free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Ngrowo dan Pakuncen: Dua Kabupaten Penyangga Kekuasaan Amangkurat II di Jawa Timur

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi dua bupati dari Ngrowo dan Pakuncen dengan khidmat menghadap Sunan Amangkurat II di Istana Kartasura, tahun 1684. Dalam balutan busana Suriah lurik, mereka menyampaikan penghormatan dan kesetiaan kepada raja Mataram yang agung. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Periode pemerintahan Sunan Amangkurat II (1677–1703) dalam sejarah Jawa merupakan masa penuh transisi dan turbulensi politik, ketika kerajaan Mataram tengah bangkit dari kehancuran yang ditinggalkan Perang Trunajaya (1674–1680). 

Di tengah keterpurukan istana dan dominasi baru Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), terbentuklah lanskap politik baru yang menegaskan kembali otoritas pusat atas daerah-daerah kadipaten di wilayah Mancanegara Timur. Salah satu wilayah penting dalam konfigurasi kekuasaan ini adalah Tulungagung dan sekitarnya.

Baca Juga : Dikukuhkan Sebagai Daerah Wisata Jatim, Jember Masuk Tuan Rumah Table Top East JAT-4 2025

Dengan menelusuri dokumen administratif Mataram, laporan VOC, hingga catatan Francois Valentijn, tulisan ini menyajikan potret historis Kabupaten Ngrowo dan Pakuncen dalam jaringan kekuasaan Amangkurat II. Narasi ini menempatkan Tulungagung sebagai simpul penting ekonomi-politik Jawa Timur abad ke-17, dengan pemimpin lokal yang memegang kunci atas stabilitas daerah dalam bayang-bayang imperium yang nyaris runtuh.

Perang, Pengkhianatan, dan Lahirnya Kartasura

Wafatnya Amangkurat I dalam pelarian di Tegal Arum pada 1677 menandai krisis legitimasi di tubuh Mataram. Amangkurat II, sang putra mahkota, menduduki takhta dalam kondisi nyaris tanpa ibu kota dan pasukan. Dalam situasi kacau ini, bantuan militer VOC menjadi penentu. Namun, harga dari dukungan itu adalah kompromi kedaulatan dan tekanan fiskal yang berat terhadap wilayah-wilayah Mataram.

Trunajaya, bangsawan Madura yang memimpin pemberontakan, berhasil menundukkan banyak kadipaten di wilayah Mancanegara Timur, termasuk Kediri, Madiun, hingga Surabaya. Namun pada akhir 1679, kekuatan gabungan Mataram-VOC akhirnya menundukkan Trunajaya. Ia ditangkap dan dibawa ke istana Mataram lalu dibunuh sendiri oleh Amangkurat II dengan sebilah keris di perutnya — peristiwa yang menjadi simbol pemulihan kekuasaan pusat secara brutal dan demonstratif.

Pasca stabilisasi kekuasaan, Amangkurat II memindahkan pusat kerajaan dari Plered ke Kartasura. Di kota baru ini, ia memulai langkah konsolidasi kekuasaan administratif. Termasuk di dalamnya adalah pemetaan ulang kekuasaan lokal serta pencatatan ulang adipati-adipati yang loyal maupun yang pernah memberontak.

Tulungagung: Kabupaten Ganda di Bawah Bayang-bayang Pusat

Dalam laporan administratif pasca-1677, muncul dua entitas kabupaten dalam wilayah yang kini disebut Tulungagung: Ngrowo dan Pakuncen. Ngrowo dipimpin oleh Tumenggung Wiradadaha, sementara Pakuncen dikuasai oleh Ingabehi Derpa Joeda. Kedua wilayah ini menjadi pilar ekonomi Mataram di ujung timur, terutama sebagai penghasil benang katun dan kulit kerbau, dua komoditas penting untuk perdagangan dan perlengkapan militer.

