sutera, dan tekstil—menandakan betapa ekspedisi ini disiapkan dengan logistik negara. Keberangkatannya bersama 1.500 prajurit Surabaya menjadi awal ofensif besar terhadap pusat Giri yang berada di puncak spiritualitas Islam Jawa.
Sesampainya di Surabaya, Pangeran Pekik menggalang 10.000 orang untuk menyerbu Giri. Namun Giri bukan target biasa. Ia bukan hanya pusat kekuasaan, melainkan juga episentrum spiritual yang dilindungi oleh keyakinan kolektif dan milisi sufi. Panembahan Giri, buyut Sunan Giri, telah mengetahui rencana serangan. Ia mempersiapkan murid-muridnya dan mengandalkan seorang anak angkat beretnis Cina Islam bernama Endrasena yang memimpin 250 penembak jitu.
Pertempuran awal memukul mundur pasukan Mataram. Semangat pasukan surut, dan dalam keadaan genting inilah Ratu Pandan Sari mengambil inisiatif. Ia memarahi para prajurit yang dianggap pengecut, mengancam akan melapor ke Raja, dan membangkitkan semangat tempur mereka dengan membagikan 10.000 rial serta memberikan seragam perang kepada 500 batur (kuli angkut) yang kemudian diintegrasikan dalam barisan tempur.
Hari berikutnya, pertempuran pecah kembali. Berdasarkan Serat Kandha (hlm. 855–858), strategi Ratu Pandan Sari memainkan perang tipu muslihat: serangan dilancarkan dari dua sisi, tenggara dan barat daya. Ia sendiri memimpin penembakan meriam dari kejauhan, yang kemudian memancing Endrasena dan pasukannya keluar dari markas. Pasukan utama kemudian menyerang dari sisi tenggara dan berhasil menghancurkan pertahanan Giri. Endrasena gugur, dan Panembahan Giri melarikan diri.
Pasangan Pangeran Pekik dan Ratu Pandan Sari naik ke bukit dan menemukan para istri pandita yang menangis. Panembahan Giri akhirnya ditangkap dan diarak ke Mataram. Di tengah jalan, tentara Surabaya yang menyimpan dendam ingin membunuh sang panembahan, tetapi Pangeran Pekik menolak, menyatakan bahwa yang berhak membunuh Panembahan Giri adalah cucunya kelak—sebuah kalimat sarat simbolisme bahwa eliminasi spiritual tidak dapat dilakukan secara seketika.
Dalam narasi ini, Ratu Pandan Sari tidak hanya menjadi 'perempuan pendamping', tetapi seorang aktor historis yang berdaya. Ia tampil sebagai penghubung antara politik istana dan strategi militer, pemimpin logistik, dan motivator moral. Historiografi Jawa klasik jarang memberikan porsi besar pada peran perempuan di medan tempur. Namun Serat Kandha dan Babad Tanah Jawi secara eksplisit menunjukkan keterlibatan langsung Ratu Pandan Sari dalam eksekusi perang, bahkan dalam detik-detik kritis penyerangan Giri.
Lebih jauh, narasi ini menunjukkan dualitas simbolik: Giri sebagai kekuasaan spiritual Islam sufistik pesisir, dan Mataram sebagai kekuasaan politik-sentralistik bercorak mistik-sinkretik. Penaklukan Giri oleh pasukan yang dipimpin oleh pasangan bangsawan yang juga keturunan wali menunjukkan bagaimana kekuasaan rohani dan politik tidak selalu sejalan. Mataram, dalam hal ini, mencoba 'mengislamkan' Islam lokal agar selaras dengan wibawa istana.
