JATIMTIMES - Kabupaten Blitar kembali memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebagai instrumen pembangunan infrastruktur pertanian. Tahun 2025 ini, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian mengarahkan dana tersebut untuk dua hal krusial, yakni Jalan Usaha Tani (JUT) dan Jaringan Irigasi Tersier (JIT).
Dua program ini digadang-gadang menjadi tulang punggung peningkatan aksesibilitas dan produktivitas lahan tani, terutama di wilayah-wilayah penghasil tembakau.
Baca Juga : Redam Gejolak, Bupati Sanusi Pastikan KEK Singhasari Berdampak bagi Masyarakat
Kepala Bidang Prasarana Pertanian Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Blitar, Matsafii, menyampaikan bahwa pada tahun ini ada total 13 titik pembangunan—6 untuk JUT dan 7 untuk JIT—yang tersebar merata di sejumlah kecamatan.
Lokasinya ditentukan berdasarkan keberadaan komoditas tembakau, yang menjadi prasyarat utama penyaluran DBHCHT. Kecamatan Selopuro disebut sebagai kawasan terluas untuk budidaya tembakau, disusul beberapa titik kecil di Talun, Kademangan, Panggungrejo, dan kecamatan lain.
“Anggarannya berkisar antara 150 hingga 200 juta rupiah per titik. Ini bentuk dukungan pemerintah terhadap para petani, agar aktivitas pertanian bisa lebih lancar,” ujar Matsafii saat ditemui di kantornya, Senin, 5 April 2025.
JUT dirancang untuk menjawab tantangan distribusi hasil tani di kawasan pelosok. Jalan-jalan kecil yang sebelumnya sulit dilalui kini diperkeras agar bisa diakses oleh kendaraan roda tiga. Spek teknis jalan ini, lanjut Matsafii, memang tidak diperuntukkan bagi truk atau kendaraan berat.
Ketebalan jalan hanya sekitar 15 cm, cukup untuk mobil pick-up atau motor angkut jenis Tossa. Konstruksi ringan ini dinilai lebih efisien secara biaya dan lebih realistis untuk kapasitas kelompok tani.
Sementara itu, JIT menjadi intervensi strategis dalam menjaga kontinuitas air di lahan pertanian. Dalam iklim yang makin tak menentu, pengairan menjadi faktor penting dalam budidaya tanaman. Tidak hanya tembakau, jaringan ini juga bermanfaat bagi komoditas lain seperti padi dan jagung.
Jaringan irigasi tersier berada di tingkat paling bawah dari sistem pengairan, langsung menyentuh area persawahan. Ini berbeda dengan jaringan sekunder yang berskala besar dan menjadi kewenangan Dinas PUPR.
Baca Juga : Sambangi Korban Wahana Pendulum Jatim Park, Fraksi Gerindra Komitmen Kawal Penjaminan Penanganan Medis
“Petani tidak bisa menanam tembakau sepanjang tahun. Setelah musim tembakau, mereka berpindah ke komoditas lain. Maka air tetap harus tersedia. JIT ini menjadi solusi jangka panjang,” tambahnya.
Menariknya, seluruh kegiatan pembangunan JUT dan JIT dilaksanakan dengan model swakelola. Artinya, dana akan ditransfer langsung ke rekening kelompok tani yang ditunjuk. Mereka pula yang bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan pembangunan, mulai dari perencanaan teknis hingga pelaporan.
Namun, tantangan terbesar justru datang dari sisi pemahaman kelompok. Tidak semua kelompok tani akrab dengan sistem swakelola, baik dalam aspek teknis maupun administratif. Untuk itu, pihak dinas berencana menggelar sosialisasi pada pekan depan. Tak hanya menyasar program DBHCHT, agenda itu juga akan mengedukasi kelompok calon penerima dana aspirasi dewan dan Dana Alokasi Umum (DAU).
“Perlu ada pendampingan intensif agar kelompok tidak salah langkah. Swakelola itu menuntut tanggung jawab tinggi dari kelompok, dan kami hadir untuk memastikan itu berjalan dengan benar,” ucap Matsafii.
Di balik konstruksi jalan dan saluran air, ada agenda besar yang sedang dibangun: kemandirian petani. Melalui DBHCHT, pemerintah bukan sekadar mengalirkan dana, tapi merancang sebuah sistem pertanian yang lebih tangguh dan berdaya. Jalan dan air kini bukan sekadar infrastruktur, tapi urat nadi dari masa depan pertanian Blitar.