JATIMTIMES - Pada paruh pertama abad ke-19, di tengah bayang-bayang kekuasaan kolonial Hindia Belanda, istana Kasunanan Surakarta mengalami gejolak politik yang pelik dan berlarut-larut. Isu suksesi yang mencuat sejak tahun 1834 hingga 1858 mencerminkan tarik-menarik kepentingan antara kekuatan lokal, hasrat dinasti, dan intervensi kolonial yang menancap dalam di tubuh birokrasi kerajaan Jawa.
Persoalan ini bukan sekadar pergantian raja, melainkan persoalan legitimasi, garis keturunan, dan desain kolonial dalam mempertahankan dominasi atas kerajaan bawahan.
Baca Juga : Spoiler Resident Playbook Episode 11, Oi-young dan Gu Do-won Kepergok Pacaran?
Pernikahan Politik dan Dimulainya Krisis (1834)
Paku Buwana VII, yang naik takhta setelah pengasingan Paku Buwana VI pasca-Perang Jawa (1825–1830), menikahi Raden Ayu Sarijah, putri Sultan Cakradiningrat II dari Madura. Pernikahan ini secara simbolik memperkuat jaringan politik antara Surakarta dan Madura, mengingat Cakradiningrat memiliki pengaruh besar di Jawa Timur sejak masa pemberontakan Trunajaya pada abad ke-17. Namun, ketiadaan keturunan dari pernikahan tersebut menciptakan kekosongan suksesi yang menjadi sumber intrik berikutnya.
Dalam tradisi politik Jawa, pernikahan lintas bangsawan tidak hanya mempererat aliansi, tetapi juga membuka jalan legitimasi terhadap pewarisan kekuasaan. Sayangnya, ketika Penembahan Buminata – tokoh senior dan penasihat kerajaan yang disegani – wafat pada Oktober 1834, tidak ada tokoh kuat yang dapat menjaga stabilitas internal keraton.
Kekosongan posisi sebagai putra mahkota yang seharusnya dijabat oleh tokoh sentral seperti Buminata dibiarkan mengambang hingga lebih dari dua dekade. Hal ini membuka peluang intervensi politik oleh pihak luar, termasuk kolonial Belanda.
Kematian Panembahan Buminata pada 11 Oktober 1834, seorang tokoh sepuh keraton yang sebelumnya turut berperan dalam penggulingan Pakubuwana VI, menambah kekosongan dalam struktur kekuasaan keraton. Sejak wafatnya, jabatan putra mahkota dibiarkan kosong. Buminata sendiri sempat dipertimbangkan sebagai calon penerus takhta, namun usianya yang lanjut membuat Belanda mengalihkan dukungan kepada sosok muda yang lebih berpandangan Eropa: Pangeran Purbaya.
Pejabat Residen Surakarta saat itu, F.G. Valck, langsung mendesak agar jabatan putra mahkota segera diisi. Ia mengusulkan Pangeran Adipati Ngabehi, kakak dari Pakubuwana VII, sebagai "care-taker". Namun Batavia menolak pengangkatan resmi. Desember 1834, Ngabehi diizinkan mengikuti upacara-upacara resmi dengan kapasitas seperti putra mahkota, namun dilarang menggunakan gelar Pangeran Adipati Anom. Alasan resminya: etiket Jawa yang sensitif. Alasan tersembunyinya: kelenturan kekuasaan Belanda untuk mengendalikan narasi.
Setidaknya terdapat tiga kandidat kuat yang mengincar jabatan prestisius ini. Pertama adalah Pangeran Adipati Ngabehi sendiri—sosok tua dan berpengaruh, yang sudah lama menjadi rekan setia Sunan dalam berbagai manuver internal keraton, termasuk penggulingan Pakubuwana VI.
Kandidat kedua adalah Raden Mas Duksina, kelak bergelar Pangeran Prabuwijaya. Ia adalah anak kandung Pakubuwana VI dan pernah disebut dalam korespondensi Residen MacGillavry sejak 1832 sebagai calon pewaris sah. Namun status ayahnya yang dibuang membuat legitimasinya tak pernah bulat diterima.
Kandidat ketiga adalah Pangeran Arya Mataram, putra Pangeran Adipati Mangkubumi, yang memiliki kedekatan kekerabatan langsung dengan Sunan melalui pernikahan dengan adik kandung Pakubuwana VII. Arya Mataram adalah sosok dengan keunggulan genealogis sekaligus politis.