Penaklukan Giri Kedaton pada tahun 1636 tidak bisa dibaca semata sebagai peristiwa militer. Ia merupakan titik temu antara simbolisme kekuasaan spiritual, strategi politik dinasti, dan peran aktif perempuan dalam perang dan diplomasi. Ratu Pandan Sari bukan hanya tokoh pendamping, tetapi subjek aktif dalam sejarah. Historiografi Jawa, jika ditafsirkan secara kritis, menyimpan narasi-narasi perempuan tangguh yang menembus batasan patriarki.
Narasi Ratu Pandan Sari membongkar batas antara domestik dan publik, antara peran simbolik dan kuasa riil. Dalam konteks ini, ia sejajar dengan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah dunia yang menggabungkan peran biologis, ideologis, dan militer dalam satu gerak politik. Historiografi Jawa, bila digali dengan kritis dan tajam, menyimpan potensi pembacaan ulang terhadap dinamika kekuasaan dan gender di masa silam.
Ratu Pandan Sari: Mustikaning Putri Mataram, Jembatan Emas Mataram–Surabaya
Baca Juga : Musim Kemarau tapi Hujan Deras Masih Guyur Jatim, Ini Penjelasan BMKG
Dalam historiografi kerajaan Mataram Islam, sosok Ratu Pandan Sari menempati kedudukan istimewa. Ia bukan hanya sekar kedhaton dengan rupa nan elok dan kecerdasan kosmopolit, melainkan juga penggerak ekonomi kerajaan, perajut diplomasi antarkabupaten, dan ibu dari garis raja-raja besar Mataram generasi ketiga. Jejaknya ibarat benang emas yang menyulam antara darah Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram menjadi satu rajutan agung Nusantara.
Ratu Pandan Sari lahir pada tanggal 1 November 1596 di Pengging, sebuah kawasan yang sejak era Majapahit telah menjadi pusat spiritual dan kebudayaan. Ia adalah putri dari Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Mataram Islam yang memerintah antara tahun 1601–1613. Sang ibu, Ratu Mas Hadi Dyah Banowati, merupakan putri dari Pangeran Benawa, Sultan terakhir Pajang. Dari kedua orang tuanya ini, Ratu Wandansari mewarisi darah Majapahit melalui jalur ibu dan Demak-Mataram melalui jalur ayah.
Dengan demikian, dalam diri Ratu Pandan Sari mengalir darah tiga kerajaan besar yang membentuk fondasi kekuasaan Mataram: Majapahit–Pengging melalui garis keturunan Pangeran Benawa, Majapahit–Demak melalui Raden Patah dan Sultan Trenggana, serta Majapahit–Selo–Mataram melalui Panembahan Senapati. Kakaknya adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa terbesar Mataram yang memerintah antara tahun 1613 hingga 1645. Bersama sang kakak, Ratu Pandan Sari menjadi sosok kunci yang mewarnai masa keemasan kerajaan Mataram pada abad ke-17.
Ratu Pandan Sari menempuh pendidikan di berbagai kota penting dalam wilayah Mataram—Pati, Purwodadi, Demak, Pengging, dan Kotagede. Jejak intelektual yang kosmopolit ini membentuk pribadinya yang cerdas, trengginas, dan visioner, melampaui batas zamannya.
Seusai penaklukan Surabaya oleh Mataram, atas prakarsa Sultan Agung, Ratu Pandan Sari dinikahkan dengan Pangeran Pekik, Adipati Surabaya keturunan Sunan Ampel. Pernikahan ini tidak hanya mempererat hubungan kekerabatan, tetapi juga menjadi strategi politik untuk memperkuat integrasi wilayah timur Jawa ke dalam hegemoni Mataram.
Pernikahan mereka dirayakan dengan kembul bujana handrawina selama tujuh hari tujuh malam di Kotagede. Para bupati dari seluruh wilayah Bang Wetan dan Madura hadir lengkap dalam perhelatan agung tersebut. Pangeran Pekik, yang sebelumnya menjadi tawanan politik dalam penaklukan Surabaya oleh Sultan Agung, melalui pernikahan ini diangkat derajatnya sebagai ipar raja dan mitra strategis Mataram di kawasan timur.
