free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal I 2025 Melambat, Apa yang Akan Terjadi?

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Potret laju ekonomi RI Kuartal I 2025 yang melambat. (Foto: YouTube Metrotv)

JATIMTIMES - Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di awal tahun 2025 menunjukkan pelemahan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan pada kuartal I hanya mencapai 4,85 persen (yoy). Ini menjadi catatan terendah sejak kuartal III 2021 dan menjadi awal yang kurang menggembirakan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 

Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, capaian ini mengalami penurunan cukup signifikan. Pada kuartal I 2024, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 5,11 persen. Bahkan pada kuartal IV 2024 lalu, pertumbuhannya berada di 5,02 persen—lebih tinggi dari kuartal I 2025. 

Baca Juga : Prabu Sri Suhita: Raja Wanita Tangguh di Tengah Kekacauan Majapahit

Salah satu penyumbang pelemahan ekonomi kali ini adalah anjloknya pengeluaran konsumsi pemerintah. Pada kuartal I 2024, belanja pemerintah masih tumbuh 20,44 persen. Namun di kuartal I tahun ini, justru turun tajam menjadi minus 1,38 persen. 

Pelemahan juga terjadi pada pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT). Dari pertumbuhan 24,13 persen di kuartal I 2024, menjadi hanya 3,07 persen pada periode yang sama tahun ini. 

Sementara itu, konsumsi rumah tangga (PKRT) sebagai kontributor terbesar PDB, dengan porsi mencapai 54,53 persen, hanya tumbuh 4,89 persen. Angka ini sedikit menurun dibanding kuartal I 2024 yang tumbuh 4,91 persen. 

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyoroti penurunan belanja pemerintah sebagai salah satu biang perlambatan ekonomi. 

“Salah satu faktor utama perlambatan saat ini adalah kontraksi konsumsi pemerintah. Karena itu, percepatan belanja negara menjadi kunci,” ucap Luhut dalam unggahan di akun Instagramnya @luhut.pandjaitan, dikutip Kamis (8/5/2025). 

Ia juga menyebut pemerintah telah mengetahui persoalan yang perlu dibenahi untuk memulihkan laju pertumbuhan. 

Tak hanya pertumbuhan ekonomi yang melemah, masalah pengangguran pun ikut membayangi. BPS melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang. Angka ini meningkat sekitar 82 ribu orang dibanding Februari 2024, atau naik 1,11 persen secara tahunan. 

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai pertumbuhan 4,85 persen di awal pemerintahan Prabowo bisa menjadi tanda darurat bagi perekonomian nasional. 

“Penekanan saya adalah ini adalah situasi yang gawat darurat dan sayangnya pemerintah diam, dalam hal ini tidak memberikan insentif, tidak memberikan stimulus, dan justru malah hanya menyakinkan bahwa perekonomian kita baik-baik saja,” kata Andry, dikutip CNNIndonesia, Kamis (8/5/2025). 

Menurut Andry, capaian pertumbuhan itu masih terbantu oleh konsumsi masyarakat saat momentum Lebaran. Tanpa dukungan musiman tersebut, angkanya bisa lebih rendah lagi. 

Kondisi ekonomi yang disebut "memble" ini, menurut Andry, juga diperparah oleh lemahnya kinerja industri dalam negeri. Permintaan ekspor ke China menurun akibat daya beli yang lesu, sementara pasar Amerika Serikat juga tidak kondusif karena masih terpengaruh perang dagang yang dipicu kebijakan Presiden Donald Trump. 

Akibatnya, perputaran uang di sektor industri menjadi rendah, bahkan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berimbas langsung pada daya beli masyarakat. 

“Bagaimana agar industri bisa tetap berjalan cash flow-nya, bagaimana industri bisa tetap mempertahankan pekerjanya, bagaimana mereka yang di-PHK mendapatkan bantuan dan juga program reskilling,” ujarnya. 

Baca Juga : Jalur Pendakian Arjuno-Welirang Dibuka Lagi, Ini Jadwal dan Syarat Booking SIMAKSI

Andry juga menyoroti keluarnya dana asing dari Indonesia yang makin memperparah situasi. Salah satu indikatornya, kata dia, adalah laporan PPATK yang mengungkap Rp28 triliun capital outflow dari Indonesia melalui transaksi kripto. “Dan tidak ada intervensi oleh pemerintah,” sambung Andry. 

Di sisi lain, sejumlah ekonom menyoroti kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintahan Prabowo sebagai penyebab utama pertumbuhan yang seret. 

Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan kebijakan itu kurang tepat dalam kondisi ekonomi yang masih butuh stimulus. “Dalam masa transisi dan saat ekonomi masih memerlukan stimulus, pengurangan belanja pemerintah justru bisa memperlambat pemulihan,” ucap Yusuf. 

Analis senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, sependapat bahwa efisiensi anggaran berkontribusi besar pada melemahnya laju ekonomi. “Jika efisiensi tak dilonggarkan dan stimulus untuk menggenjot daya beli tidak ditingkatkan, tentu pertumbuhan berpeluang untuk kesulitan naik kembali ke angka 5 persen,” ujar Ronny. 

Ronny menambahkan, bila tidak ada perubahan kebijakan, maka kondisi ekonomi ke depan bisa makin memburuk. Gelombang PHK yang saat ini mulai terasa akan makin meluas, dan masyarakat akan makin terbebani. 

Pemerintah sebenarnya telah menggulirkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diyakini bisa memberi dorongan ekonomi. Namun, dampaknya dinilai belum signifikan terhadap pertumbuhan dalam waktu dekat. 

“Menurut saya, agak cukup saya sayangkan bahwa MBG hanya dipandang sebagai pertumbuhan ekonomi saja karena dari sistemnya saja yang tersentralisasi sudah pasti tidak akan bisa menggerakkan pertumbuhan di ekonomi lokal,” ujar Andry. 

Ronny juga menilai MBG tidak memberi dorongan ekonomi nyata karena tak menciptakan aktivitas produktif baru di masyarakat. “Karena sifatnya substitusi atas makan siang yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya sehingga di sisi lain belanja makan siang dari orang tua murid di pasar konvensional jadi ikut berkurang,” ujarnya. 

Yusuf menyampaikan ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini. Salah satunya adalah dengan mempercepat realisasi belanja negara, terutama untuk proyek infrastruktur dan dukungan terhadap pelaku UMKM. 

Pemerintah juga harus membuka ruang fiskal yang produktif dan meningkatkan kepercayaan investor lewat kepastian hukum serta regulasi yang jelas. “Dan yang paling penting, pastikan semua program unggulan punya efek multiplikatif terhadap perekonomian, bukan hanya sebagai simbol politik,” pungkas Yusuf.