Letak geografis Tulungagung yang strategis—di jalur antara Kediri dan Blitar—menjadikannya salah satu titik vital penghubung antara pedalaman dan pesisir. Sungai-sungai yang mengalir di wilayah ini juga menjadi jalur transportasi dan distribusi barang ke arah utara dan timur.

Di tengah gejolak politik yang menyelimuti Jawa Timur, baik Wiradadaha maupun Derpa Joeda menunjukkan kesetiaan terhadap Mataram. Tidak ada catatan keterlibatan mereka dalam pemberontakan Trunajaya, dan nama mereka justru muncul dalam daftar penguasa yang diakui VOC dan Kartasura. Posisi mereka menunjukkan bahwa Tulungagung termasuk dalam daerah yang berhasil direbut kembali dan dikonsolidasikan oleh Amangkurat II dalam proses rekonstruksi kerajaan.

Kiai Mangundirono: Bupati Ngrowo di Era Pakubuwana I

Penulis belum menemukan catatan definitif mengenai sampai kapan Kabupaten Pakuncen eksis secara administratif sebelum akhirnya dihapus atau dilebur ke dalam struktur pemerintahan lain. Kekosongan data ini menyisakan ruang spekulasi dan membutuhkan penelitian lanjutan, terutama dari sumber-sumber arsip kolonial atau dokumen-dokumen kraton yang belum terbuka secara luas.

Namun demikian, penulis menemukan secuil catatan yang cukup penting mengenai keberadaan Kabupaten Ngrowo pada masa pemerintahan Pakubuwana I, Raja ketujuh Mataram Islam yang memerintah pada tahun 1704–1719. Meskipun catatan tersebut tidak menjelaskan secara rinci sistem pemerintahan atau batas administratif Ngrowo saat itu, kemunculannya dalam konstelasi kekuasaan Mataram menunjukkan bahwa Ngrowo telah menjadi bagian dari agenda ekspansi dan konsolidasi kekuasaan kraton, bahkan sudah disebut sejak era pemerintahan Amangkurat II (1677-1703). 

Fragmen historis ini penting untuk dimasukkan dalam tulisan ini karena  memperkuat asumsi bahwa pembentukan Kabupaten Ngrowo bukanlah tindakan spontan atau berdiri dari kehampaan, melainkan merupakan kelanjutan dari proses politik yang sudah berlangsung sejak era Amangkurat II. Dengan demikian, keberadaan Ngrowo sebagai entitas pemerintahan lokal sudah memiliki fondasi historis yang lebih tua daripada yang selama ini diduga.

Dalam sejarah panjang peradaban Jawa Timur, Kabupaten Ngrowo merupakan entitas administratif yang tumbuh dari dinamika kekuasaan politik dan migrasi bangsawan pada masa akhir Kerajaan Mataram Islam. Salah satu tokoh penting dalam pembentukan dan penguatan identitas daerah ini adalah Kiai Ngabehi Mangundirono, Bupati Ngrowo pada era Pakubuwana I, yang menjadi penghubung antara darah biru Mataram dan masyarakat pesisir selatan Jawa Timur.

Kiai Mangundirono adalah keturunan langsung dari dinasti Mataram Islam. Berdasarkan silsilah dari kompleks makam Kanjeng Jimat Trenggalek, Mangundirono adalah generasi keempat dari Raja Mataram Islam ke-7, Susuhunan Pakubuwana I (berkuasa 1704–1719). Ia adalah putra dari Raden Ngabei Surodito, cucu dari Raden Tumenggung Suronegoro, yang merupakan Bupati Gamel di Solo dan cicit dari Raden Ayu Suronegoro, putri Pakubuwana I. Silsilah ini menegaskan posisi Mangundirono sebagai bagian dari elite bangsawan keraton yang memiliki legitimasi politik dan spiritual untuk memimpin wilayah baru.

Mangundirono diangkat sebagai bupati pertama Ngrowo pada tahun 1719, tahun yang juga menandai awal pemerintahan Amangkurat IV setelah wafatnya Pakubuwana I. Langkah strategis dari Raja Amangkurat IV untuk membentuk kadipaten-kadipaten baru merupakan bagian dari konsolidasi kekuasaan setelah periode gejolak politik di Kartasura.