Dari pernikahan ini lahirlah seorang putri, Kanjeng Ratu Mas Surabaya. Kelak putri ini dinikahkan dengan Gusti Raden Mas Sayidin, putra mahkota Sultan Agung, yang kemudian naik takhta sebagai Amangkurat I (1645–1677). Dengan demikian, Ratu Wandansari adalah ibu mertua seorang raja Mataram dan nenek dari Amangkurat II, menjadikan dirinya sebagai tokoh sentral dalam kesinambungan dinasti Mataram.
Dari pernikahan putrinya dengan Amangkurat I, Ratu Pandan Sari memiliki cucu bernama Gusti Raden Mas Rahmat Kuning, yang lebih dikenal sebagai Cak Ning. Ia kelak naik takhta sebagai Amangkurat II (1677–1703) dan menjadi pemindah ibu kota Mataram ke Kartasura setelah kehancuran Plered akibat Perang Trunajaya. Cak Ning adalah lambang keberhasilan politik dinasti Mataram-Surabaya yang disusun oleh Ratu Wandansari.
Ratu Pandan Sari tidak hanya masyhur sebagai sekar kedhaton yang memesona, tetapi juga dikenal sebagai pelaku ekonomi unggul pada masanya. Ia menjadi motor penggerak jaringan bisnis lintas wilayah, menjangkau dari Surabaya hingga pesisir utara Jawa, dengan hasil yang mengalir langsung ke kas kerajaan Mataram. Di bawah kendalinya, Kabupaten Surabaya menjelma menjadi wilayah paling produktif dan menyumbang signifikan bagi stabilitas finansial kerajaan. Berbagai sektor usaha ia kelola secara visioner: ekspor garam dari Kalianget, pengelolaan minyak dan gas bumi di Sumenep, perikanan pesisir di Lamongan, serta perdagangan kayu jati dari Cepu yang menopang industri mebel di Jepara. Ia pun mengembangkan produksi kecap di Purwodadi, trasi di Lasem dan Rembang, perkebunan apel di Malang, hingga penambangan marmer di Tulungagung. Pusat-pusat usaha pelayaran dan ekspor yang ia bangun di Surabaya dan Semarang menjadikan jalur dagang Mataram terkoneksi luas ke wilayah luar Jawa. Seluruh kekayaan itu tidak hanya menjadi sumber kemakmuran pribadi, tetapi juga menopang pembiayaan kampanye militer dan proyek infrastruktur Sultan Agung, termasuk pembangunan kompleks pemakaman raja-raja di Imogiri serta pemindahan pusat kekuasaan dari Kotagede ke Plered.
Sebagai perempuan dalam lingkaran inti kekuasaan Mataram, Ratu Pandan Sari telah melampaui peran tradisional yang dilekatkan pada kaum perempuan Jawa abad ke-17. Ia bukan sekadar permaisuri bangsawan atau simbol keindahan istana, melainkan arsitek dinasti, penghubung dua kutub kekuasaan besar Jawa, dan motor ekonomi kerajaan yang tangguh. Kiprah dan warisannya menjadikannya mustikaning putri Mataram—permata yang tak hanya memperindah mahkota kekuasaan, tetapi juga memperkuat struktur dan legitimasi kerajaan.
Dalam setiap hembusan nafas sejarah Mataram, nama Ratu Pandan Sari tak pernah pudar. Ia hadir sebagai jembatan emas yang menghubungkan darah bangsawan dari berbagai kerajaan, kekuasaan yang teguh berdiri, serta jejak peradaban Jawa yang gemilang. Sebagai sosok yang mengalirkan darah Majapahit, Demak, dan Mataram, Ratu Pandan Sari menjadi simbol persatuan yang mengeratkan hubungan antarkerajaan, sekaligus membentuk landasan kuat bagi masa depan Jawa yang penuh harapan.