Ketiganya memiliki pendukung masing-masing, baik dari dalam istana maupun dari luar keraton. Namun, ketidaktegasan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam menunjuk pewaris memperkeruh situasi. Taktik "divide et impera" (pecah belah dan kuasai) diterapkan dengan cermat oleh pihak Belanda demi mempertahankan dominasi kolonial atas Surakarta.
Perkawinan Sekarkedhaton: Kunci Suksesi yang Rumit
Pada 1846, setelah wafatnya Patih Sasradiningrat II, Gubernur Jenderal J.J. Rochussen mengutus J.E.W. Van Nes sebagai Komisaris di Surakarta untuk menata ulang sistem hukum dan kepolisian, sekaligus menuntaskan soal suksesi. Fokus Van Nes diarahkan pada putri tunggal Paku Buwana VII, Raden Ayu Sekarkedhaton. Di mata kolonial, putri ini menjadi poros kunci penyelesaian masalah suksesi melalui jalan pernikahan politik.
Lamaran datang dari berbagai pihak: Sultan Hamengku Buwana V dari Yogyakarta, pihak Mangkunegaran, bahkan Pangeran Mangkubumi. Belanda awalnya menyarankan pernikahan Sekarkedhaton dengan Pangeran Arya Mataram, namun Van Nes kemudian memunculkan nama Raden Mas Suryawinata, putra Pangeran Mangkubumi, sebagai alternatif. Klaim-klaim dari Yogyakarta dan Mangkunegaran ditolak oleh Van Nes yang hendak mempertahankan fragmentasi dalam keluarga besar kerajaan Jawa.
Situasi semakin runyam saat beredar desas-desus bahwa Paku Buwana VII sesungguhnya impoten, dan bahwa Sekarkedhaton bukanlah putrinya melainkan anak biologis Pangeran Mangkubumi. Maka, rencana pernikahan Sekarkedhaton dengan Suryawinata terancam menjadi pernikahan sedarah. Sekarkedhaton sendiri menolak semua calon yang diajukan, termasuk Mangkunegara III, meski pada akhirnya desakan politik hampir memaksanya ke dalam pernikahan tersebut.
Dalam laporan tahun 1847, Rochussen mengusulkan kembali perkawinan Sekarkedhaton dengan Mangkunegara III sebagai solusi ideal, meski putra Mangkubumi merasa direndahkan dan menolak keras rencana tersebut. Di saat yang sama, kelompok pendukung Pangeran Prabuwijaya (putra Paku Buwana VI) mulai muncul kembali, memanfaatkan ketidakjelasan pengangkatan putra mahkota untuk membangun basis dukungan.
Hingga tahun 1857, jabatan putra mahkota dibiarkan kosong secara resmi. Strategi Belanda ini jelas dimaksudkan untuk menjaga ketergantungan istana terhadap restu kolonial. Penundaan ini menjadi alat efektif dalam mengontrol Surakarta, memastikan tidak ada kekuatan lokal yang cukup kuat untuk mengonsolidasikan diri sebagai raja masa depan.
Politik Kolonial, Dinasti, dan ‘Divide et Impera’
Belanda terus memainkan siasat divide et impera untuk menjaga ketegangan antar-dinasti tetap membara. Usulan pernikahan Sekarkedhaton dengan Mangkunagara III pun mencuat kembali. Meski mendapat lampu hijau dari Raad van Indië, Rochussen menunda keputusan hingga ia mengunjungi Jawa Tengah sendiri.
Baca Juga : Raden Mas Guntur: Cicit Amangkurat III yang Ditakuti Kompeni
Namun, upaya ini malah memperdalam konflik: Mangkunagara merasa terhina, dan pendukung Deksana bangkit, menciptakan faksi yang militan di dalam dan luar keraton.Kebuntuan ini mendorong Gubernur Jenderal mengarahkan suksesi pada jalur paling aman secara administratif. Maka, pada tahun 1857, dipilihlah Pangeran Ngabehi—tokoh senior dan relatif netral—untuk naik takhta sebagai Pakubuwana VIII.
Tahun 1857 menjadi penanda penting dalam sejarah kekuasaan dinasti Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kala itu, Paku Buwana VII yang telah menua dan dalam kondisi kesehatan yang terus menurun akhirnya wafat. Wafatnya sang raja tidak hanya membuka babak baru dalam dinamika politik istana, tetapi juga menjadi titik persimpangan penting bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam menentukan keseimbangan kekuasaan lokal di Jawa Tengah.