Wilayah yang kini dikenal sebagai Tulungagung pada masa itu dikenal dengan sebutan Ngrowo, mengacu pada kondisi geografis yang dominan berupa rawa dan jaringan sungai. Ngrowo semula adalah bagian dari Ketemenggungan Wajak, yang mulai bertransformasi menjadi kadipaten sejak tahun 1709, dan pusat pemerintahannya berada di Kalangbret. Maka dikenal pula dengan sebutan Kadipaten Ngrowo di Kalangbret.

Sebagai seorang bupati, Mangundirono tidak hanya berperan sebagai administrator daerah, tetapi juga sebagai penghubung budaya, spiritualitas, dan politik antara kekuasaan Mataram di Jawa Tengah dan masyarakat pesisir selatan yang masih dalam proses Islamisasi dan pembentukan struktur pemerintahan yang terintegrasi.

Penunjukan Mangundirono membuka gelombang migrasi besar-besaran bangsawan dan santri dari wilayah Mataram ke wilayah Ngrowo, yang saat itu masih tergolong sebagai daerah frontier. Proses ini melahirkan transformasi sosial dan budaya, di mana para bangsawan membawa serta nilai-nilai keraton, tradisi, serta sistem sosial yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat lokal.

Baca Juga : Jatimpark Bagikan Hadiah Kejutan ke Pengunjung Setia dan Launching 3 Wahana Baru

Jejak migrasi ini hari ini dapat ditelusuri dari makam-makam bangsawan Mataram yang tersebar di wilayah Majan, Tawangsari, hingga kompleks makam Srigading di Bolorejo, Tulungagung, tempat di mana Kiai Mangundirono sendiri dimakamkan bersama tokoh penting lain seperti Syech Basyarudin dan R.M. Mangun Negoro.

Kiai Mangundirono memiliki dua belas anak, dua di antaranya menjadi tokoh penting dalam sejarah lokal. Yang paling menonjol adalah Raden Mangun Negoro, lebih dikenal dengan gelar Kanjeng Jimat, bupati pertama Trenggalek yang mewarisi karisma dan kepemimpinan ayahandanya. Kanjeng Jimat dikenal luas sebagai tokoh karismatik yang gigih melawan penindasan kolonial Belanda dan membela kepentingan rakyat kecil. Namanya dikenang sebagai pahlawan dan figur spiritual yang dihormati hingga hari ini.

Jaringan Adipati dan Tata Kelola di Mancanegara Timur

Catatan penting datang dari karya Francois Valentijn dalam "Oud en Nieuw Oost-Indien", yang menyusun data penguasa kadipaten di Mancanegara Timur antara tahun 1680–1684. Valentijn mencatat lebih dari 22 penguasa daerah di bawah Mataram. Dalam konteks Tulungagung, nama Ngrowo dan Pakuncen secara eksplisit disebut, menunjukkan keduanya telah mendapatkan legitimasi sebagai bagian dari sistem politik Mataram.

Data yang dicatat Valentijn menunjukkan susunan pejabat lokal di wilayah timur Mataram sebagai berikut: Ngrowo diperintah oleh Tumenggung Wiradadaha; Pakuncen oleh Ingabehi Derpa Joeda; Kediri oleh Ingabehi Katawangan; Blitar oleh Ingabehi Wira Patra; Malang oleh Ingabehi Djaga Soeta; Pace oleh Ingabehi Astrasraja; Kertosono oleh Ingabehi Wiradiredja; Berbek oleh Demang Watsiana; dan Madiun oleh Raden Mangoentappa.

Pemetaan ini bukan semata-mata bersifat administratif, tetapi juga menjadi landasan sistem pajak dan tribusi kepada VOC, sekaligus sebagai instrumen kontrol politik terhadap daerah. Wilayah Tulungagung, yang berada di jalur komunikasi antara Kediri, Kertosono, dan Blitar, memegang peranan penting dalam mobilitas militer dan ekonomi pasca-perang.