Tanggal 5 Oktober 1857, Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud mengeluarkan sebuah dekrit resmi yang menegaskan arah suksesi. Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa Pangeran Adipati Ngabehi akan dinobatkan sebagai pengganti resmi mendiang Paku Buwana VII, dan mengambil gelar sebagai Susuhunan Paku Buwana VIII. Sementara itu, Pangeran Prabuwijaya—putra dari Paku Buwana VI yang sebelumnya digulingkan oleh Belanda tahun 1830—diangkat sebagai putra mahkota.
Dekrit itu dibacakan di dalam lingkungan istana Kasunanan Surakarta pada akhir Oktober 1857. Peristiwa penobatan itu berlangsung di hadapan segenap pangeran dalem, para bupati bawahan, para perwira Jawa dan Belanda, pejabat Cina, dan sejumlah tokoh Eropa lain yang menjadi simbol kehadiran serta dominasi kekuasaan kolonial di balik ritual politik Jawa.
Menurut laporan Residen Surakarta saat itu, suasana penobatan berlangsung dengan penuh kepuasan umum. Dekrit kompromis itu tampaknya berhasil meredam intrik dan rivalitas antar faksi bangsawan yang sebelumnya mengancam stabilitas istana. Dua kandidat kuat yang sebelumnya bersaing—yakni pihak pendukung Pangeran Adipati Ngabehi dan kubu pendukung keturunan Paku Buwana VI—akhirnya menerima formula kompromi tersebut.
Dengan ini, Belanda berhasil mempertahankan kendali politik di balik layar, sekaligus menciptakan solusi damai terhadap ketegangan suksesi yang kerap menjadi sumber kerusuhan di istana-istana Jawa sejak abad ke-18.
Paku Buwana VIII secara resmi memerintah sejak Mei 1858. Namun masa kekuasaannya hanya bertahan dalam waktu singkat: kurang dari empat tahun. Ia wafat pada 30 Desember 1861. Hanya dua hari setelah kematiannya, sang putra mahkota, Pangeran Prabuwijaya, diumumkan sebagai raja baru dengan gelar Susuhunan Paku Buwana IX. Pengangkatannya disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan ia secara resmi dinobatkan dalam upacara kerajaan yang berlangsung pada 27 Januari 1862.
Historiografi dan Makna Politik Suksesi
Dari perspektif historiografi Jawa dan kolonial, krisis suksesi Surakarta ini menunjukkan transformasi otoritas politik yang semakin dikendalikan oleh kekuasaan kolonial. Tradisi pewarisan takhta yang biasanya mengandalkan legitimasi darah dan wahyu kedaton terdistorsi oleh intervensi Belanda yang menggunakan pendekatan legal-formal dan pernikahan strategis. Jalur darah keturunan raja tidak lagi cukup, melainkan harus disertai dengan kalkulasi politik kolonial.
Peristiwa 1834–1858 ini juga menyingkap lapisan-lapisan persaingan elite Jawa dalam menegosiasikan kekuasaan. Tidak ada sosok yang mampu mengkonsolidasikan kekuatan karena Belanda secara aktif merancang ketidakpastian tersebut.
Akhirnya, kasus ini menggambarkan bagaimana kerajaan Jawa bukan lagi pusat kekuasaan yang otonom, melainkan sudah terintegrasi dalam sistem pemerintahan kolonial yang menjadikan mereka sebagai instrumen simbolik. Kekuasaan raja menjadi fragmen dari strategi kontrol kolonial. Legitimasi, bukan lagi soal wahyu atau darah, melainkan soal siapa yang mendapat persetujuan dari Batavia.
Krisis suksesi di Surakarta antara 1834 hingga 1858 merupakan manifestasi kompleks dari konflik antara tradisi monarki Jawa dan strategi kontrol kolonial. Melalui perkawinan politik, penundaan pengangkatan putra mahkota, serta manipulasi internal dinasti, Belanda berhasil mempertahankan dominasinya atas Surakarta. Ini bukan hanya soal siapa yang akan menjadi raja, tetapi bagaimana sebuah kerajaan diposisikan dalam tatanan kekuasaan kolonial. Dalam bingkai historiografi Jawa modern, peristiwa ini menjadi studi kasus klasik tentang bagaimana kekuasaan lokal dihancurkan melalui taktik halus, intrik istana, dan hegemonik kolonial yang tak kasatmata.
Sejarah mencatat bahwa dinasti Surakarta akhirnya tetap bertahan, tetapi tanpa lagi taring politik. Suksesi tidak lagi menjadi proses sakral, melainkan arena perebutan pengaruh antara elite Jawa yang terpecah dan kekuasaan kolonial yang hegemonik.