Catatan lain yang tak kalah penting menyebutkan Arya Kertosono, seorang adipati yang menguasai wilayah sepanjang Sungai Brantas, dari Kertosono hingga Kediri. Meski lokasi administratifnya berada di Nganjuk kini, namun pengaruhnya sampai ke batas timur Tulungagung. Menariknya, Arya Kertosono disebut pernah menjadi penguasa Surabaya sebelum menduduki Kertosono, menunjukkan mobilitas elit lokal dalam struktur pemerintahan Mataram.

Arya Kertosono, bersama dengan para adipati seperti Wiradiredja (Kertosono) dan Katawangsan (Kediri), membentuk semacam sumbu kekuasaan regional yang menopang stabilitas kawasan dari arah barat ke timur. Keberadaan para pemimpin ini sekaligus menunjukkan bahwa pemulihan Mataram di Jawa Timur tidak bersifat top-down semata, melainkan melalui jaringan loyalitas lokal yang kompleks. 

Dinamika dan Ketegangan Kekuasaan Daerah

Meski catatan Valentijn memberikan gambaran utuh tentang tatanan administratif, perlu dicatat bahwa stabilitas yang tergambar dalam arsip belum tentu mencerminkan realitas di lapangan. Situasi politik Jawa pada 1680-an masih belum sepenuhnya aman. Beberapa daerah, seperti Pasuruan dan Lumajang, masih menjadi zona abu-abu yang tidak sepenuhnya tercatat dalam registrasi istana.

Selain itu, rentang waktu antara pemberontakan Trunajaya dan konsolidasi penuh kekuasaan Mataram menyisakan ketegangan. Banyak adipati lokal berada dalam posisi liminal: antara kesetiaan pada pusat dan kebutuhan untuk menjaga otonomi daerah. Hal ini diperparah oleh kehadiran VOC yang menuntut setoran pajak, bahan makanan, dan logistik dalam jumlah tetap dari daerah-daerah yang baru saja pulih dari perang.

Historiografi Tulungagung: Dari Kawasan Perbatasan ke Titik Strategis

Tulungagung bukan sekadar nama geografis. Pada akhir abad ke-17, ia menjadi perbatasan penting antara wilayah-wilayah yang telah dikonsolidasikan oleh Mataram dan daerah-daerah yang masih dalam pengaruh bekas pemberontak. Fungsi strategis Tulungagung diperkuat oleh posisi dua kabupaten yang terintegrasi dalam sistem logistik kerajaan dan pengawasan terhadap pergerakan di jalur Brantas Selatan.

Bukti arkeologis dan toponimi masa kini memperkuat posisi historis ini. Nama-nama seperti "Pakuncen" atau "Ngrowo" masih eksis, menunjukkan keberlanjutan sejarah administratif dan budaya dari masa Mataram hingga era modern. Dalam historiografi lokal, sosok-sosok seperti Wiradadaha dan Derpa Joeda patut dikaji lebih lanjut sebagai figur penting dalam proses transisi Jawa Timur dari zaman perang menuju tatanan pasca-Trunajaya.

Periode Amangkurat II bukan hanya masa pemulihan kerajaan, tetapi juga momen penting dalam pembentukan ulang sistem kekuasaan lokal di Jawa Timur. Tulungagung, melalui dua kabupatennya—Ngrowo dan Pakuncen—memainkan peran sentral dalam menjaga kesinambungan ekonomi dan administratif di wilayah timur kerajaan. 

Dengan memanfaatkan sumber-sumber primer seperti Valentijn dan laporan VOC, historiografi Tulungagung dapat diperluas menjadi bagian penting dari narasi besar tentang kebangkitan Mataram Islam.

Dalam semangat rekonstruksi sejarah lokal berbasis arsip dan narasi kritis, Tulungagung layak mendapatkan tempat dalam peta sejarah nasional sebagai penopang kekuasaan Mataram yang kerap terlupakan.